Pelestarian WBTb Jadi Fondasi Pembangunan Berkelanjutan
- Gubernur DIY menyerahkan 32 sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari DIY kepada Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan pemerintah kabupaten/kota se-DIY.
- Sri Sultan menegaskan pentingnya perubahan pendekatan pelestarian, dari simbolik menjadi lebih transformatif dan melibatkan partisipasi masyarakat serta generasi muda sebagai pemilik dan penjaga tradisi.
- Kepala Dinas Kebudayaan DIY menjelaskan bahwa penyerahan sertifikat WBTb tersebut menjadi pembuka rangkaian Perayaan WBTb DIY Tahun 2025 dengan melibatkan masyarakat dan para pelaku budaya secara luas.
Yogyakarta, IDN Times - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X menyerahkan 32 sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari DIY yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan RI pada tahun 2024. Sertifikat tersebut diserahkan kepada Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan pemerintah kabupaten/kota se-DIY di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (26/5/2025).
“Sertifikat WBTb DIY yang hari ini diserahkan, tentu saja merupakan hal yang patut kita apresiasi bersama. Ini adalah salah satu wujud pengakuan tertinggi atas values yang menjadi jati diri DIY,” ujar Sri Sultan saat menyampaikan sambutannya.
1.Bukan sekadar menjaga tradisi
Menurut Sri Sultan, pelestarian WBTb tidak hanya sebatas menjaga tradisi, tetapi juga melibatkan perlindungan terhadap nilai, makna, dan fungsi sosial budaya agar tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, pelestarian tersebut harus menjadi dasar pembangunan berkelanjutan yang memperkuat identitas budaya, mempererat kohesi sosial, serta membuka ruang bagi kreativitas dan kesejahteraan.
“Namun demikian, realitasnya ada fakta yang perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa di tengah derasnya arus modernisasi, urbanisasi, dan komersialisasi pariwisata, banyak tradisi yang mulai kehilangan konteks sosial dan maknanya. Ritual-ritual yang sebelumnya sarat nilai spiritual dan berfungsi sebagai perekat komunitas, saat ini berisiko menjadi sekadar tontonan wisata. Keterampilan tradisional, mulai dari kerajinan tangan, teknik bertani tradisional, hingga seni pertunjukan klasik, terancam punah karena minimnya regenerasi,” terang Sri Sultan.
Menanggapi hal tersebut, Sri Sultan menegaskan pentingnya perubahan pendekatan pelestarian, dari yang semula bersifat simbolik dan seremonial menjadi lebih transformatif dan melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah, menurutnya, juga memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kebijakan afirmatif yang mendukung para pelaku budaya. Dukungan itu mencakup perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual komunal, pembinaan secara berkelanjutan, serta pemberian insentif ekonomi dan ruang ekspresi budaya yang inklusif.
“Dalam konteks DIY khususnya, penting bagi kita semua untuk sepakat atas setidaknya tiga hal. Pertama, bahwa DIY tidak boleh menjadi sekedar ‘etalase budaya’, yang hanya memamerkan masa lalu tanpa merawat roh atau esensi di baliknya,” kata Sri Sultan.
Ia menambahkan, pelestarian WBTb harus masuk dalam strategi pembangunan daerah yang mengusung nilai-nilai lokal seperti gotong royong, harmoni dengan alam, dan penghormatan terhadap leluhur. Pendekatan lintas sektor—dari pendidikan, ekonomi, hingga tata ruang—juga perlu diperkuat agar warisan budaya tetap hidup dan berkembang sesuai zamannya.
“Begitu pula, penting bagi seluruh elemen untuk paham, bahwa pelestarian yang sejati tidak mungkin tercapai tanpa keterlibatan aktif komunitas dan generasi muda sebagai pemilik dan penjaga tradisi,” sebut Sri Sultan.
Sri Sultan juga mengingatkan bahwa penetapan WBTb tidak boleh membuat masyarakat lengah. Ia menilai pengakuan tersebut bukanlah akhir dari proses pelestarian, melainkan titik awal untuk memastikan warisan budaya bisa terus hidup dan memberi manfaat lintas generasi.
“Saya mendorong agar pelestarian WBTb DIY ke depannya, senantiasa mengedepankan pendekatan berbasis komunitas, yang menempatkan pelaku budaya sebagai subjek utama, bukan sekadar objek program. Generasi muda khususnya, harus diberi ruang dan alasan kuat, untuk merasa terhubung dengan tradisi, sebagai sumber identitas dan inspirasi yang dapat mereka kembangkan,” tutup Sri Sultan.
2.Penyerahan 32 sertifikat WBTb
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi menjelaskan bahwa penyerahan 32 sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari DIY tahun penetapan 2024 menjadi pembuka rangkaian Perayaan WBTb DIY Tahun 2025. Kegiatan tersebut digelar selama tiga hari, mulai 26 hingga 28 Mei 2025 di Hotel Royal Brongto. Perayaan ini rutin dilaksanakan setiap tahun oleh Pemda DIY melalui Dinas Kebudayaan sebagai bagian dari upaya pelestarian dan pengembangan karya-karya budaya yang telah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia asal DIY.
Dalam penyerahan kali ini, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menerima lima sertifikat WBTb untuk Dialek Boso Bagongan, Srimpi Irim-Irim, Golek Jangkung Kuning, Bedhaya Durma Kina Gaya Yogyakarta, dan Tari Klana Raja. Kabupaten Bantul mendapatkan lima sertifikat atas Ampo Imogiri, Bakda Mangiran, Labuhan Hondodento, Tradisi Emprak, dan Adrem.
Sementara itu, Kabupaten Sleman memperoleh delapan sertifikat untuk Jathilan Lancur, Mitos Gunung Merapi, Tambak Kali, Jadah Tempe, Apem Wonolelo Sleman, Cethil, Tempe Pondoh, dan Ayam Goreng Kalasan.
Empat sertifikat diserahkan kepada Kabupaten Kulon Progo untuk Nawu Sendang Kulon Progo, Kethak Kulon Progo, Jenang Lot, dan Gula Kelapa Kulon Progo. Kota Yogyakarta menerima enam sertifikat untuk Cublak-Cublak Suweng Yogyakarta, Tari Wira Pertiwi, Tari Kuda-Kuda, Ketan Lupis Yogyakarta, Becak Yogyakarta, dan Kopi Joss. Sementara Kabupaten Gunungkidul mendapat empat sertifikat untuk Tradisi Sambatan Gunungkidul, Upacara Adat Bersik Kali Gunungkidul, Upacara Adat Njaluk Udan Andongsari, serta Gudeg Bonggol Gedhang.
“Pada tahun 2024 adalah perolehan penetapan WBTb DIY menjadi WBTb Indonesia terbanyak sepanjang tahun sejak tahun 2013. Tentu saja prestasi dan juga tantangan berat pada proses pelestarian,” ungkap Dian.
3.Pelibatan masyarakat dan pelaku budaya secara luas
Dian memaparkan, perayaan WBTb Indonesia dari DIY kali ini digelar dengan melibatkan masyarakat serta para pelaku budaya secara luas melalui agenda Ajur Ajer ketiga. Mengusung tema Bayu Manah, perayaan ini dimaknai sebagai dorongan hati yang selaras dengan kekuatan alam, menuju keharmonisan antara manusia dan semesta.
“Rangkaian kegiatan ini terdiri dari beberapa hal, meliputi pameran karya budaya Warisan Budaya Takbenda DIY yang sudah ditetapkan, workshop Warisan Budaya Takbenda, stand kuliner Warisan Budaya Takbenda, pagelaran seni pertunjukan, gladhen jemparingan, dan penutupan perayaan Warisan Budaya Takbenda tahun 2025 dengan adanya pagelaran wayang klithik,” jelas Dian.
Pelaksanaan perayaan ini diharapkan dapat memperkuat pengaruh positif dan kebermanfaatan WBTb di wilayah DIY. Hal ini sejalan dengan visi misi Gubernur DIY, yang mendorong agar WBTb tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
Selain itu, perayaan ini juga bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap WBTb yang berasal dari DIY, agar dapat berkembang menjadi sumber inspirasi dan kreativitas dalam pengelolaan aset budaya sebagai modal kehidupan.
“Pun berkembangnya partisipasi masyarakat dalam mengapresiasi WBTb sekaligus menjadi terekspresikan karya-karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai WBTb DIY menjadi WBTb Indonesia yang selanjutnya dengan program dan kegiatan yang berkelanjutan akan memberikan daya dukung dan kesinambungan WBTb sebagai sebuah karya budaya yang hidup,” imbuh Dian.