TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Survei Masyarakat Digital, CfDS UGM: 40 Persen Tak Setuju Wajib Vaksin

Masih banyak yang percaya dengan teori konspirasi

Petugas kesehatan menunjukan vaksin saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Sleman, IDN Times - Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali melakukan riset terhadap masyarakat digital mengenai persepsi masyarakat terkait pandangan mereka terhadap COVID-19 dan sumber informasi yang beredar.

Dari total 601 responden yang diteliti, 49,9 persen di antaranya menolak untuk diberikan vaksinasi gelombang pertama.

Baca Juga: Pakar UGM: Jabatan Presiden Tiga Periode Langgar Pembatasan Kekuasaan

1. 40 persen masyarakat tidak setuju dengan kebijakan wajib vaksin

Ilustrasi Penyuntikan Vaksin (ANTARA FOTO/REUTERS/Amit Dave)

Amelinda Pandu Kusumaningtyas, peneliti CfDS UGM menjelaskan, berdasarkan survei CfDS pada bulan Februari 2021, mayoritas masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi (diploma hingga S3) menganggap bahwa vaksin COVID-19 penting, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.

Akan tetapi, terdapat hampir 40 persen masyarakat tidak setuju dengan kebijakan wajib vaksin COVID-19 yang mayoritas merupakan masyarakat berpendidikan tinggi.

"Secara langsung, hal ini berdampak pada persepsi negatif masyarakat yang menyurutkan kesediaan untuk menerima vaksin," ungkapnya pada Rabu (24/3/2021).

2. Mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi COVID-19

Ilustrasi Penyuntikan Vaksin. ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS

Lebih lanjut, Amelinda menerangkan jika, pihaknya juga menemukan jika sebagian besar masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi COVID-19 melalui lini sosial media. Namun, sebanyak 81,5 persen masyarakat masih bersinggungan dengan berbagai bentuk postingan yang memuat teori konspirasi.

Dia mengungkapkan jika mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite global yang menyatakan bahwa vaksin COVID-19 dibuat demi keuntungan korporasi farmasi, ataupun untuk memasukkan microchip dalam tubuh manusia. Selain itu, masyarakat Indonesia juga masih percaya dengan paparan informasi hoaks terkait kesembuhan pasien dengan kalung anti COVID-19.

"Informasi sosial media sangat berpengaruh terhadap pembentukan pendapat masyarakat Indonesia, Terlepas dari latar belakangnya, masih terdapat masyarakat yang terpapar pusaran berita palsu ataupun teori konspirasi yang beredar di sosial media," katanya.

Baca Juga: Tips Jelang Vaksinasi COVID-19, Pakar UGM Sarankan Kamu Lakukan Ini

Berita Terkini Lainnya