Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Walk The Past, Tur Jalan Kaki Mengenang Orang Biasa

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)
Intinya sih...
  • Walk The Past adalah walking tour di Jogja yang menawarkan pengalaman berbeda dengan fokus pada sejarah orang biasa di masa penjajahan.
  • Kolektif Arungkala, indukan dari Walk The Past, merupakan kelompok independen lintas disiplin ilmu yang mengadakan kegiatan diskusi publik, membuat zine, riset, dan mengumpulkan arsip sejarah.
  • Walk The Past menggunakan rute tur yang unik dan anti mainstream serta mengusung konsep "pay as u wish" bagi pengikutnya. Mereka juga memberikan souvenir berupa zine kepada peserta tur.

Yogyakarta, IDN Times - Komunitas walking tour di Jogja atau tur dengan jalan kaki kini kian diminati. Tipenya beragam, ada yang sekadar jalan menikmati pemandangan sampai yang jalan sambil mengisahkan peristiwa atau tokoh besar dari suatu tempat dan wilayah. 

Namun, Walk The Past justru menyajikan pengalaman yang berbeda. Mereka berusaha merayakan orang biasa yang hidup di zaman penjajahan di sebuah wilayah di Jogja. Baru terbentuk di awal tahun 2024, siapa sangka kini peminatnya kian masif. 

1. Terbentuk lewat hobi mengarsipkan sejarah

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (instagram.com/walkthepast_ygy)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (instagram.com/walkthepast_ygy)

"Walk The Past adalah program indukan dari komunitas bernama Kolektif Arungkala. Kolektif Arungkala ini tidak hanya berfokus membahas pada satu disiplin ilmu aja, tapi basisnya kami ngomongin sejarah," ujar Lestari, founder Walk The Past saat ditemui usai tur jalan yang berkolaborasi dengan TelusuRI pada Sabtu (19/10/2024). 

Perempuan yang sudah 11 tahun tinggal di Jogja ini menjelaskan Kolektif Arungkala sendiri adalah sebuah kelompok independen lintas disiplin ilmu. Kegiatan yang diadakan oleh perkumpulan ini beragam, seperti diskusi publik, membuat zine, juga mengadakan riset dan mengumpulkan arsip sejarah. 

"Akhirnya kami memiliki ide untuk membentuk program atau satu karya yang dapat mengaktifkan arsip-arsip yang sudah dikumpulkan," tambah dia. 

Lewat Walk The Past, Lestari mengupayakan agar arsip-arsip tersebut bisa dibaca, dipelajari, dan tersebar pada lebih banyak orang dengan cara yang friendly dan membumi. 

2. Berkisah tentang sejarah orang biasa

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)

Di antara ramainya komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past membawa sudut pandang yang berbeda. 

"Kami membawa narasi yang berbeda yang gak banyak diungkit di dunia sejarah, yakni sejarah orang biasa. Kami ingin mengajak publik secara luas untuk melihat bahwa sejarah itu gak selalu orang atau peristiwa besar aja, bukan orang yang berseragam militer saja," kata Lestari. Menurutnya, adanya hari, tempat, gedung, dan manusia-manusia yang tumbuh hari ini itu semua karena orang biasa yang ada di masa lalu. 

"Yang ingin kami tonjolkan adalah orang-orang di balik layar dan seringnya gak ada di buku-buku sejarah," imbuhnya. 

3. Kumpulkan koran-koran lawas hingga berburu materi di laman online Belanda

Ilustrasi kenapa UMR di jogja rendah (pexels.com/ AL FARIZ)
Ilustrasi kenapa UMR di jogja rendah (pexels.com/ AL FARIZ)

Mengambil sudut pandang dari orang biasa di zaman dulu menjadi daya tarik sekaligus kesulitan buat Walk The Past. Minimnya informasi membuat mereka harus ekstra berburu narasi. 

"Awalnya dari koran-koran karena jurnalisme dari zaman Belanda sudah merekam peristiwa-peristiwa partikular sampai peristiwa besar. Koran itu sangat membantu kami." 

Lestari juga mengungkapkan, ia kerap mendapat sumber koran lama dari Jogja Library Center yang berada di Jalan Malioboro. Di perpustakaan tersebut ada banyak kliping koran lama yang usianya puluhan tahun. 

"Selain itu kami juga ke depo-depo arsip online. Dan Belanda itu punya suatu media online yang berisi arsip-arsip, foto, dari negara jajahannya, dari lembaga KITLV." 

4. Pilih rute dengan sejarah unik

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (instagram.com/walkthepast_ygy)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (instagram.com/walkthepast_ygy)

Dalam memilih rute, Walk The Past punya cara yang unik. "Kami biasanya memilih lokasinya dulu, baru setelahnya cari informasinya," tutur Lestari. 

Lestari lalu mencontohkan rute Kotabaru yang pada zaman penjajahan, merupakan kawasan tempat tinggal Belanda. Arsip-arsip yang ditemukan banyak berkaitan dengan pembangunan rumah sakit hingga kecelakaan, dan dari situ ia berusaha menyusun materi cerita. 

Ada juga rute Ibu Ruswo yang berangkat dari rasa penasaran mengapa ada nama Jalan Ibu Ruswo. Lestari mengaku hanya menemukan satu arsip koran tentang Ibu Ruswo padahal ia adalah pemimpin dapur saat perang gerilya hingga mendapat penghargaan dari Presiden Soekarno yang setara dengan Jenderal Sudirman. 

"Selama ini kita tahunya ya Jenderal Sudirman, pria, dan lagi-lagi berseragam. Kita gak pernah membahas ada seorang ibu yang menghidupi orang-orang yang berperang di zaman itu."

Lestari dan kawan-kawan sampai akhirnya bisa menemukan kediaman lama Bu Ruswo dan mengulik cerita tentang sang pahlawan perempuan tersebut dari keturunannya. 

5. Rute keliling kos-kosan sampai candi tengah perkampungan

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)

Rute tur Walk The Past bisa dibilang anti mainstream. Selain yang populer seperti Kotabaru dan Malioboro, ada rute yang unik dan sayang kalau dilewatkan.

Sebut saja seperti rute Karang Malang yang terkenal dengan banyaknya kos-kosan karena merupakan kawasan kampus. Ada juga rute Napaktilas Bulaksumur dan Candi Palgading. Perjalanan dan persinggahan yang belum banyak dipilih komunitas lainnya. 

Tak melulu sejarah, Walk The Past telah beberapa kali berkolaborasi dengan galeri seni. "Apalagi di Prawirotaman kan banyak mural-mural dan galeri seni. Jadi unik!" kata Lestari.

6. Dapat zine unik selepas ikut jelajah

Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)
Komunitas walking tour di Jogja, Walk The Past (IDN Times/Dyar Ayu)

Selaiknya komunitas wisata jalan kaki lainnya, Walk The Past mengusung konsep pay as u wish bagi pengikutnya. Mereka tak menetapkan jumlah minimal atau pun maksimal nominal yang diberikan tiap pengunjung setelah tur. Namun berbeda saat ada yang ingin sesi private atau ajakan kolaborasi, Walk The Past menentukan jumlah tertentu. 

Menyenangkannya lagi pengikut tur tak akan pulang dengan tangan kosong. Melainkan membawa souvenir berupa zine yang berisi ringkasan tentang tempat-tempat yang telah dikunjungi beserta potongan iklan dan berita dari koran lawas yang masih berkaitan dengan wilayah tur. 

"Karena seru sih setiap mengulik arsip koran, selalu ada iklan-iklan lucu baik visual atau kata-katanya. Zine sendiri kan merupakan terbitan yang sangat cair dan eksperemental, jadi kami ingin zine yang gak membosankan," ucap Lestari.

Lestari berharap nantinya Walk The Past bisa menambah aktivasi-aktivasi lain selain walking tour. Misalnya tur ke dalam pasar sehingga dapat melibatkan para pedangan yang tujuannya tak cuma sekadar jalan tapi juga membumi karena memberi kebermanfaat bagi lebih banyak orang. 

 

Nah, jika kamu yang ingin menikmati Jogja dengan cara yang berbeda dan unik, bisa banget mengikuti tur jalan kaki ala Walk The Past, ya. Untuk mengetahui rutenya, follow Instagram mereka di @walkthepast_ygy dan temukan sudut pandang tak biasa di setiap perjalanannya!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dyar Ayu
Paulus Risang
Dyar Ayu
EditorDyar Ayu
Follow Us