Efisiensi Anggaran Berdampak pada Pelestarian Naskah Kuno

- Preservasi naskah kuno Perpusnas hanya 2.165 dari target 10.300 akibat pemotongan anggaran.
- Kendala pelestarian naskah kuno, minimnya ahli filologi, jual beli naskah kuno, dan kurangnya tanggung jawab kolektif.
- Pelestarian naskah kuno penting untuk sejarah, ilmu pengetahuan, dan rekam jejak intelektual bangsa yang membutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat.
Sleman, IDN Times - Efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto berdampak pada pelestarian naskah kuno. Akibat kebijakan pemotongan anggaran, Perpusnas di tahun ini hanya bisa melakukan preservasi 2.165 dari target 10.300 naskah kuno. Selain hambatan anggaran, upaya pelestarian naskah kuno juga menghadapi ancaman maraknya jual beli naskah kuno dan masih minimnya para ahli filologi di dalam negeri yang saat ini masih didominasi asing.
Pakar Kearsipan UGM, Waluyo, SS, M.Hum mengatakan, adanya kebijakan pemangkasan ini bisa berdampak pada proses pelestarian naskah kuno. Pasalnya upaya pelestarian naskah kuno ini membutuhkan sumber daya dan pendanaan yang tak sedikit.
“Pelestarian naskah kuno sendiri yang merupakan upaya untuk menyelamatkan dan memperpanjang usia naskah kuno melalui proses-proses kerja mulai dari pendataan, konservasi, restorasi, sampai alih media, semua itu membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil,” ujarnya, Rabu (5/3.2025).
Menurut Dosen Sekolah Vokasi UGM ini, sebelum adanya efisiensi, pendanaan dan atensi yang diberikan oleh pemerintah juga terlihat belum memadai. Padahal kendala yang sering terjadi di lapangan, pada saat identifikasi adalah banyaknya naskah kuno yang tersebar dan beredar di masyarakat yang dimiliki individu, namun tak dapat tercatat oleh pihak terkait. Belum lagi, ahli-ahli seperti filolog masih minim sehingga menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar untuk pemerintah untuk mendidik mendidik akademisi agar menjadi ahli.
“Diperlukan banyak ahli, masih banyak naskah-naskah kuno yang misalnya berada di luar negeri seperti naskah-naskah kuno yang pernah dibawa dan dijarah saat masa penjajahan Inggris, dan saat ini berada di British Library, Inggris,” katanya.
1. Pengalihan media memakan biaya tak sedikit

Waluyo menambahkan proses pengalihan media yang dapat mencapai ribuan lembar ini, dapat memakan biaya yang tak sedikit, bahkan pada proses pengembalian naskah yang sudah dialih mediakan pada tahun 2017—2025 ini, yang jumlah berjilid-jilid ini sampai memerlukan donasi dari masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan kurangnya tanggung jawab kolektif untuk melestarikan naskah kuno, meski tanggung jawab tersebut pada Perpusnas sesuai Peraturan Perpusnas No. 9 Tahun 2024, yang menurutnya relatif baru.
Hal ini membuktikan kurangnya kesadaran pemerintah terhadap pelestarian naskah kuno ini. “Tampaknya memang proses pelestarian itu sendiri belum menggembirakan. Persoalan pokoknya tampaknya belum tumbuhnya pemahaman dan kesadaran tentang naskah kuno dan pelestariannya,” ucapnya.
2. Pengetahun penting naskah kuno
Waluyo menambahkan dalam bidangnya, pengarsipan, segala rekam informasi termasuk di dalamnya naskah kuno menjadi penting, karena hal tersebut merupakan bukti atau rekaman kegiatan aktivitas ya individu maupun organisasi. Tak hanya itu, kata Waluyo, melalui naskah kuno pun kita dapat mengambil pengetahuan dan ilmu yang dapat berguna di masyarakat.
Tak hanya itu, pelestarian naskah kuno juga bertujuan agar anak bangsa tak melupakan sejarahnya dan menjadikannya sebagai pembelajaran, apalagi naskah kuno ini menjadi bukti aktivitas dari peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau, seperti kejayaan-kejayaan kerajaan di masa lalu.
“Kalau kita lacak ke belakang, kalau kita pernah mengalami peristiwa tertentu, bukti otentiknya apa. Salah satunya yang paling kuat, ya melalui sumber informasi primer ya naskah-naskah, arsip. Maka dari itu sangat perlu diselamatkan,” ujarnya.
3. Jual beli naskah kuno jadi hambatan

Waluyo menjelaskan selain efisiensi, adanya jual beli naskah kuno yang terjadi masyarakat pun menjadi hambatan dalam proses pelestarian ini. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pengambil kebijakan sudah seharusnya harusnya mengambil peran dalam mendampingi dan memberikan dukungan serta apresiasi kepada pihak-pihak yang memiliki naskah-naskah tersebut, dan mengawasi praktik jual beli naskah kuno yang kini masih kerap terus terjadi.
Waluyo menekankan upaya pelestarian ini tak seharusnya dibebankan pada satu pihak saja, seperti Perpusnas, sebaliknya menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan edukasi dan meningkatkan kesadaran bahwa pelestarian naskah kuno ini tidak hanya dianggap sebagai sesuatu hal yang statis namun sumber data itu dibutuhkan secara berkelanjutan.
“Peradaban bangsa itu ditentukan juga oleh rekam jejak prestasi dan rekam jejak intelektualnya dari naskah-naskah kuno ini,” katanya.