Cerita Mahasiswa UIN Suka Berhasil Gugat Presidential Threshold di MK

- Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga gugat syarat ambang batas pencalonan presiden sebagai representasi diri, bukan kampus.
- Gugatan bebas dari intervensi politik, murni perjuangan akademis dan advokasi konstitusional.
- Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuka jalan bagi mahasiswa menggugat presidential threshold.
Sleman, IDN Times - Empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menegaskan langkah mereka menggungat syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, adalah murni representasi masing-masing pemohon.
Mahasiswa memastikan gugatan ini tak mewakili UIN Suka sebagai kampus tempat mereka kuliah.
1. Tidak ditunggangi, murni perjuangan akademis dan konstitusional

Salah seorang mahasiswa pemohon, Enika Maya Oktavia, memastikan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukannya bersama ketiga rekannya, yakni Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna, bebas dari intervensi politik.
"Permohonan kami tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun," kata Enika di Kampus UIN Suka, Sleman, Jumat (3/1/2025).
"Apa yang kami lakukan sekarang, permohonan yang kami lakukan sekarang merupakan murni perjuangan akademis dan juga perjuangan advokasi konstitusional," sambungnya.
2. Tak punya kedudukan hukum ajukan pengujian konstitusionalitas

Enika menambahkan, gugatan ini lahir beberapa waktu setelah ia dan ketiga rekannya yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi di kampus UIN berpartisipasi dalam Debat Penegakan Hukum Pemilu yang digelar Bawaslu tahun 2023.
Menurut mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Suka semester 7 itu, mosi debat pada babak final adalah penghapusan presidential threshold dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Enika mengatakan, dari 32 gugatan soal syarat ambang batas pencalonan presiden yang pernah diputus MK, ada banyak yang gugur lantaran pemohon dinilai tak punya kedudukan hukum atau legal standing.
Pada perkara sebelumnya, MK konsisten menyikapi uji materi Pasal 222 UU 7/2017. Para hakim kukuh menyatakan jika parpol atau gabungan parpol adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas. Sementara pemohon perseorangan atau warga negara yang mempunyai hak memilih tidak bisa melakukannya.
"Kami menyadari DPR, pemerintah itu menganggap kami tidak punya legal standing karena karena kami bukan dari parpol," terang Erika.
3. Didasari celah putusan MK 90 yang diajukan Almas

Akhirnya, kata Enika, muncul gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa dari Solo.
Seperti diketahui, dalam perkara tersebut MK yang saat itu diketuai Anwar Usman, mengabulkan sebagian permohonan Almas dalam uji UU Pemilu menjadi capres/cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Putusan tersebut menjadi lampu hijau untuk Gibran Rakabuming Raka yang saat itu baru berumur 36 tahun, dan masih menjabat sebagai Wali Kota Solo, untuk berkontestasi di Pilpres 2024.
Enika dan rekan-rekannya melihat sikap MK pada kedudukan hukum pemohon dalam uji materi perkara yang diajukan oleh Almas jadi pembuka jalan untuk menggugat presidential threshold.
"(Perkara sebelumnya) ketika pemilih seperti kita ingin mengajukan judicial review undang-undang pemilu itu tidak bisa. Kita tidak punya legal standing ke MK. Tapi, kemudian muncul Putusan 90, putusan Almas yang menyatakan bahwa pemilih itu juga bisa punya legal standing," papar Enika.
Dalam argumennya, Enika dan teman-temannya menyatakan masyarakat atau pemilih selama ini dianggap sebagai objek, bukan subjek pelaksanaan demokrasi.
"Maka dari itu kami mencoba mengajukan dan kami berargumentasi di legal standing kami bahwa kami ini subjek demokrasi, bukan objek demokrasi. Maka legal standing kami seharusnya diterima," tegas dia.