TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Psikolog UGM Paparkan Penyebab Dukun Pengganda Uang Masih Dipercaya

Sebanyak 10 orang menjadi korban janji dukun pengganda uang

Proses penggalian lubang tanah yang berisi 10 mayat korban pembunuhan berencana yang dilakukan dukun pengganda uang di Banjarnegara. (IDN Times/Dok Humas Polda Jateng)

Sleman, IDN Times - Aksi pembunuhan Dukun Slamet Tohari yang dikenal sebagai dukun pengganda uang asal Banjarnegara, Jawa Tengah menggegerkan masyarakat. Sebanyak 10 orang menjadi korban. 

Psikolog Sosial UGM, Prof. Koentjoro, angkat bicara soal fenomena dukun pengganda uang. Menurutnya di era modern saat ini masih banyak orang yang mempercayai dukun dengan kemampuan bisa mengubah hidup seseorang karena cara berpikir masyarakat Indonesia masih bersifat materialistis.

 

1. Penyebab masyarakat percaya dukun

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof Koentjoro.(Antara Photo/Luqman Hakim)

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menyampaikan terdapat dua faktor yang menyebabkan masyarakat mudah percaya dukun. Pertama, korban terkena hipnotis gendam atau magic. Kedua, ada orang tertentu yang mampu mempengaruhi, meyakinkan bahkan memikat para korban untuk memercayai iming-imingan yang disampaikan.

Keontjoro menambahkan dari sisi pelaku kriminalitas, pelaku melakukan penipuan berkedok dukun untuk mendapatkan jalan uang dengan jalan pintas. 

“Biar tidak ditagih terus penggandaan uang yang dijanjikan, korban diajak melakukan ritual yang sebenarnya untuk menghabisi nyawa korban dan mereka percaya kalau itu bagian dari ritual,” tuturnya Selasa (11/4/2023). 

Baca Juga: Kasus Dukun Pengganda Uang, Gus Yahya: Masyarakat Belum Terdidik

2. Cara mencegah penipuan berkedok dukun

Awak media mengambil gambar Slamet Tohari yang dikeler oleh Kapolres Banjarnegara AKBP Hendri Yulianto di lokasi kejadian. (IDN Times/Dok Humas Polda Jateng)

Lantas bagaimana cara agar masyarakat tidak terjebak penipuan termasuk berkedok dukun? Koentjoro menekankan perlunya pendidikan keluarga yang mengajarkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup dan bukan dari simbol status sosial. 

“Sebenarnya agak susah mencegahnya, selama motif ingin diakui masih ada. Perlu belajar sufisme untuk melawan materialisme sehingga di sini pendidikan keluarga menjadi penting dalam mengajarkan kehidupan untuk senantiasa bersyukur pada Tuhan,” pungkasnya.

Baca Juga: Rumah Eks Humas Polda DIY Jadi Sasaran Aksi Vandalisme

Berita Terkini Lainnya