TBY Gelar Parade Teater Linimasa #8, Usung Persoalan Tanah

- Parade Teater Linimasa #8 di Taman Budaya Yogyakarta membahas persoalan tanah sebagai identitas dan kebudayaan Timur.
- Tanah dipertahankan sebagai warisan leluhur, dimiliki oleh perempuan atau adat, namun saat ini pemberdayaan tanah semakin kabur.
- Ketua TBY berharap parade teater ini dapat mengenalkan seniman yang masih awam di publik dan memberikan apresiasi pada seni teater lokal.
Yogyakarta, IDN Times – Parade Teater Linimasa #8 yang mengusung tema ‘Tanah, Pewarisan, dan Problematika’, ditampilkan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jumat (20/6/2025). Mempertahankan tanah sebagai identitas ialah upaya menyintas melalui ingatan-ingatan.
“Hari ini tanah menjadi persoalan krusial di mana segelintir kekuasaan bisa saja segera menyerobot tanpa memandang sejarah yang sudah dibangun oleh para generasinya. Ada kepentingan-kepentingan simbolik yang sedang bergentayangan untuk menguasai harapan. Ada hantu-hantu yang siap menyergap dan menguasai apa itu sumber kehidupan,” ujar Kurator Linimasa #8, Elyandra Widharta.
1. Angkat cerita tentang tanah

Elyandra mengatakan ada yang sedang merawat tanahnya sebagai laju warisan leluhur untuk kelangsungan masa depan, ada yang merenggut dimana komoditas menjadi orientasi utama atas nama ekonomi dan kebudayaan. Ada yang membentengi dengan narasi lokalitas dan mitologi. Ada pula yang menghancurkan dengan teknologi dan modernitas.
“Gaung yang dulu bergema tentang gemah ripah loh jinawi kini tinggal suara akar rumput dan akan menghilang selamanya. Tongkat dan kayu tidak lagi jadi tanaman tapi kolam susu itu segera berubah menjadi beton dan mesin-mesin penghancur ekosistem manusia. Ada yang hilang dari nilai manusia merangkul tanahnya,” ungkapnya.
2. Tanah dan kebudayaan timur

Elyandra menyebut pernah pada suatu masa di Italia, untuk memiliki dan meneguhkan tanah sangat dibutuhkan kehadiran para retoris. Penegasan kepemilikan tanah membutuhkan perdebatap panjang dan bisa hingga peperangan. Untuk itu di kebudayaan-kebudayaan Timur seringkali berpihak pada nuansa matrifokalitas, tanah menjadi hak milik kaum perempuan atau adat.
“Para perempuanlah yang berhak mendiami tanah-tanah keluarga. Bisa juga tanah menjadi milik adat atau menjadi tanah ulayat. Pemerinah juga memiliki kuasa untuk meneguhkan hal itu untuk menjaga ketenteraman dan kedamaian. Akan tetapi kedamaian tanah bukan hanya sekedar formalitas dan kepemilikan. Tanah juga memiliki ‘jiwa’ hingga masyarakat tradisional menyelenggarakan beragam ritus untuk menyapa dan menjaga tanah,” ungkapnya.
3. Pemberdayaan tanah saat ini

Ia menyebut kini pemberdayaan atas tanah tidak sekedar untuk hutan, kebun, dan hunian. Sejengkal tanah tiba-tiba bisa menjadi milik siapa saja dengan menempatkan gerobak, mendatangkan buldoser, dan membubuhkan cita-cita bersama untuk kemakmuran, hingga mengaburkan kepemilikan. Atau bisa juga mendapatkan kepemilikan dengan ‘mengawini’ perempuan-perempuan lokal, atau berkolaborasi dengan penguasa ‘lokal’.
“Di manakah kesadaran memuliakan tanah, menghormati "jiwa' yang ada, menyiapkan ritus-ritus agar keindahan. semua tetap terjaga? Marilah kita kembali mencoba memuliakan tanah dengan jalan keindahan,” ujar Elyandra.
Ketua TBY, Purwati mengharapkan dengan berlanjutnya Teater Linimasa #8 bisa mengenalkan seniman yang masih awam di publik. Padahal seniman tersebut memiliki prestasi di mancanegara. “Harapan akan muncul teater kekinian dan berkembang bisa dimaknai dan diapresiasi. Apalagi kebanyakan apresiasi malah dari luar negeri. Ini waktunya untuk bisa mengeksplor dari tema yang sudah ditentukan,” kata dia.
Penampil dalam Teater Linimasa#8, Teater SD Tumbuh, Perkumpulan Seni Nusantara Baca, dan Tarikatur.