TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Enam Bulan Pandemik, Ratusan Nakes Berpulang Tak Bikin Publik Gentar

Jumlah nakes Indonesia yang wafat termasuk yang tertinggi

Pusara Digital yang didedikasikan untuk para nakes yang wafat karena COVID-19. Dokumentasi Lapor COVID-19

Yogyakarta, IDN Times – Setiap satu angka punya jiwa, harapan, dan cita-cita. Setiap angka punya keluarga, orang tua, anak, saudara yang mencintai dan punya harapan pada mereka yang pergi. Ribuan angka itu membuktikan COVID-19 itu ada, bukan cerita, dan berbahaya. Ratusan nakes yang gugur menunjukkan COVID-19 itu bukan konspirasi dari kami, para dokter, tenaga kesehatan.Tapi fakta yang memang kami hadapi bersama…

Ungkapan hati dokter spesialis paru yang bertugas di Jakarta, Eva Sri Diana di sela peluncuran Pusara Digital bagi para tenaga kesehatan (nakes) yang telah wafat itu terdengar pilu. Sebagai nakes yang masih berjuang, ia menyampaikan testimoninya dalam acara bertajuk Enam Bulan Mencatat Kematian: Mereka Bukan Hanya Angka yang digelar Lapor COVID-19 secara daring pada 5 September 2020 lalu.

Secara angka, relawan Koalisi Warga Lapor COVID-19 mencatat dalam enam bulan pandemik ini per 2 September 2020 sudah 183 nakes yang berpulang karena terpapar COVID-19. Meliputi 104 dokter, 70 perawat, dan 9 dokter gigi. Paling banyak dokter yang bertugas di Jawa Timur sebanyak 28 orang, DKI Jakarta 22 orang, dan Sumatera Utara 18 orang. Jumlah tersebut bertambah tiga dokter dari DKI Jakarta dan Riau per 12 September 2020.

Sementara data Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo, menyebutkan jumlah pasien positif dari bulan Maret-Juli 2020 ada 235 kasus dalam 135 hari dan Agustus-September 2020 bertambah 460 kasus dalam 45 hari. Sementara 27,75 persen dari pasien itu adalah nakes dan karyawan kesehatan.

Sementara data yang dihimpun Amnesty International Indonesia menyebutkan sudah ada 7 ribuan nakes yang meninggal di seluruh dunia. Angka tertinggi di Meksiko ada 1.320 orang, Amerika Serikat 1.077 orang, India 573 orang, Brasil 324 orang, serta Afrika Selatan 240 orang. Dibandingkan dengan kematian nakes di negara tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai Indonesia masuk daftar tertinggi. Wajib ada upaya dan langkah efektif untuk mencegah penularan dan melindungi nakes.

“Rasio kematian harus ditekan. Jangan ada lagi nakes yang meninggal dunia. Ini wabah tragedi kemanusiaan sedunia,” kata Usman.

Dan di balik para nakes yang meninggal akibat COVID-19 ini, keluarga, sahabat, koleganya punya banyak kenangan. Siapa pun bisa membangunkan kembali kenangan itu dalam Pusara Digital yang dapat diakses lewat nakes.laporcovid19.org. Sayang, bertambahnya nakes yang berpulang, tak juga membuat publik dan pengambil kebijakan gentar sehingga lebih disiplin sesuai protokol kesehatan dan mengambil kebijakan dengan tepat.

Baca Juga: Enam Bulan Pandemik, Temuan Kasus dan Penanganan Masih Timpang

1. Prof. Iwan, ahli farmakologi yang suka tertawa melihat Cak Lontong

Prof. Iwan Dwipahasto. Dokumentasi Lapor COVID-19

Adalah Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Iwan Dwiprahastyo, yang direnggut COVID-19 ketika awal pandemik itu merebak di DI Yogyakarta. Masuk rumah sakit pada 15 Maret 2020 dan berpulang pada 24 Maret 2020 dalam usia 58 tahun.

Almarhum adalah pakar farmakologi dan farmako epidemiologi yang dipercaya Kementerian Kesehatan, BPOM, BPJS, dan lembaga asuransi lain untuk menyusun formalirium obat. Kegiatan yang diakui istrinya, Prof. Adi Utarini sangat kental dengan tarikan bisnis dan konflik kepentingan.

“Tapi berhasil dikalahkan dengan integritas keilmuannya,” kata Uut, panggilan akrab peneliti nyamuk ber-Wolbachia untuk menekan penularan demam berdarah dari nyamuk Aedes aegypti.

Kesaksian yang sama disampaikan pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo. Baik dia dan suaminya adalah sahabat almarhum yang sejak 15 tahun lalu berjibaku di dunia yang sama. Saban bulan dalam setahun, mereka sering bertemu.

“Almarhum punya integritas tinggi yang tak tunduk pada tekanan industri,” kata Herawati.

Almarhum selalu mengakomodasi para klinisi di lapangan. Sikap itu sangat dibutuhkan bagi klinisi maupun yang bekerja di bidang kedokteran dalam upaya mengobati pasien.

“Beliau panutan kami. Ilmuwan yang bersih dan berimbang,” kata Herawati.

Di kampus, Iwan dikenal sosok dosen yang murah senyum dan ramah kepada siapa pun. Satu pesan yang diingat Uut, bahwa tak ada yang membanggakan selain ketika dipilih menjadi dosen favorit mahasiswanya.

“Bu, dosen itu harus selalu baik. Mengutamakan mahasiswa, supaya kita selalu didoakan mahasiswa,” ucap Iwan kepada Uut yang beberapa tahun belakangan suka menulis dan baca puisi serta menyanyi.

Dalam keluarga, Iwan sosok suami dan ayah yang hangat dan penyabar. Selalu ingin menyenangkan keluarganya dan tak pernah mengeluh. Bahkan lucu. Acap kali Uut menerima pertanyaan dari kolega: apa sih yang dilakukan dua guru besar kalau di rumah?

“Kami suka menonton Animal Planet. Dan tertawa terbahak bersama menonton Cak Lontong,” pungkas Uut dengan suara bergetar.

2. Prof. Mulyo memberi Rp50 ribu untuk ongkos angkot mahasiswanya

Para nakes yang wafat karena COVID-19. Dokumentasi Lapor COVID-19

Prof. Mulyo Hadi Ali dan dokter Ahmad Chusnul Chuluq adalah dosen di Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang. Ahli toksikologi khusus gigitan ular, dokter Tri Maharani adalah salah satu mahasiswanya. Kedua dosennya berurutan pergi akibat keganasan COVID-19 selang waktu 1-2 hari. 

Tri masih ingat ketika ia harus beraktivitas dobel pada 2011: sebagai dokter pegawai pemerintah sekaligus mahasiswa S3 kedokteran. Lantaran tak punya cukup ongkos, ia mesti bolak-balik dari rumah sakit tempat tugasnya menuju Unibraw dengan berjalan kaki. Jaraknya mencapai empat kilometer.

Hadi yang sederhana dan perhatian dengan mahasiswa-mahasiswanya pernah memanggilnya setiba Tri di kampus. Ia memberi uang Rp50 ribu untuk ongkos naik angkot. Dan ketika Tri lulus S3 pada 2014, Hadi turut berbangga menyalaminya.

“Selamat ya, sudah selesai semua perjuanganmu. Sudah jadi adviser WHO untuk gigitan ular,” kata Hadi ditirukan Tri.

Sementara Chusnul yang mengajar kesehatan masyarakat dikenal lucu dan pandai menghidupkan suasana.

“Kan kuliah public health itu biasanya bikin mahasiswa ngantuk. Tapi tidak di tangan beliau,” kata Tri.

3. Dokter muda yang melayani dengan hati hingga akhir hayat

Para nakes yang wafat karena COVID-19. Dokumentasi Lapor COVID-19

Cita-cita dokter Berkatnu Indrawan Janguk tercapai sudah. Sebagaimana dikisahkan ibunya, Inriati Karawahani, keinginan dokter muda usia 28 tahun itu untuk melayani pasien dengan hati telah dipenuhi hingga akhir hayat. Usai dirawat 22 hari di rumah sakit tempatnya bekerja di Surabaya pada 27 April 2020, ia berpulang. Sekitar dua bulan kemudian, ayahnya, Suriawan Subandi menyusulnya pada 2 Juni 2020. 

Begitu pun dengan dokter A. Sonyputrananda kelahiran Blitar, 1960. Lantaran sakit, ia tak membuka kliniknya yang ada di rumah. Hingga suatu sore, ia dijemput ambulans dan dibawa ke rumah sakit di Malang. Malam harinya meninggal dunia.

“Sangat cepat dan kami tak menyangka. Rutinitas praktik di rumah itu tak lagi ada,” kenang anaknya, dokter Sonia Larasputri.

Dokter spesialis anak, Retno Adhisti masih ingat ketika ditanya cita-cita semasa kecil. Ia tak mau jadi dokter kandungan. Mengingat ayahnya, dokter Yanto begitu sibuk mengurus pasien-pasiennya yang akan melahirkan. Jarang pulang karena siang malam sering mendapat panggilan tugas. Belum lagi tugas mengajar. Usai ayahnya berpulang pada 26 Agustus 2020 lalu karena COVID-19, Retno tersadar.

Impact papa besar sekali. Banyak testimoni disampaikan via WhatsApp karena beliau banyak berjasa,” kata Retno.

4. Dokter Eva: Jujur kami sudah kelelahan

Ilustrasi petugas medis. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Guru Besar Kedokteran Universitas Indonesia (UI) sekaligus dokter spesialis penyakit dalam, Prof. Zubairi Djoerban mengaku, para koleganya yang banyak berpulang karena COVID-19 membuat gentar. Kondisi itu membuat kian bertambah jam kerja para tenaga kesehatan. Enam kali tes PCR yang telah dijalani tetap membuatnya takut, jika menularkan kepada yang lain.

“Kami bisa bayangkan yang telah mendahului kami itu capek fisik, emosi, mental. Dan belum tahu kapan pandemi akan selesai,” kata dokter sepuh ini.

Bagi para nakes yang telah mendahului, menurut Zubairi akan menjadi role model bagi para nakes yang ditinggalkan, juga warga.

Kegentaran yang sama dirasakan dokter spesialis paru, Eva Sri Diana tiap kali mendengar sejawatnya kritis. Sementara para nakes harus tetap berangkat kerja, mendatangi rumah sakit, dan merawat pasien COVID-19. Di sisi lain, mereka pun waswas, jika aktivitasnya kian menjerat diri dan keluarga pada ancaman penularan virus itu.

“Sebagai dokter, kami tak bisa meninggalkan pasien begitu saja. Kami punya sumpah yang akan kami pegang terus,” kata Eva.

Dia meminta para sejawatnya berhati-hati. Mengingat banyak pasien datang ke rumah sakit dengan berbagai keluhan. Periksa ke poli penyakit dalam dengan keluhan sakit perut, tiba-tiba jatuh lemas. Atau pun kecelakaan, melahirkan, sakit gigi. Namun usai dilakukan pemeriksaan PCR ternyata positif COVID-19. 

“Jangan disangka, pasien COVID-19 hanya di IGD dan poli paru saja dengan keluhan demam dan batuk saja,” kata Eva.

Penularan virus ini tak khas. Banyak klaster penularan nakes di lembaga-lembaga pelayanan kesehatan bermunculan. Dia menyerukan agar para sejawatnya melindungi dengan alat pelindung diri (APD) yang standar. Dia pun meminta pemerintah memberikan kemudahan bagi nakes dan keluarganya untuk menjalani swab.

“Jujur, kami yang sakit untuk swab pun harus berbayar. Juga keluarga kami. Padahal kami berisiko kena dan keluarga berisiko terpapar,” kata Eva.

Sementara di luar sana, masyarakat kian abai dengan tak mengenakan masker, tak menjaga jarak, pun tak rajin mencuci tangan. Eva berseru agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Jika sakit, dimohon untuk melakukan isolasi mandiri karena keterbatasan tenaga kesehatan dan rumah sakit.

Sementara revisi ke-5 Peraturan Kementerian Kesehatan menyebutkan, pasien positif COVID-19 yang berstatus orang tanpa gejala (OTG), kini diminta melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Usai itu, mereka bisa disebut negatif COVID-19 tanpa harus menjalani swab kembali.

“Jadi patuhilah protokol kesehatan, jangan jadi penyebab penularan. Jujur, kami sudah kelelahan. Banyak yang terpaksa mundur karena tak sanggup lagi,” papar Eva.

Ketidakdisplinan publik dan kelelahan tenaga kesehatan menjadi salah satu faktor risiko penularan dan kematian nakes. Jika demikian, siapa lagi yang akan menolong pasien?

“Tolong kami bersama. Kalian yang sebenarnya menjadi garda depan. Jangan sampai wabah meluas dan menjadi kehancuran bersama,” imbuh Eva.

Tak hanya berhadapan dengan virus, para nakes juga berjuang menghadapi stigma. Tak sedikit masyarakat menganggap dokter mencari keuntungan dengan memberi status positif COVID-19 kepada pasien. Jika positif, dikabarkan pihak rumah sakit akan menerima bantuan Rp15 juta dari pemerintah.

“Kami mohon masyarakat percaya kepada kami. Kami sekolah bertahun-tahun, tak mungkin khianati masyarakat. Demi menolong sesam, demi janji kami kepada Allah, mohon dukung kami,” seru Eva.

Baca Juga: Tekan Jumlah Nakes Kena COVID, RS  Sleman Lakukan Pengendalian Infeksi

Berita Terkini Lainnya