Langgar Aturan PPDB, Ombudsman DIY Beberkan Indikasi Kecurangan

Mindset orang tua soal sekolah favorit jadi pemicu

Yogyakarta, IDN Times - Kepala Ombudsman Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY), Budhi Masturi mengungkapkan sejumlah permasalahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi pada tahun 2023. Sistem yang baru berjalan beberapa tahun terakhir, dengan tujuan pemerataan pendidikan, masih menyisakan sejumlah celah.

Mindset sekolah favorit nyatanya belum bisa dihilangkan dari pandangan sebagain besar masyarakat. Banyak orangtua yang memanfaatkan celah kebijakan yang ada, untuk bisa memasukkan anaknya ke 'sekolah favorit'.

Sejumlah cara pun dilakukan orang tua siswa di DIY. Kepada IDN Times, Budhi Masturi membeberkan sejumlah aduan yang diterima dari masyarakat, dan temuan ORI DIY di lapangan. 

Baca Juga: Mindset Sekolah Favorit Jadi Pemicu Akal-akalan PPDB di Jogja 

Apa saja aduan soal PPDB yang diterima pada tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya?

Kalau aduan lebih kurang masih sama ya, cuman memang informasi yang semakin masif. Jadikan ada orang yang hanya menginformasikan saja, tapi ada kemudian yang mengadu. Jadi dari informasi ini kita malah dapat data-data yang krusial.

Kami dalam pemantauan PPDB setiap tahun, berkolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil, yang memang peduli dengan pendidikan. Dari mereka kita dapat banyak informasi dan sebagiannya itu kemudian dilaporkan, tapi sebagain lainnya, karena mereka punya keterbatasan data, itu kemudian diinformasikan ke kita. Kita yang menelusuri itu.

Ombudsman ini punya kewenangan inisiatif namanya, tanpa adanya aduan kita bisa menindaklanjuti informasi maupun gejala pelayananan yang memang mengindikasikan adanya dugaan maladministrasi. Jadi memang beberapa di antara kita yang ditindaklanjuti itu bukan bersumber dari aduan

Apa saja keluhan yang muncul seputar PPDB tahun ini?

Untuk PPDB tahun lalu yang mengemuka soal jual beli seragam, dan pungutan. Tahun ini memang lebih menonjol pengungkapan praktik-praktik dugaan kecurangan yang terjadi itu, yang dilakukan oleh orang tua calon siswa.

Indikasi kecurangan dalam PPDB tahun 2023 juga muncul di provinsi lain, terutama untuk jalur zonasi. Bagaimana dengan kondisi di Jogja?

Sama sebenarnya, Jogja satu yang mengemuka itu numpang KK, yang kemudian kami bisa menemukan lokasinya. Ada satu alamat itu ada dua KK atau lebih, kemudian yang satu tertulis ada 6 anak yang nitip situ, yang satu ada 5 anak. Itu setelah kita cek Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil, di iantara 6 itu sudah ada yang keluar, karena kan datanya 2022. Terus sudah ada yang masuk baru umur 11 tahun itu. Kita cek lapangan rupanya KK tersebut berada di dalam lokasi sekolah, jadi itu semacam rumah dinas untuk ditinggali bapak ibu kantin sekolah seperti itu.


Kalau masyarakat kan tidak punya akses untuk bisa sampai seperti itu (menelusuri). Ombudsman yang punya. Numpang KK itu jadi isu yang dominan di DIY, kemudian itu terjadi di Kota (Yogyakarta), baru kemarin juga cek lapangan terjadi di Gunungkidul juga, tapi tidak semasif di Kota Yogyakarta. Satu KK itu ditumpangi satu orang (di Gunungkidul).

Numpang KK ini sebenarnya tahun lalu sudah ada informasinya, cuma gak semasif sekarang. Kalau tahun lalu ada dua modus, numpang KK, anaknya dititipkan di KK orang dekat sekolah, atau dia pindah ke lokasi yang dekat sekolah, tapi yang pindah hanya namanya, orangnya tetap. Ada yang dia suaminya di KK asal, istri dan anaknya bikin KK deket sekolah. Orangnya tinggal tetep sama.

 

Permasalahan lainnya yang ditemukan dalam PPDB seperti apa?

Langgar Aturan PPDB, Ombudsman DIY Beberkan Indikasi KecuranganKepala Ombudsman Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY), Budhi Masturi (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Itu soal tahun lalu kita temukan dan masif, tahun ini kami temukan masih ada ternyata. Kami menyebutnya sebagai perjokian wali. Perjokian wali ini, jadi dalam PPDB itu ada satu mekanisme PPDB yang melalui jalur perpindahan tugas orangtua. Sayangnya memang di dalam Permendikbud itu tidak dibatasi, maksimal sudah berapa lama. Sehingga beberapa daerah tidak ada batasan, tapi di DIY untuk SMA dibatasi maksimal tiga tahun untuk SK pindahnya.

Ini (perjokian wali) ada banyak sekali, tahun lalu kami menemukan lebih 50 persen anak yang masuk melalui jalur perpindahan tugas orangtua. Itu menggunakan perjokian wali. Seperti apa perjokian wali itu? Perjokian wali itu, misal saya sudah lama di Jogja, anak saya juga sekolah di Jogja, tapi kalau saya pakai zonasi, anak saya gak bisa sekolah di sekolah yang diinginkan difavoritkan. Maka dengan menggunakan jalur perpindahan orang tua, bisa milih sekolahnya selama kuota masih. Kemudian saya menggunakan SK teman saya yang pindah, teman saya ini saya jadikan wali dari anak saya, dengan akta notaris, lalu atas dasar itulah dia bisa menggunakan jalur perpindahan orang tua/wali dengan SK dia. SK teman saya ini.

Kami menyebutnya perjokian wali, karena dia bukan wali sebenarnya, karena anaknya tinggal sama orangtuanya. Wali itu kan sebenarnya kalau orangtua meninggal, dia harus ikut dia yang bukan orangtuanya. Itu juga masih kita temukan. Biasanya praktik seperti ini banyak dilakukan anak dari orangtuanya yang pegawai instansi vertikal.

Baca Juga: Kasus Perundungan di Jogja Meningkat, Ini Upaya DP3AP2KB Jogja

Bagaimana soal PPDB jalur afirmasi siswa miskin apakah ada permasalahan juga?

Itu ada dugaan manipulasi data kemiskinan. Ini juga kita mendapatkan informasi tapi belum kita dalami lagi, karena datanya masih kurang konkret. Misalkan saya kemarin bertemu dengan beberapa orang tua siswa cerita mau melaporkan, tapi sungkan karena temannya.

Jadi kemudian bisa dapat surat rekomendasi dari Dinas Sosial itu yang menerangkan masuk kategori afirmasi, orang tidak mampu. Padahal orang mampu, jadi surat itu ia pakai hanya untuk masuk sekolah, biar bisa masuk jalur afirmasi. Dia gak ngambil fasilitas lain, bansos dan sebagainya. Itu ada seperti itu, tapi ini belum kita dalami, karena baru fokus ke numpang KK.

Selebihnya soal kebijakan yang kurang tepat dari Kementerian Pendidikan, jadi kalau tahun lalu itu, afirmasi hanya bisa masuk di zonanya sendiri zona 1, sekarang afirmasi bisa masuk dari zona manapun. Ini bagi sebagian orang yang zona lebih dekat, di zonasi itu merugikan, tapi itu ada dasarnya di Permendikbud. Ini persoalannya ada di kebijakan. 

Dari tiga masalah yang terlihat numpang KK, perjokian wali, dan memakai surat miskin, mana yang paling mendesak untuk segera dituntaskan?

Langgar Aturan PPDB, Ombudsman DIY Beberkan Indikasi KecuranganIlustrasi pelajar(IDN Times/Mardya Shakti)

Yang mendesak saya kira soal perpindahan tugas, atau numpang KK karena dari Dinas Pencatatan Sipil itu merasa sudah sesuai prosedur. Dia tutup mata dengan kejanggalan, anak 11 tahun dipindahkan ke KK lain, sementara orangtua masih lengkap. Itu kan kejanggalan, tapi kalau catatan sipil mengatakan sepanjang syarat prosedurnya terpenuhi, dia mengatakan itu hak untuk pindah, jadi gak ada masalah untuk mereka. Jadi menutup mata kejanggalan yang ada diproses perpindahan KK itu. Jadi misal anak 11 tahun harus dilihat lagi, ini untuk kebutuhan apa, kalau memang anak asuhnya gak papa, kalau kemudian gak ada hubungan, dan dia gak tinggal di situ?

Kalau di kota (Yogyakarta) ini ada sedikit celah ya yang kemudian jadi relatif tidak bisa dikontrol seperti itu, karena proses perpindahan itu bisa lewat WA saja, di kota. Kami cek kelurahan setempat itu mereka mengatakan tidak tahu menahu, tidak dilewati proses perpindahan itu. Jadi kami (kelurahan) tahunya setiap tahun diberi rekap data warga terbaru. Tidak bisa teridentifikasi apakah ada gerakan warga pindah KK janggal atau tidak, dari sisi desa tidak bisa mengantisipasi.

Kalau di Gunungkidul karena keterbatasan atau apa, mereka tetap menggunakan form dari desa. Jadi desa tahu ada perpindahan, cuma desa tidak punya cukup kewenangan untuk menganulir atau tidak menyetujui, karena kewenangan itu ada di catatan sipil.

 

Aturan untuk perpindahan penduduk itu ada di mana?

Ada di Permendagri, bisa dicari ada jenis perpindahan. Model itu memang dalam aturan sama, harusnya proses verifikasi. Tidak strike dilakukan, kasus tertentu saja. Dalam kasus ini tidak perlu verifikasi karena merasa sudah sesuai prosedur. Kita akan mengumpulkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jogja dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Jogja serta Gunungkidul, provinsi, lurah setempat, dan dari Kementerian Pendidikan Balai Penjamin Mutu Pendidikan, termasuk dari KPAI.

Kita tetap membuka opsi, ada sanksi untuk anak, dianulir dikeluarkan atau apa, cuma kan kita gak bisa serta merta milih opsi itu. Kami ingin mendengar pertimbangan KPAI seperti apa, itu salah satu opsi tindaklanjutnya. Opsi lainnya tentu ada, kita diskusikan hari Rabu 26 Juli 2023.

Kedua soal perjokian wali, jadi fokus kita. Sebenarnya saya sudah mengusulkan waktu saya diundang ke Jakarta, sebaiknya di dalam peraturan menterinya perpindahan tugas orangtua. Ditulis perpindahan tugas orang tua saja, gak usah pakai garis miring wali. Sehingga tidak diambil celah membuat wali pura-pura.

Tidak salah, tapi ya tidak patut, tidak salah administrasinya, cuma kemudian dengan perpindahan KK tadi, menurut catatan sipil gak ada yang keliru gak ada yang salah. Secara umum seperti itu ketentuannya, tapi kalau secara khusus ada kejadian kita lihat motif orang pindah apa. Kalau motif untuk menyiasati aturan atau bahkan melanggar aturan itu menjadi permasalahan khusus. Jadi kalau perwalian benar-benar perwalian boleh, kenapa enggak. Misalkan orangtua sudah gak ada, dua-duanya.

Munculnya sejumlah masalah dalam PPDB itu diperkirakan karena masih banyak orang tua yang berpandangan mengenai sekolah favorit. Apakah tahun ini masih terjadi?

Langgar Aturan PPDB, Ombudsman DIY Beberkan Indikasi KecuranganKantor Ombudsman DIY (IDN Times/Febriana Sinta)

Saya kira kalau boleh menduga, ini fenomena gunung es yang terjadi di berbagai daerah mungkin. Terutama daerah yang, apa favoritisme itu belum hilang dari mindset orangtua. Orangtua kan ingin anaknya sekolah di sekolah yang mereka anggap favorit.

Sementara sebenarnya tujuan zonasi adalah mengeliminasi favoritisme sekolah itu, tapi jadi gak efektif karena orangtua belum lepas mindsetnya dari favoritisme itu.

Pemerintah sepanjang pengamatan kami di pusat maupun daerah itu belum pernah melakukan satu program yang kemudian membantu orangtua merubah mindset yang sesuai dengan visi misi pemerintah dalam menjalankan PPDB. Kita belum pernah melihat iklan di televisi yang misalkan mengampanyekan bagaimana sisi baik dari zonasi, apa keunggulan zonasi. Keadilan akses itu harus dihargai, belum pernah kan ada iklan seperti itu.

Sisi lain sebenarnya untuk tingkat Jogja dampak zonasi dampak positif sudah mulai terasa, salah satunya persebaran anak-anak pintar di berbagai sekolah. Kalau dulu ngumpul di satu sekolah, sekarang sudah tersebar. Salah satu indikatornya lomba-lomba karya ilmiah, penelitian, tidak dimenangkan sekolah itu saja.

Hasil riset saya, sekolah itu difavoritkan anak-anak itu kadang bukan karena output keluaran akademiknya. Difavoritkan lebih pada sekolah ini, basketnya keren unggul, unggul baris berbaris, ada yang pentas seninya, favoritisme itu memberi peran, tidak hanya keluarannya. Sementara orangtua favoritisme keluar bagus, diterima negeri. Memang upaya untuk meminimalisir favoritisme sekolah jadi PR (pekerjaan rumah) bersama gak cuma orangtua, maupun dinas pendidikan, kampus memberi andil mempertahankan itu, karena setiap tahun membuka jalur undangan yang kemudian tiap sekolah beda, sekolah yang difavoritkan relatif jalur undangannya lebih besar. Itu melanggengkan favoritisme. Di samping pemerintah itu belum berhasil memeratakan sarana prasarana pendidikan. Kompleks sih.

 

Permasalahan ini menjadi tanggung jawab siapa?

Tanggung jawab bersama, ya kebijakan yang memberi celah tadi bisa dari pusat daerah, kota atau dinasnya. Kayak dinas, SK perpindahan orang tua kalau di pusat gak diatur, bisa seumur hidup kalau di pusat. Misal sudah pindah 10 tahun di Jogja, kalau mengacu Kemendikbud, masih bisa dipakai itu SKnya, karena gak ada batasan. Di DIY diberi batasan, tapi batasan 3 tahun, terlalu lama. Padahal 6 bulan sudah bisa. Harusnya 6 bulan saja, kan kebijakan dinas juknisnya.

Baca Juga: PPDB SMP Forpi Temukan Orangtua Titip Status Anak di Kartu Keluarga   

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya