TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tan Malaka, Seorang Guru yang Jadi Oposisi Pemerintah Soekarno

Tan rumuskan pendidikan yang membebaskan  

Berbagai sumber

Sleman, IDN Times– Asisten peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Yogyakarta, Gregorius Ragil baru saja diwisuda sebagai sarjana S2 Sosilogi di Australia National University. Dia dinyatakan lulus setelah mempresentasikan dalam ujian akhir atas riset dan kajian tentang sosok revolusioner Tan Malaka dengan judul tesis Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial di Indonesia.

Risetnya dimulai sejak awal 2018 dan ditulis pada November 2018 hingga Juni 2019. Kemudian sejumlah ironi tentang Tan dari tesisnya dipaparkan dalam diskusi bertajuk Refleksi 74 Tahun Indonesia Merdeka – Indonesia di Mata Para Tokoh di Sanggar Maos Tradisi, Sleman pada 15 Agustus 2019 lalu.

Sosok kelahiran Nagari Pandam Gadang, Ganuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 dengan nama Ibrahim yang bergelar Datuak Sutan Malaka itu menyita perhatian mayoritas anak muda yang hadir dalam diskusi dan juga sejumlah aktivis dan mantan aktivis.

“Bagaimana memaknai kemerdekaan ini? Punya sekian banyak tokoh, seperti Tan, tapi tak sealinea pun pemikirannya diwujudkan selama 74 tahun Indonesia oleh republik ini,” kata aktivis Insist, Muchtar Abbas memancing diskusi.

Baca Juga: 9 Kutipan Inspiratif Buku Madilog 'Tan Malaka' yang Tak Lekang Waktu

1. Tan Malaka adalah seorang guru

IDN Times/pito agustin rudiana

Jarang sejarah menyebut Tan Malaka sebagai guru. Lebih banyak orang memberi label kepadanya sebagai seorang Marxist, komunis, atau pun revolusioner.

“Padahal profesi Tan itu adalah guru,” kata Ragil.

Sebelum Tan hijrah ke Belanda untuk melanjutkan studi, ia bersekolah di sekolah calon guru di Kweekschool di Bukittinggi ketika berusia 11 tahun. Setelah lima tahun, Tan melanjutkan ke Sekolah Kejuruan Guru atau Rijkskweekschool di Kota Haarlem, Belanda. Biaya studinya dari hasil saweran para engku alias orang-orang terpandang di Payakumbuh.

Sepulang dari Belanda pun, Tan mengajar anak-anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sekolah Rakyat di Sanembah, Sumatera Utara. Lantaran melihat penderitaan kaum buruh perkebunan di sana yang sering ditipu dan diperas keringatnya di tanah sendiri karena buta huruf dan tak bisa berhitung.

Keberpihakan Tan terhadap para buruh yang ditindas membuat ia dipercaya untuk merintis sekolah rakyat di Semarang. Ketika itu, Tan sudah bergabung di Perkumpulan Komunis di Hindia (PKH) yang dibentuk Syarikat Islam (SI) dan ISDV.

2. Merumuskan pandangan soal pendidikan yang membebaskan

pahlawancenter.com

Sebagai seorang guru, Tan mengusung konsep pendidikan yang membebaskan. Ada tiga semangat utama dari konsep tersebut yang disusun sepulang menempuh pendidikan guru di Belanda. Pertama, anak-anak harus diberi bekal untuk bertarung dalam masyarakat kapitalisme yang diistilahkan Tan dengan masyarakat kemodalan.

Kedua, bekal itu digunakan anak-anak untuk berdemokrasi dan mencintai rakyat kecil, bukan diri sendiri. Ketiga, sekolah harus mengajarkan dan membongkar idiologi yang mengajarkan ketimpangan, tetapi harus membela kelas bawah.

Baca Juga: 9 Kutipan Inspiratif Buku Madilog 'Tan Malaka' yang Tak Lekang Waktu

3. Tan yang pertama kali menyebut frase “Republik Indonesia” sebelum Indonesia merdeka

theglobal.com

Frase “Republik Indonesia” ditulis dalam buku berjudul “Naar de Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia)” yang ditulis ketika Tan bermarkas di Kanton. Dia menyusun gagasan masa depan Hindia Belanda untuk merdeka dari kolonialisme dalam buku itu. Saat itu, Indonesia belum merdeka. Tan masih dalam masa pembuangan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada kurun 1922-1942 ke Amsterdam karena terlibat dalam ISDV.

Selama pengasingan, Tan menjadi agen Komunis Internasional (Commintern) yang membawahi Hindia Timur, termasuk Hindia Belanda sehingga dia berkeliling ke Berlin, Moskwa (Moscow), Xiamen (Amoy), Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang.

4. Menjadi oposan pertama di Indonesia

(Kediaman Tan Malaka di Payakumbuh, Sumatera Barat) infosumbar.net

Istilah oposisi acapkali muncul ketika momentum pemilihan umum digelar. Padahal kehadiran oposan yang berseberangan dengan pemerintah sudah ada sejak pemerintahan awal Indonesia. Tan Malaka-lah sang oposan pertama itu.

“Cita-citanya untuk merdeka 100 persen membuat Tan menjadi pionir oposisi pertama di Indonesia,” kata Ragil.

Ceritanya adalah ketika Tan kembali ke Hindia Belanda pada 1942 usai Jepang mengusir Pemerintah Kolonial Belanda. Namun Tan benar-benar muncul di hadapan publik usai Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kemudian Tan berkeliling di Pulau Jawa untuk mengabarkan berita gembira soal kemerdekaan.

Berkebalikan dengan rakyat yang menyambut gegap gempita kemerdekaan itu, pemerintahan Soekarno justru masih bersikap kooperatif dengan penjajah. Mereka bersedia melakukan perundingan dengan Belanda untuk membahas status kemerdekaan Indonesia lewat Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani kedua negara pada 25 Maret 1947. Sikap ini yang ditentang Tan. Bagi Tan, Indonesia sudah merdeka, buat apa berunding dengan penjajah lagi?

Di mata Ragil, Tan adalah sosok yang keras dan konsisten memegang prinsip. Salah satu prinsip hidupnya adalah menolak melakukan negosiasi dengan penjajah. Bagi Tan, jika berhadapan dengan penguasa yang destruktif, penguasa yang mendominasi, maka harus melawan dengan sekuat tenaga. Negosiasi menjadi langkah terakhir yang digunakan saat berhadapan dengan rakyat akar rumput dalam proses mobilisasi.

Tan membuktikan perlawanan terhadap penjajah dengan turut angkat senjata mengusir tentara Sekutu yang merapat ke Surabaya pada Desember 1945. Usai itu, Tan ke Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total melawan Sekutu dengan membentuk perkumpulan Persatuan Perjuangan yang mendapat dukungan penuh Jenderal Sudirman. Bahkan Sudirman pun memilih terus berperang dengan strategi gerilya ketimbang berunding dengan penjajah.

Perkumpulan tersebut merupakan manifesto kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang memilih jalur perundingan. Di situlah, Tan dicap sebagai oposan. Pemerintah Soekarno di bawah Kabinet Syahrir memburu dan menangkapi tokoh-tokoh Persatuan Pembangunan, termasuk Tan.

Dia dibebaskan masa Kabinet Amir Syarifuddin. Ketika itu Perundingan Renville antara pemerintah Indonesia dengan Belanda sudah diteken pada 17 Januari 1948 yang isinya membuktikan kekecewaan Tan. Seperti pengakuan Belanda atas wilayah Indonesia hanya sebatas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Konsekuensinya ada garis demarkasi yang membatasi wilayah Indonesia dengan jajahan serta penarikan tentara Indonesia dari wilayah jajahan.

Tan kemudian kembali ke Jawa Timur, yaitu Kediri untuk menyusun kekuatan menghadapi Agresi Militer Belanda 1948. Lewat siaran radio di Kediri, Tan mendengungkan ajakan menolak pengakuan atas Perjaanjian Linggarjati dan Renville, menghancurkan negara boneka bentukan Belanda, mengambil alih semua aset Belanda dan Eropa di Indonesia, mengembalikan harga diri rakyat Indonesia, mengabaikan ajakan perundingan apapun yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, serta menyatukan seluruh partai dan badan keamanan rakyat.

Tan pun dianggap tukang bikin onar. Dia kembali diburu pemerintah Indonesia dan ditembak mati oleh tentara indonesia. Sebagaimana ditulis Peneliti Belanda, Harry A. Poeze dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (September 1948-Desember 1949), dia membaca terbitan berbahasa Belanda pada Juni 2007 berjudul Verguisd en vergeten. Isinya menyebutkan, Tan ditembak pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Poeze yang telah melakukan penelitian tentang Tan Malaka sejak 1980 kemudian ke Kediri untuk mencari letak makam Tan.

 

Baca Juga: 9 Kutipan Inspiratif Buku Madilog 'Tan Malaka' yang Tak Lekang Waktu

Berita Terkini Lainnya