Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat Mainan

Anak adalah masa depan kelestarian lingkungan

Yogyakarta, IDN Times - Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, terdapat 479 bank sampah yang tersebar di 14 kemantren dan 45 kelurahan. Salah satunya adalah Bank Sampah Pa-Q-One (Pakiwon) di Jalan Gedongkiwo MJ 1/1031, Kalurahan Gedongkiwo, Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Saat IDN Times menyambangi Bank Sampah Pa-Q-One pada Rabu sore, 17 April 2024, bank sampah ini tampak berbeda dari bank-bank sampah lainnya. Selain berbagai tumpukan sampah yang sudah dipilah dan dikemas, ada pula berbagai hasil kerajinan dari sampah daur ulang yang berjajar di rak. Di sudut lain, ada satu rak penuh buku dan mainan edukasi yang bisa membuat anak-anak betah bermain. 

Bank sampah ini dikelola oleh perempuan bernama Widhyarprincessiastuty. Tak sekadar mengumpulkan sampah dari nasabah, ia turut aktif mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak, untuk belajar peduli sampah lewat cara yang unik, yaitu bermain dan membuat kerajinan.

1. Membuat berbagai kerajinan dari barang bekas

Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat MainanHasil karya mainan dari sandal jepit bekas. (Dok. Istimewa)

Perempuan yang akrab disapa Essy ini menuturkan, barang-barang kerajinan yang dipajang itu merupakan karya seni daur ulang dari sampah, salah satunya adalah action figure dari sandal jepit bekas. Karena ia memiliki latar belakang seni dan terbiasa aktif di sanggar seni, akhirnya tercetuslah ide untuk membuka bank sampah untuk mengolah sampah yang dikumpulkan menjadi karya seni atau kerajinan tangan. 

"Kita nyoba bikin bank sampah sendiri. Kita coba menerima barang-barang yang bener-bener di bank sampah lain tidak bisa. Salah satunya kayak sandal jepit tadi. Dari sandal-sandal itu, kita coba buat karya-karya seperti tokoh-tokoh anime ini," kata dia.

Menurut Essy, karya daur ulang sampah berupa mainan lebih mudah membuat anak-anak tertarik. Cara ini turut membantu pihaknya untuk mengajak anak-anak ikut serta dalam membuat kerajinan dari sampah. Hal ini sekaligus menjadi sarana untuk bermain dan menyalurkan kreativitas mereka. 

"Anak-anak kan pada suka anime, karakter-karakter kayak gitu. Makanya yang muncul [karya-karya] kayak gitu," imbuhnya.

2. Kerajinan barang bekas masih kurang dihargai di negeri sendiri

Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat MainanWidhyarprincessiastuty saat memberikan workshop. (Dok. istimewa)

Tak cuma sebatas jadi pajangan dan kepuasan pembuatnya, hasil-hasil kerajinan dari barang bekas itu pun berusaha dipasarkan oleh Essy. Tak hanya melalui workshop dan pameran, tetapi juga dijual melalui marketplace online. Hasil kerajinan tersebut dijual dengan nilai puluhan hingga ratusan ribu, tergantung tingkat kerumitannya. 

"Tapi untuk pasar dalam negeri memang abot (berat), kerajinan dari barang bekas masih kurang dihargai. Awalnya tertarik, tapi setelah tahu produk ini dari barang bekas, akhirnya ditaruh lagi," ucap Essy.

Menurutnya, animonya berbeda sekali jika dengan luar negeri. Ia mencontohkan, ketika bank sampahnya diminta oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk memberi workshop kepada mahasiswa dari luar negeri. Mereka lebih menunjukkan ketertarikan yang tinggi. 

Baca Juga: Komunitas Jogja Berbunga, Beri Hidup Baru pada Bunga Segar Bekas

3. Tantangan melakukan produksi massal

Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat MainanPerajin membuat karya mainan dari sandal jepit bekas. (Dok. istimewa)

Mereka juga menemui tantangan ketika diminta melakukan produksi massal. Tidak mudah untuk menggerakkan warga sekitar untuk mengerjakan produk dengan jumlah dan standar tertentu. Pasalnya, awalnya kegiatan ini untuk menyalurkan kreativitas.

"Teman-teman ya menurutku dari sisi idealis bagus, cuma kalau sudah masuk di dunia bisnis, salah satunya adalah pengulangan. Nah, ini teman-teman masih angel (susah) banget itu. Tentu kita tidak bisa memaksakan, kesannya mematikan kreativitas, padahal enggak," tuturnya

Selain itu, bahan baku juga sering kali jadi kendala. Karena yang digunakan adalah sampah atau barang bekas, pasokannya tidak konsisten, bahkan semakin sulit.

"Sekarang orang lebih banyak yang lebih sadar bahwa ini nih nek iso (kalau bisa) ya bisa digunakan kembali. Sehingga beberapa barang itu memang stoknya rodo angel digoleki (agak susah dicari) contohnya kaya sandal jepit ini," kata Essy.

Di sisi lain, ini merupakan hal yang positif. "Artinya sudah ada kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan," imbuhnya.

 

4. Gandeng anak jadi laskar untuk mengedukasi masyarakat

Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat MainanAnak-anak belajar membuat kerajinan dari barang bekas. (Dok. istimewa)

Karena hal tersebut, Essy akhirnya memilih berfokus pada visi awalnya, yaitu memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama anak-anak. Menurutnya, selain anak-anak merupakan agen perubahan untuk masa depan, mereka juga bisa menularkan ilmu yang mereka dapatkan ke orangtuanya.

"Pada saat kita memberikan workshop ke orangtua, belum tentu mereka mengajarkan pada anaknya. Nah, ini menjadi problem. Rata-rata workshop ngundang orangtua, orang dewasa gitu, sudah, selesai di mereka saja, artinya sebatas mereka tahu," ucap dia.

"Tapi kalau anak, enggak. Pada saat kita memberi pembelajaran ke anak, minimal milah sampahnya, mereka akan benar-benar melaksanakan. Nanti pada saat orangtua membuang sembarangan, mereka akan tegas mengedukasi, 'Ibu, Ibu kalau membuang sampah, yang ini di sini lho.' Itu pasti dan sudah terbukti. Jadi mereka itu laskar kita untuk mengedukasi masyarakat," tambah Essy.

Cara Essy untuk mengedukasi anak-anak pun sederhana, yaitu dengan bermain. Ia mengajak anak-anak membawa sampah atau barang bekas dari rumah untuk dibuat menjadi prakarya.

"Setiap anak bisa lain-lain barangnya. Misalnya kardus, anak diajak berpikir, mainan apa yang bisa dibikin. Bahkan batu pun bisa dibuat menjadi mainan dengan lem tembak," ujarnya.

"Tapi anak bangga lho, bisa bikin kayak gitu. Dari situ imajinasi dia terbangun, dia bisa cerita apa yang dia bikin. Dan pada saat mereka melihat sampah pun, mereka bisa berkreasi, 'oh ini bisa digunakan untuk ini.' Jadi kita berusaha memunculkan semangat kreativitas mereka. Dan mainan itu kalau mereka bikin dengan tangan mereka sendiri, itu rasanya akan beda dengan kalau kita belikan."

Essy adalah salah satu dari sekian banyak Kartini yang berperan aktif dalam kelestarian lingkungan. Dengan cara menggandeng anak-anak untuk edukasi sampah, dia bisa memberi kontribusi positif bagi warga sekitar.

Baca Juga: Peran IRT Meningkatkan Taraf Hidup Keluarga dan Warga

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya