Mereka yang Melawan Stigma COVID-19: Harus Berani Bersuara
Stigma lahir karena informasi yang sesat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Hingga kini, sejumlah daerah di Indonesia dihebohkan jenazah pasien positif COVID-19 diambil paksa keluarganya. Di daerah lain, sejumlah pasien yang terinfeksi virus corona menolak dibawa ke rumah sakit untuk diisolasi. Beberapa pasien yang diisolasi di rumah sakit pun memilih kabur. Tak terkecuali kasus-kasus tenaga kesehatan (nakes) yang dikucilkan warga di lingkungannya.
Dua hari lalu, 9 Juli 2020, puluhan pedagang Pasar Gatak, Kabupaten Bantul libur berjualan. Alasan beragam, mulai dari sakit sampai banyak urusan. Diketahui alasan utama cuma satu, menghindari rapid test massal yang digelar untuk pedagang di sana. Mereka takut, jika hasilnya reaktif, hingga dinyatakan positif corona, maka warga akan mengucilkannya. Hal ini adalah bukti bahwa stigma masih jadi persoalan sejak awal pandemik.
“Yang terinfeksi corona bukanlah pesakitan. Siapa saja bisa terinfeksi,” kata relawan Lapor COVID-19, Ahmad Arif saat membuka diskusi webinar bertema Melawan Stigma, Memutus Corona yang digelar pada 9 Juli 2020.
Semestinya, masyarakat bersolidaritas memberikan dukungan dan bantuan terhadap pasien dan keluarganya agar sembuh. Seperti yang dialami penyintas dari Kampung Balirejo, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Ndaru Triatmoko. Dia tertular virus dari klaster Indogrosir di Sleman usai menolong temannya yang pingsan pada 18 April 2020. Yang menarik, warga di kampungnya tak mengucilkan keluarga yang ditinggalkan selama diisolasi di rumah sakit. Mereka justru memberikan bantuan sembako berupa sayuran dan lauk pauk. Mengingat keluarganya juga menjalani isolasi mandiri 14 hari.
“Sehari tiga kali dikirim,” kata Ndaru dalam cuplikan video yang diputar menjelang diskusi.
Dan ketika Ndaru dinyatakan sembuh, dia mendapat sambutan dari warga setiba di kampungnya. Sambutan drum band hingga tumpeng nasi kuning. Stres yang dirasakan Ndaru selama isolasi 46 hari tanpa melihat matahari, lenyap sudah.
“Jadi warga mikirnya bukan aib. Tapi bagaimana memberi dukungan. Kalau jenengan jadi saya pasti terharu,” kata Ndaru.
Sayangnya, tak semua penyintas mendapat perlakuan sama seperti Ndaru. Tak semua warga bersikap positif terhadap warga yang terinfeksi.
“Sudah sakit, diisolasi, pulang dihindari. Coba yang menghindari itu disuruh merasakan, pasti stres,” tukas Ndaru.
Baca Juga: [UPDATE] Terus Bertambah, Kasus Positif COVID-19 di DIY Jadi 370
1. Diusir dari kos karena sakit dan mengisolasi diri
Sembilan hari pada awal Maret 2020, Meika Arista mengunjungi sejumlah kota di Indonesia. Setiba di Surabaya pada 10 Maret 2020, kondisi tubuhnya drop. Dia memaksakan diri kembali ke Jakarta dengan pesawat terbang yang sudah dibeli tiketnya.
Istirahat di kos tak membuat kesehatannya membaik. Dengan diantar teman, Meika memeriksakan kondisinya ke rumah sakit terdekat.
“Leukosit saya tinggi. Kemungkinan besar sedang ada virus yang menyerang,” kata Meika, warga terdampak stigmatisasi menirukan perkataan dokter dalam diskusi webinar.
Dokter meminta Meika istirahat tiga hari di kos. Tak perlu rawat inap. Namun kondisinya yang memburuk mendorongnya pergi ke rumah sakit swasta yang dinilai lebih baik. Dokter dengan lugas mengatakan Meika harus dirujuk ke rumah sakit rujukan corona terdekat.
“Saya deg-degan. Apakah benar-benar saya terinfeksi corona?” tanya Meika.
Di meja registrasi rumah sakit rujukan, Meika mengisahkan riwayat perjalanan dan gejala yang dirasakan. Namun tak ada tindakan medis yang dilakukan dokter di sana. Sekadar cek tensi darah dan suhu tubuh pun tidak.
“Saya dikatakan bukan pasien yang urgen untuk ditangani,” kata Meika.
Meika menelan kekecewaan sendiri di tengah rasa sakit yang mendera. Berbekal obat yang diberikan tanpa pemeriksaan medis, Meika pulang. Untuk langkah antisipasi, dia mengisolasi diri di kos.
Pada hari ketujuh, kondisinya membaik. Dia membuat petisi ditujukan presiden dan menteri kesehatan melalui Change.org tentang perlunya tes massal. Lewat media sosial, petisi itu disebar. Orang lain pun ikut membantu menyebarkan. Salah satu warga yang mengetahui petisi itu berulah. Berbekal update status yang dibuat Meika di akun medsosnya, orang itu menyebarkan informasi ke WAG warga kampung setempat. Bahwa orang bernama Meika, dengan alamat lengkap kos dan pekerjaan advokat adalah orang positif corona. Padahal tiga rumah sakit yang didatangi Meika, belum satu pun memastikannya terinfeksi corona.
Kampung setempat pun heboh. Banyak yang menelepon dirinya dan pemilik kos untuk memastikan kebenaran informasi itu.
“Alhamdulillah, ibu kos orang yang berpendidikan, paham dan mengikuti perkembangan virus corona di Indonesia,” kata Meika.
Komunikasi yang baik dijalin dengan pemilik dan penghuni kos. Seperti permintaan Meika agar mereka tak menyentuh gagang pintu kamarnya. Meika pun mendapat kamar mandi tersendiri selama dia mengisolasi diri. Untuk makan pun, Meika memesan melalui ojek online dan pemilik kos membawanya ke depan kamar. Sikap dukungan itu cukup membantunya menghadapi sikap tak bersahabat di lingkungan warga.
Hingga suatu malam, Meika ditelepon seorang warga setempat yang memaksanya menunjukkan surat bebas corona. Jika tidak ada, Meika mesti angkat kaki dari kosnya demi melindungi warga sekitar dari kemungkinan penularan. Kisah Meika yang telah berupaya mendatangi tiga rumah sakit tak diterima. Sementara malam terus beranjak sekitar pukul 10 lebih. Meika menangis, tertekan, mengingat tak ada sanak saudara di Jakarta.
“Saya harus ke mana? Apa mungkin saya ke Yogyakarta malam itu juga,” kenang Meika sedih.
Teman-temannya pun datang malam itu untuk mengadvokasi. Warga yang mengancamnya minta digelar pertemuan.
“Saya heran. Saya dikira positif corona, tapi warga malah minta ketemuan,” kata Meika yang mengaku belum menjalani pemeriksaan tes swab sama sekali.
Tiga hari kemudian, Meika diundang dalam pertemuan tingkat RW. Warga yang menyebarkan hoaks pun diundang. Orang itu diminta membuat dan menandatangani surat pernyataan karena menyebarkan informasi tak benar. Surat pernyataan yang dibuat menyebutkan ulahnya menyebarkan kabar Meika positif corona hanya iseng. Alasannya, bentuk kepedulian atas penyebaran virus corona di Indonesia. Namun ulahnya malah bikin warga gaduh. Sejumlah warga yang hadir pun mengaku takut dengan kabar itu.
“Kalau sakit memilih tak ke rumah sakit. Takut kalau diusir dari kos karena dikira corona,” kata Meika.
Bahkan ketika ada ambulans datang, warga riuh. Was-was ada yang sakit. Padahal ambulans itu datang untuk mengusung karpet yang dicuci di laundry. Dalam pertemuan itu pun Meika baru tahu ada warga yang menggelar ritual di depan kosnya. Mereka menyebar bunga dan merapal jampi-jampi.
“Ini kan salah kaprah. Orang sakit mestinya ditolong, bukan dibikin mistis,” kata Meika.
Baca Juga: Sampai Madura, Orang Positif COVID-19 Tak Langsung Jalani Perawatan