TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar UGM: Belum Ada Antivirus COVID-19, baru Drug Repurposing

Potensi penggunaan tanaman obat lokal sangat terbuka

Ilustrasi Obat dan Vitamin (IDN Times/Besse Fadhilah)

Sleman, IDN Times - Pandemik virus Corona telah berlangsung lebih dari setahun terakhir. Namun hingga saat ini belum ditemukan antivirus yang direkomendasikan untuk mengobati COVID-19.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Djoko Wahyono mengungkapkan, belum ada antivirus yang secara resmi direkomendasikan untuk virus SARS-CoV-2. Sebagian besar obat yang digunakan dalam uji klinik COVID-19 merupakan drug repurposing atau memakai obat yang sudah ada untuk indikasi lain sebagai terapi COVID-19.

“Lebih dari 600-an uji klinik di seluruh dunia saat ini dilakukan dengan berbagai obat yang sebagian besar adalah drug repurposing,” ungkapnya pada Selasa (6/4/2021).

Baca Juga: Epidemiolog UGM: Pemberian Vaksin Kejar-kejaran dengan Durasi Imunitas

1. Belum ada obat yang disetujui

Ilustrasi Obat-Obatan (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut Djoko, hingga saat ini dari badan otoritas obat negara, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum pernah mengeluarkan persetujuan obat khusus untuk COVID-19.

Selama ini, obat yang digunakan dalam terapi COVID-19 menggunakan obat yang telah ada dengan Emergency Use Authorization (EUA) mempertimbangkan kondisi darurat dan belum ada obat yang tersedia.

"Beberapa obat yang telah ada sebelumnya dan digunakan dalam terapi COVID-19 antara lain chloroquine/hydroxychloroquine, lopinavir/ritonavir, ribavirin, oseltamivir, umifenovir, remdesivir, serta favipavir (avigan)," katanya.

2. Keuntungan memakai drug repurposing

Ilustrasi seorang pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/REUTERS/Marko Djurica)

Menurut Djoko, penggunaan drug repurposing sendiri memiliki keuntungan. Salah satunya adalah mempercepat penemuan obat karena bisa langsung dilakukan uji klinik fase III karena aspek keamanan sudah diketahui. Menurutnya,  klinik ini menjadi tahap penting sebagai pembuktian manfaat pada manusia.

"Selain itu harus dilakukan sesuai dengan good clinical practice untuk menjamin bahwa data dan hasil yang dilaporkan akurat dan tepercaya. Selain itu juga memberi jaminan hak integritas dan kerahasiaan subjek uji klinis dilindungi," terangnya.

Baca Juga: Riset CfDS UGM: 49,9 Persen Responden Tolak Vaksin COVID-19

Berita Terkini Lainnya