Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Desakan Restrukturisasi Polri Mencuat Akibat Rentetan Pelanggaran HAM

Acara Suara Tiga Zaman, di APMD, Selasa (10/12/2024). (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Amnesty International mencatat 116 kasus kekerasan oleh polisi di Indonesia dalam periode Januari-November 2024.
  • Usman Hamid menyerukan reformasi Polri dengan evaluasi kinerja berdasarkan parameter HAM dan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala Kepolisian.
  • Eko Prasetyo menegaskan perlunya restrukturisasi kepolisian dengan melibatkan masyarakat dalam pemilihan kepemimpinan polisi dari level pusat hingga daerah.

Yogyakarta, IDN Times – Desakan restrukturisasi institusi kepolisian muncul imbas sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan polisi. 
Amnesty International mencatat dalam periode Januari-November 2024 terdapat total 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

“Merespon situasi ini, kami menyatakan negara dalam keadaan darurat kekerasan polisi. Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban dalam luar biasa,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (10/12/2024). 

“Keberulangan kekerasan polisi telah menelan banyak korban fisik maupun jiwa, namun tidak ada investigasi yang memadai sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat,” ujarnya. 

1.Rendahnya transparansi kepolisian

Acara Suara Tiga Zaman, di APMD, Selasa (10/12/2024). (Dok. Istimewa)

Menurut Usman rendahnya transparansi hingga tidak ada penghukuman yang tegas untuk pelaku serta pemimpin komando dan petinggi-petinggi di kepolisian menjadi penyebab utama berulangnya kekerasan aparat ini. Kekerasan aparat harus dilihat dalam konteks yang lebih besar yaitu sebagai kebijakan yang diambil oleh petinggi Polri bukan hanya merupakan kejadian terbatas yang dilakukan oleh aparat di lapangan.
 
Oleh karena itu, reformasi menyeluruh harus dilakukan di tubuh Polri tidak hanya terbatas pada implementasi SOP penanganan aksi damai. Yang lebih berbahaya adalah cara pandang bahwa segala bentuk tuntutan masyarakat dianggap sebagai ancaman sehingga responnya selalu berujung pada aksi kekerasan oleh aparat. Bahkan dalam banyak situasi, kekerasan terjadi hanya karena ketersinggungan aparat kepolisian hingga kekhawatiran yang tak beralasan.
 
“Polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat. Kegagalannya bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi,” ucap Usman.
 
Usman menyerukan penting adanya evaluasi atas kinerja kepolisian dengan meletakkan alat ukur HAM sebagai parameternya. Melalui alat ukur HAM itulah kepolisian tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang, tidak mudah digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat hingga terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang dimiliki.
 
“Tak ada cara lain selain menuntut keterbukaan juga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kepala Kepolisian,” ungkap Usman.

2.Pengawasan dan kontrol kewenangan kepolisian harus dilakukan

Acara Suara Tiga Zaman, di APMD, Selasa (10/12/2024). (Dok. Istimewa)

Usman menyebut pada peringatan HAM kali ini saatnya polisi mulai mengubah diri dengan melakukan, perombakan kepemimpinan termasuk di pucuk pimpinan tertinggi yaitu Kapolri yang musti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi. 
 
Selanjutnya, memberi ruang bagi publik untuk menilai kinerja polisi dengan membuka partisipasi masyarakat untuk memilih pimpinan kepolisian di level pusat hingga daerah. 

3.Restrukturisasi kepolisian harus dilakukan

Acara Suara Tiga Zaman, di Rocket Hall, Minggu (8/12/2024). (Dok. Istimewa)

Sementara itu, pendiri Social Movement Institute (SMI), Eko Prasetyo, menegaskan pada acara Suara Tiga Zaman yang digelar oleh SMI pada Minggu (8/12/2024) dan Selasa (10/12/2024), pada dasarnya menegaskan untuk merestrukturisasi institusi kepolisian, bukan hanya masalah pencopotan pucuk pimpinannya. “Restrukturisasi kepolisan sehingga publik terlibat aktif, pemilihan kepemimpinan polisi,” ungkap Eko.
 
Eko mengatakan saat ia melakukan riset tentang kepolisian, tidak hanya pergantian Kapolri, namun pergantian Kapolsek saja masyarakat tidak dilibatkan. “Itu ada Kapolsek sudah bagus di masyarakat dekat, itu kadang diganti dan tidak melibatkan masyarakat. Itu monopoli polisi,” ujar Eko.
 
Eko menyebut SMI berupaya mengingatkan kepada masyarakat kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. “Marsinah, Udin, Munir, itu harus hidup dalam memori public. Melawan pelanggaran HAM, salah satunya dengan menghidupkan ingatan atas pelanggaran HAM masa lalu,” ucap Eko.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us