Pakar UMY Ingatkan Risiko Eksploitasi Program Magang Nasional

- Program Magang Nasional 2025 menuai sorotan
- Potensi eksploitasi lulusan baru menjadi perhatian utama
- Sinergi sehat antara kampus dan dunia usaha perlu ditekankan
Bantul, IDN Times – Program Magang Nasional 2025 yang ditujukan bagi lulusan baru sarjana dengan bayaran setara Upah Minimum Regional (UMR) menuai sorotan. Program ini melibatkan sektor swasta, BUMN, hingga lembaga pemerintah.
Menurut Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, kebijakan tersebut memiliki sisi positif sekaligus berpotensi menimbulkan persoalan bagi para fresh graduate.
1. Potensi eksploitasi lulusan baru

Zuly Qodir menyebut program ini memiliki dilema. Di satu sisi bisa menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan kerja, tetapi di sisi lain ada kemungkinan memunculkan eksploitasi.
“Anggapan para pemilik usaha bahwa fresh graduate pasti lebih murah dan tidak banyak menuntut membuka kemungkinan eksploitasi tenaga kerja,” ujarnya, dilansir laman resmi UMY.
2. Posisi pekerja masih lemah di hadapan pemilik modal

Guru Besar Sosiologi UMY itu menegaskan bahwa relasi ketenagakerjaan di Indonesia masih timpang. Pekerja sering berada pada posisi lemah dibandingkan pemilik modal, apalagi dengan kondisi serikat pekerja yang cenderung melemah. Hal tersebut membuat lulusan baru menjadi kelompok paling rentan.
Meski program ini disebut “magang berbayar”, ia menekankan perusahaan tidak boleh bertindak semena-mena. “Harus ada jaminan bahwa tidak terjadi eksploitasi tenaga kerja, meskipun mereka hanya berstatus magang,” jelasnya.
3. Sinergi sehat antara kampus dan dunia usaha

Zuly juga menyoroti pentingnya kerja sama yang seimbang antara perguruan tinggi dan dunia usaha. “Dunia usaha memang membutuhkan tenaga terampil, dan perguruan tinggi menyediakannya. Tetapi bukan berarti mereka bisa dibayar murah,” tambahnya.
Ia menilai magang berbayar bisa tetap bermanfaat jika diposisikan sebagai sarana pembelajaran. Lulusan baru bisa mendapatkan pengalaman kerja, sementara perusahaan juga perlu memahami bahwa tenaga magang belum sepenuhnya terampil.
Menurut Zuly, perguruan tinggi tetap memiliki tanggung jawab menyiapkan lulusan agar siap menghadapi persaingan kerja. Namun, ia mengingatkan agar mereka tidak terjebak dalam pola kerja yang merugikan. “Pada akhirnya, perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya agar siap bersaing di dunia kerja, sekaligus memastikan mereka tidak jatuh dalam lingkaran eksploitasi,” katanya.