Pakar UMY: Penonaktifan DPR Cuma Pencitraan, Tak Sentuh Akar Masalah

- Penonaktifan anggota DPR tidak menyelesaikan akar persoalan bangsa
- Langkah partai dinilai lebih untuk menjaga citra ketimbang tanggung jawab politik
- Publik berhak mendapatkan penjelasan transparan dari partai politik terkait penonaktifan anggota dewan
Bantul, IDN Times – Lima partai politik memutuskan menonaktifkan sejumlah anggotanya di DPR RI, termasuk nama publik figur seperti Uya Kuya, Eko Patrio, dan Ahmad Sahroni. Kebijakan ini dipandang sebagai cara meredam amarah masyarakat, namun dinilai belum menyentuh persoalan utama yang membuat rakyat kecewa terhadap wakilnya di parlemen.
1. Masalah bangsa lebih kompleks dari sekadar nonaktifkan anggota

Pakar hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nanik Prasetyoningsih, menegaskan penonaktifan anggota DPR tidak menyelesaikan akar persoalan.
“Masalah Indonesia itu bukan sesederhana menonaktifkan anggota dewan. Akar persoalannya meliputi kesenjangan sosial, fenomena oligarki politik, dan sikap anti-kritik yang semakin menguat di kalangan elite. Rakyat menginginkan wakil yang lebih responsif, visioner, dan punya empati,” ujar Nanik, Rabu (3/9/2025), dilansir laman resmi UMY.
2. Penonaktifan dianggap hanya selamatkan citra parpol

Nanik menilai langkah partai lebih ditujukan menjaga citra ketimbang tanggung jawab politik. Ia mengingatkan, kursi parlemen tidak berkurang meski ada penonaktifan anggota.
“Ini berbahaya. Masyarakat Indonesia hari ini semakin cerdas. Publik bisa menilai bahwa sikap partai seperti ini hanya kosmetik belaka,” tegasnya.
3. Publik berhak dapat penjelasan transparan

Menurut Nanik, partai politik seharusnya memberi penjelasan terbuka soal alasan penonaktifan karena anggota dewan dipilih rakyat, bukan ditentukan partai.
“Rakyat berhak tahu. Yang memilih Eko Patrio dan lainnya itu rakyat, bukan parpol. Jadi harus ada pertanggungjawaban kepada konstituen. Kalau tidak, rakyat hanya dijadikan alat untuk memilih, sementara setelahnya dianggap tidak mengerti apa-apa,” ujarnya.
Nanik menyimpulkan penonaktifan ini tidak menyentuh persoalan fundamental bangsa. Kebijakan tersebut lebih sebagai upaya mengurangi gejolak publik.
Menurutnya, langkah ini tidak bisa dijadikan solusi jangka panjang bagi demokrasi di Indonesia. “Langkah ini hanya menekan kemarahan sesaat, bukan solusi jangka panjang bagi demokrasi kita,” pungkasnya.