Isu Kenaikan Gaji-Tunjangan DPR, Guru Besar UMY: Elite Minim Empati

- Elite politik minim empati terhadap masyarakat
- Berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif
- Tingginya gaji anggota legislatif tidak lepas dari biaya politik yang tinggi
Bantul, IDN Times - Isu gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang nilainya disebut mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan kembali menuai polemik di tengah masyarakat. Kebijakan tersebut memantik kritik karena dinilai kontras dengan langkah pemerintah yang sedang menggalakkan efisiensi anggaran serta memperketat penerimaan pajak dari rakyat.
1. Minimnya empati elite politik terhadap kondisi masyarakat

Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Titin Purwaningsih, menilai keputusan itu menunjukkan minimnya empati elite politik terhadap kondisi masyarakat. Menurutnya, langkah tersebut tidak sejalan dengan situasi ekonomi rakyat yang masih terhimpit.
“Pemerintah di satu sisi melakukan efisiensi dan memperketat pajak dari rakyat, tetapi di sisi lain justru menaikkan gaji dan tunjangan DPR. Saya kira tindakan ini tidak menunjukkan empati dari lembaga negara,” ujar Titin saat ditemui di Pascasarjana UMY, Selasa (26/8/2025).
2. Berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif

Lebih lanjut, Titin menyoroti beban pajak yang ditanggung rakyat untuk membiayai tunjangan legislatif, termasuk Pajak Penghasilan (PPh 21). Menurutnya, kebijakan ini tidak adil karena masyarakat membayar pajak dua kali.
“Masyarakat sudah membayar pajak, tetapi uang pajak itu justru digunakan untuk menutup kewajiban anggota Dewan. Itu jelas tidak tepat,” tegasnya.
Ia menambahkan, dampak kebijakan ini bukan hanya soal keuangan negara, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
“Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa semakin terkikis, apalagi di tengah banyaknya kasus korupsi dan sikap tidak pantas yang sering dipertontonkan di gedung Dewan,” tambahnya.
3. Tingginya gaji anggota legislatif tidak lepas dari biaya politik yang tinggi

Menurut Titin, mekanisme penentuan gaji dan tunjangan DPR pun belum berbasis kinerja. Masalah tingginya gaji anggota legislatif tidak bisa dilepaskan dari mahalnya biaya politik di Indonesia.
“Biaya politik yang sangat besar, mulai dari kampanye hingga operasional, membuat beban keuangan anggota Dewan semakin tinggi. Karena sistem pemilu kita liberal dan tidak ada pembatasan dana kampanye, calon dengan modal besar punya peluang lebih besar untuk menang. Akibatnya, representasi rakyat dalam parlemen kerap kalah oleh kekuatan modal,” jelasnya.
Titin menekankan perlunya perbaikan regulasi pemilu, termasuk pembatasan dana kampanye agar tidak membebani masyarakat lewat gaji dan tunjangan berlebihan. Ia juga menegaskan perlunya keteladanan pemimpin dalam menjalankan efisiensi anggaran.
“Efisiensi tidak hanya berlaku untuk rakyat, tetapi harus dimulai dari elite politik sebagai teladan,” pungkasnya.