Tak Hanya Buruh, Omnibus Law Memberi Dampak bagi Semua (2)
Mendorong ekonomi, tak pikirkan mitigasi risiko investasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Sejak pertama kali mencuat, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini bikin geger kaum buruh. Mereka mendahului dengan aksi turun ke jalan untuk menolak rancangan produk hukum itu. Bahkan sebelum draf pasal-pasal RUU itu beredar di media sosial.
“Namanya RUU Cipta Kerja, tapi didemo para pekerja,” kata Peneliti Pukat UGM, Yuris Rezha Kurniawan dalam diskusi bertema “Omnibus Law dan Korupsi Legislasi” di Kantor Pukat UGM, 26 Februari 2020 lalu.
Pertanyaannya, mengapa? Sejumlah asosiasi buruh menengarai sejumlah pasal dalam RUU itu yang merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tak berpihak pada buruh. Salah satunya, pengusaha yang tidak membayar buruh standar upah minimum dan upah lembur, menghalangi buruh berserikat dan menggelar aksi mogok, menghalangi buruh yang mengajukan cuti haid dan melahirkan hanya dikenai sanksi administratif. Besaran upah buruh pun diubah dari hitungan per hari menjadi per jam.
“Ada agenda setting yang namanya investasi. Mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa membahas mitigasi risiko investasi,” kata Yuris yang mengetahui hal itu dari informasi di media massa.
Belakangan diketahui, RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga menyasar revisi sejumlah undang-undang yang berdampak buruk bagi lingkungan dan pers. Dan jika ditelaah satu per satu akan diketahui produk undang-undang itu akan menyasar hampir di semua lini.
“Bukan hanya buruh. Semua akan terdampak,” kata Sosiolog UGM, AB Widyanta.
Baca Juga: Omnibus Law, Kelahiran RUU Sapu Jagat Demi Pertumbuhan Ekonomi (1)
1. Amdal lingkungan bisa lahir tanpa partisipasi warga
Saban hari, warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menghirup abu dan asap yang dihasilkan dari pembakaran batubara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sana. Pasien infeksi pernapasan di Puskesmas Slarang pun naik 200 persen sejak PLTU beroperasi. Anehnya, laporan triwulan dari izin lingkungan yang didapat PLTU dinyatakan baik-baik saja.
“Dianggap tak melanggar apa-apa. Padahal mencemari lingkungan warga,” kata Kepala Divisi Penelitian, Informasi dan Dokumentasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Lutfy Mubarok.
Di Purwokerto juga akan dibangun pabrik pengolah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah itu gelontoran dari rumah sakit. Warga sekitar pun menolak.
Sementara perusahaan-perusahaan itu dibangun masa UU Lingkungan berlaku. Salah satunya mensyaratkan izin amdal yang prosesnya harus melibatkan masyarakat. Perusahaan pun punya tanggung jawab mutlak pada lingkungan.
“Gimana ceritanya kalau RUU Omnibus Law Cipta Kerja diberlakukan?” tanya Lutfy.
Setidaknya ada empat poin dari revisi UU Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditengarai LBH Yogyakarta bermasalah. Pertama, kewenangan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat. Semula kewenangan itu ada di tangan pemerintah daerah, tetapi lewat RUU itu kembali ditarik pemerintah pusat.
“Kuantitas pemerintah pusat untuk akses ke daerah yang terbatas. Sedangkan persoalan lingkungan itu spesifik. Tiap daerah beda,” kata Lutfy.
Kedua, ada pembatasan masyarakat atas informasi, partisipasi, dan keadilan. Izin lingkungan diganti dengan izin berusaha. Izin amdal yang mestinya dilalui lewat pelibatan masyarakat, kini tak lagi diperlukan partisipasi publik. Artinya, kian sempit akses masyarakat melakukan upaya hukum terhadap keputusan yang berdampak kerusakan lingkungan.
Ketiga, pengawasan dan pengenaan sanksi banyak yang dihapus. Jika semula ada sanksi pidana, kemudian diganti dengan sanksi administratif. Sementara yang sebelumnya berupa sanksi administratif kemudian ditiadakan.
Keempat, dibuka banyak celah untuk menyesuaikan tata ruang tanpa prosedur baku untuk kegiatan berusaha. Jika pemerintah belum punya Rencana Detail Tata Ruang, pengusaha bisa mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk usahanya.
Lutfy pun ingat pernyataan pegiat lingkungan di Cilacap, Riyanto. “Ini aja yang ada izin lingkungannya sudah parah. Kewenangan yang masih ada di kabupaten saja masih susah. Apalagi kalau omnibus law ya?”
Baca Juga: Hari Ini Aksi Mosi Parlemen Jalanan: Gagalkan Omnibus Law! (3)