Indeks Menabung Turun, Pakar UMY: Pendapatan Tergerus Biaya Hidup

- Biaya pendidikan ikut tekan kemampuan menabungSobar menjelaskan biaya sekolah yang terus meningkat tidak diimbangi dengan kenaikan upah minimum regional (UMR), memaksa sebagian orang mengambil tabungan untuk biaya sekolah.
- Ketidakpastian ekonomi membuat publik ragu menabungKetidakstabilan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah menambah keraguan masyarakat untuk menabung, karena ekspektasi kondisi keuangan masa depan masih samar.
- Perlu literasi keuangan dan pengendalian inflasiSobar menekankan pentingnya literasi keuangan sebagai langkah awal membangun kembali budaya menabung, serta mendorong pemerintah menjaga stabilitas ekonomi
Yogyakarta, IDN Times – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat Indeks Menabung Konsumen (IMK) pada Juli 2025 berada di level 82,2, turun 1,6 poin dari bulan sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan melemahnya Indeks Waktu Menabung (IWM) sebesar 4,7 poin menjadi 90,5. Meski begitu, Indeks Intensitas Menabung (IIM) justru naik 1,4 poin ke level 73,8 (month-over-month/MoM).
Pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sobar M. Johari, menilai penurunan IMK erat kaitannya dengan kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi pertumbuhan pendapatan. Menurutnya, pendapatan masyarakat saat ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan.
1. Biaya pendidikan ikut tekan kemampuan menabung

Sobar menjelaskan beberapa bulan terakhir merupakan periode pengeluaran tinggi, terutama untuk biaya sekolah.
“Ditambah lagi, beberapa bulan terakhir termasuk periode dengan pengeluaran tinggi, terutama untuk biaya pendidikan. Kenaikan biaya sekolah yang terus terjadi setiap tahun tidak diimbangi dengan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang relatif stagnan. Akibatnya, sebagian orang terpaksa mengambil tabungan untuk biaya sekolah, yang otomatis menurunkan intensitas menabung di bulan-bulan berikutnya,” jelas Sobar pada Senin (11/8/2025) dilansirl laman resmi UMY.
2. Ketidakpastian ekonomi membuat publik ragu menabung

Selain inflasi dan biaya hidup, Sobar menilai ketidakstabilan ekonomi serta kebijakan pemerintah yang berubah-ubah juga menambah keraguan masyarakat untuk menabung.
“Ekspektasi masyarakat terhadap kondisi keuangan masa depan masih samar. Banyak yang ragu apakah mereka bisa menabung atau tidak. Ketidakpastian ini semakin terasa ketika harga kebutuhan pokok berfluktuasi, suku bunga kredit naik-turun, dan kebijakan fiskal sering berubah dalam waktu singkat. Ketika situasi seperti ini terjadi, orang cenderung mengutamakan konsumsi harian, dan perilaku tersebut merupakan respons alami masyarakat terhadap risiko ekonomi yang sulit diprediksi,” tambahnya.
Ia mengingatkan, melemahnya IMK bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi karena tabungan masyarakat adalah sumber dana perbankan untuk pembiayaan sektor produktif.
“Jika intensitas menabung turun, otomatis persediaan modal di sektor keuangan ikut menyusut. Ini akan menghambat pembiayaan sektor-sektor produktif dan memperlambat laju ekonomi,” papar Sobar.
3. Perlu literasi keuangan dan pengendalian inflasi

Sobar menekankan pentingnya literasi keuangan sebagai langkah awal membangun kembali budaya menabung.
“Literasi keuangan yang baik akan membuat masyarakat lebih bijak mengelola pendapatan, mengalokasikan dana untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang, serta tidak mudah panik terhadap isu-isu ekonomi. Ketika masyarakat memiliki bekal pengetahuan ini, mereka akan lebih percaya diri dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi, sehingga kebiasaan menabung bisa kembali tumbuh,” kata Sobar.
Ia juga mendorong pemerintah menjaga stabilitas ekonomi, memperluas akses jasa keuangan formal, dan mengembangkan program menabung berbasis teknologi.
“Pemerintah harus mampu menekan inflasi. Percuma UMR naik kalau inflasinya lebih tinggi. Misalnya UMR naik 0.3 persen, tapi inflasi 0.6 persen, sama saja masyarakat tetap tergerus daya belinya,” tutupnya.