Kenaikan Gaji DPR Disorot, Dosen UGM Ingatkan Empati pada Rakyat

- Dosen UGM nilai kenaikan gaji DPR tidak empati dengan kondisi masyarakat
- Bepotensi picu sikap apatis
- Perlu kurangi privilege pejabat publik
Yogyakarta, IDN Times – Kenaikan penghasilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi sorotan publik. Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menilai kenaikan penghasilan DPR bermasalah, baik dari sisi kepekaan maupun finansial.
1. Dosen UGM nilai kenaikan gaji DPR tidak empati dengan kondisi masyarakat

Alfath Bagus Panuntun mengatakan, kesenjangan makin terasa ketika kondisi ekonomi masyarakat sulit, pekerjaan dan gaji layak semakin terbatas, serta keteladanan politisi yang minim.
“Tindakan menaikkan penghasilan anggota DPR ini sangat tidak empatik, bahkan juga bermasalah secara finansial. Apabila membandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang merupakan negara demokrasi mapan atau dengan Singapura dan Filipina, rasio gaji DPR dengan gaji UMR tidak terpaut jauh,” jelas Alfath, Selasa (26/8/2025) dilansir laman resmi UGM.
2. Bepotensi picu sikap apatis

Menurutnya, jurang penghasilan antara DPR dan rakyat tidak hanya soal angka, tetapi juga bisa berdampak serius pada kepercayaan masyarakat.
“Kondisi ini makin diperparah ketika kondisi perekonomian masyarakat sedang sulit, rakyat tidak punya pilihan atas pekerjaan dan gaji yang layak, serta minimnya keteladanan politisi,” ungkapnya.
Kesenjangan berpotensi memicu sikap apatis dari masyarakat. “Rendahnya kapasitas individu hingga produktivitas kinerja DPR membuat rakyat muak dan memilih abai pada proses politik, membuat demokrasi yang minim partisipasi,” jelasnya.
3. Perlu kurangi privilege pejabat publik

Alfath menyoroti demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI sebagai cerminan keresahan rakyat di tengah kesulitan ekonomi. Dengan situasi tersebut, ia menilai seharusnya hak istimewa DPR dan pejabat publik dikurangi.
“Menjadikan profesi sebagai wakil rakyat bukan sebagai profesi istimewa, melainkan sebagai profesi yang berisi orang-orang yang passion untuk membuat kebijakan publik,” ungkapnya.
Alfath menambahkan, negara-negara dengan tradisi demokrasi kuat seperti Swedia dan Belanda bisa menjadi contoh, karena justru mengurangi privilege pejabat publik mereka.