Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengurai Sengkarut Royalti Musik, Mengaransemen Solusi yang Adil

ilustrasi gig musik
ilustrasi gig musik (unsplash.com/Natalie Parham)
Intinya sih...
  • Kebingungan soal mekanisme pungutan royalti serta tarif yang dinilai memberatkan, membuat pelaku usaha di daerah ketar-ketir.
  • Musisi lokal di daerah turut menyuarakan berbagai sudut pandang terkait polemik royalti musik.
  • Menyikapi berbagai kebingungan pelaku usaha maupun musisi, sejumlah pihak di daerah turut urun ide demi menemukan solusi dan jalan tengah bagi sengkarut royalti ini.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan) menyudahi sengketa dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) dengan membayar Rp2,2 miliar untuk besaran royalti selama periode 2022–2025. Kesepakatan damai diteken pada 8 Agustus 2025 lalu usai melalui tiga kali mediasi bersama Kementerian Hukum dan HAM.

Duduk perkaranya, SELMI melaporkan Mie Gacoan atas dugaan tindak pidana hak cipta pada 20 Januari 2025 karena memutar lagu di gerainya tanpa membayar royalti sesuai aturan. Gugatan ini lantas memantik api polemik yang menyebar ke berbagai daerah. Di Palembang, pemilik kedai kopi mengeluhkan bahwa rasa takut terhadap gugatan royalti berimplikasi pada suasana dan atmosfer yang “hambar”—bahkan mempertimbangkan untuk menutup usaha jika kondisi ini terus dipaksakan tanpa edukasi dan sosialisasi yang terang.

Di sisi lain, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menyebut bahwa regulasi mengenai royalti tidak pandang genre—bahkan musik instrumental atau suara alam pun tetap bisa dikenakan tarif. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa tidak ada celah pembenaran bagi pelaku usaha yang merasa 'aman' menggunakan musik tanpa membayar hak penciptanya.

Situasi ini menunjukkan bahwa sengkarut royalti musik di Indonesia sesungguhnya bukan sekadar soal membayar atau tidak, melainkan tentang kejelasan regulasi dan transparansi penerapannya di lapangan, serta keadilan bagi pembayar dan penerima royalti, baik skala kecil maupun besar. Liputan kolaborasi ini akan mengangkat suara dari berbagai daerah—dari musisi lokal, pelaku usaha, hingga regulator—untuk melihat bagaimana efek domino ini bergulir di berbagai daerah di Indonesia.

Membedah aturan royalti musik di Indonesia

Mengurai Sengkarut Royalti Musik, Mengaransemen Solusi yang Adil
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun saat ditemui di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Secara singkat, dasar hukum utama yang mengatur royalti musik di Indonesia adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menetapkan bahwa setiap penggunaan lagu atau musik untuk kegiatan publik komersial—seperti di kafe, hotel, acara, dan media—harus mendapatkan lisensi dari pemilik hak cipta. Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 kemudian memperjelas mekanisme pengelolaan royalti: Setiap orang atau badan yang memanfaatkan musik secara komersial wajib membayar royalti melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). PP ini juga mewajibkan LMKN membangun Pusat Data Lagu/Musik dan menyelenggarakan sistem pelaporan elektronik bernama Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM). Penerapan teknisnya kemudian diatur lewat Permenkumham No. 27 Tahun 2025, yang menggantikan ketentuan sebelumnya dan menyatukan seluruh mekanisme lisensi, perizinan, serta validasi LMK ke dalam sistem yang lebih modern dan terintegrasi.

Sementara, skema tarif royalti disahkan lewat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang menetapkan tarif berbeda berdasarkan karakteristik usaha. Misalnya, kafe dan restoran dikenakan tarif Rp120.000 per kursi per tahun, hotel berdasarkan jumlah kamar (mulai dari Rp2 juta hingga Rp16 juta per tahun), pusat perbelanjaan Rp4.000/m²/tahun, sedangkan konser dikenakan 2 persen dari nilai tiket berbayar ditambah 1 persen dari tiket gratis. Tarif ini telah diatur dan disahkan oleh LMKN melalui keputusan teknis yang menjadi acuan operasionalnya.

Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, mengatakan, tarif royalti di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. "Dan tarif royalti kita ini, kalau saya sandingkan dengan negara-negara lain, kita paling rendah dibandingkan negara-negara lain," kata dia kepada IDN Times, 5 Agustus 2025.

Menurut Dharma, membayar royalti adalah bentuk kepatuhan hukum. "Gunakan lagu apa pun, silakan, sepanjang lagu tersebut membantu untuk usaha-usaha tersebut, bisa lebih baik dan lebih maju," ucap dia.

Namun, meski kerangka aturannya cukup komprehensif, masalah utama terletak pada implementasi. Sejumlah pelaku usaha merasa kurang ada sosialisasi serta tarif tidak proporsional, musisi lokal merasa distribusi royalti belum merata, sedangkan pengamat menyebut perlunya pengawasan dan transparansi dalam pungutan royalti. Kritik pun bermunculan, termasuk seruan untuk audit independen, digitalisasi proses, hingga revisi regulasi yang mempertimbangkan karakter lokal serta keseimbangan antara hak musisi dan keberlangsungan usaha kecil.

Meredam musik, menghindar royalti

Mengurai Sengkarut Royalti Musik, Mengaransemen Solusi yang Adil
Spot pertunjukan live music yang sepi di salah satu kafe di Malang. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Kebingungan soal mekanisme pungutan royalti serta tarif yang dinilai memberatkan, membuat pelaku usaha di daerah ketar-ketir. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Tangerang, Banten, Oman Jumansyah, mengatakan kondisi usaha saat ini masih lesu sehingga beban tambahan justru membuat pelaku usaha makin tertekan. “Kondisi hari ini masih morat-marit. Hotel masih sepi, restoran juga masih sepi pengunjungnya,” ujarnya, 12 Agustus 2025.

Oman menegaskan, pelaku usaha menghargai hak cipta, tetapi sistem pembayaran harus memiliki parameter yang jelas agar tidak merugikan. Ia mencontohkan penghitungan royalti di hotel yang menggunakan jumlah kamar, padahal tak semua kamar terisi setiap harinya. “LKMN juga harus fair dong, harus ada parameternya juga, seperti lagu diputar per lagu atau per jam, atau bagaimana?” katanya. Meski keberatan, Oman mengaku sebagian hotel di Kota Tangerang sudah mulai membayar royalti musik agar tidak terkena sanksi.

Ontran-ontran royalti ini juga berimbas pada ekosistem live music di Kota Malang, Jawa Timur. Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang, Indra Setiyadi, mengatakan jika kini pertunjukan live music di Kota Malang sudah seperti mati suri. Pemilik usaha memilih berhenti memutar musik karena khawatir terkena tagihan. "Biasanya memang ada live music oleh penyanyi kafe, tapi sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan kafe sekarang sepi tidak ada yang memutar musik-musik hits," ujarnya, 22 Agustus 2025.

Indra menambahkan kondisi ini makin memberatkan pengusaha karena omzet juga menurun akibat lesunya ekonomi. "Masalahnya karena takut ditagih royalti, sedangkan sekarang ada penurunan omset akibat perekonomian sedang lesu," jelasnya.

Adyos Satrio, pemilik Sangkar Coffee di Palembang, Sumatra Selatan, mengaku keberatan dengan wacana penarikan royalti yang dinilai tidak adil bagi usaha kecil. "Kalau usaha kecil saja dipajakin belum lagi ancaman denda karena memutar musik layaknya restoran besar, lebih baik kedainya ditutup saja," ujarnya, 29 Agustus 2025. Ia juga bingung soal aturan karena tidak jelas siapa yang harus membayar, kepada siapa, dan berapa besarannya. "Selama ini kami tidak pernah mendapat sosialisasi resmi. Informasi soal royalti musik hanya kami tahu dari media sosial," jelasnya.

Adyos mengaku telah berdiskusi dengan pelanggan mengenai opsi membebankan biaya royalti ke harga menu, namun mayoritas menolak. "Pelanggan justru berpendapat lebih baik menikmati kopi di rumah saja jika aturan tersebut benar-benar diberlakukan," katanya.

Tak hanya kafe, operator bus PO Hariyanto Kudus juga menghentikan pemutaran lagu dan musik di seluruh armadanya sejak 17 Agustus 2025. Langkah ini diambil untuk menghindari kewajiban membayar royalti sesuai aturan yang berlaku. "Untuk sementara, semua kru bus kami minta tidak memutar lagu selama perjalanan. Bahkan televisi di dalam bus juga dimatikan demi menghindari pengenaan tarif royalti," kata Kustiono, operator bus PO Hariyanto, 19 Agustus 2025. Kebijakan ini disampaikan lewat surat edaran dari kantor pusat di Jakarta kepada seluruh awak armada.

Kustiono menyebut pihaknya belum bisa memastikan dampak dari penghentian pemutaran musik terhadap jumlah penumpang. Namun, ia mengakui jumlah penumpang memang sudah menurun drastis sejak sebelum Pemilu 2024, bahkan mencapai 30 persen. "Dulu per bulan bisa melayani hingga 100 ribu penumpang, sekarang hanya sekitar 60 ribuan," jelasnya.

Sejumlah tempat wisata di Jawa Barat memilih menghindari polemik royalti musik dengan memutar jingle buatan sendiri maupun lagu dari musisi yang menggratiskan karyanya. General Manager Terminal Wisata Grafika Cikole (TWGC) Lembang, Sapto Wahyudi, menyebut langkah ini jadi solusi aman dibanding tetap memutar lagu berlisensi. "Sekalipun kami memutar lagu dari platform berbayar dan instrumen di tempat umum tetap bisa dikenai royalti. Jadi kami berpikir daripada ribet, mending cari cara aman," ujarnya, 16 Agustus 2025.

Sapto menegaskan pihaknya tidak menolak aturan royalti, namun perlu ada perbedaan antara musik untuk hiburan komersial dengan sekadar latar suasana di wisata alam. "Kalau di tempat wisata seperti kami disamakan dengan panggung hiburan atau kafe musik, ya keberatan. Karena konteksnya beda. Kami ini wisata alam," jelasnya. Ia menambahkan, jika royalti diterapkan kaku, hal itu justru bisa mengurangi kenyamanan pengunjung. "Bayangkan kalau orang datang buat relaksasi, malah kami tagih biaya tambahan karena dengar musik. Bukan relaksasi, malah stres nanti," kata dia.

Salah satu pemilik kafe di Kota Bandung, Arnold Dharmmadhyaksa, mengatakan, sejak membuka kafe Jabarano dia sengaja tidak memutar musik dari musisi manapun. Sebab, dia sudah sempat mendengar adanya persoalan royalti yang harus dibayar dari lagu yang diperdengarkan kepada pelanggan.

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) pun kemudian dipilih di mana Jabarano sengaja membuat musik sendiri. Sayangnya, usaha ini tetap tidak membuat kafe tersebut lepas dari pemantauan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tempat usahanya tetap mendapatkan surat dari LMKN agar membayar royalti musik yang diputar walau dibuat dengan AI.

"Jadi intinya lagu apapun yang diputar (termasuk hasil AI) ini harus bayar ke mereka (LKMN). Saya juga bingung awalnya, tapi ga mau masalah ya sudah kita bayar saja," ungkap Arnold, 28 Agustus 2025.

Kasak-kusuk musisi lokal soal transparansi dan sistem pembagian royalti

IMG-20250728-WA0007(1).jpg
Rockafiller, band asli Balikpapan ini menilai kerja LMKN belum dirasakan oleh musisi lokal. (Dok. Rockafiller untuk IDN Times)

Musisi lokal di daerah turut menyuarakan berbagai sudut pandang terkait polemik royalti musik. Manjakani, salah satu band lokal di Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan dukungan terhadap kebijakan pembayaran royalti musik di ruang publik. Vokalis Manjakani, Muhammad Taufan, menilai aturan ini bisa membantu musisi lokal mendapatkan apresiasi atas karya mereka. “Ini tentu sangat membantu teman-teman musisi, apalagi band lokal seperti di Kalbar ini pasti mereka akan terbantu,” ujarnya, 8 Agustus 2025.

Namun, ia menekankan pentingnya distribusi royalti dilakukan dengan transparan dan disosialisasikan secara jelas. “Ini bakal jadi ladang basah untuk korupsi kalau implementasinya tidak transparan dan tidak jelas,” katanya. Ia berharap pemerintah segera melakukan sosialisasi agar para pelaku usaha memahami aturan tersebut. “Mudah-mudahan ketika sosialisasi terus berjalan pihak kafe dan hotel bisa mengerti dengan kondisi ini,” ucapnya.

Ketua Umum Himpunan Musik Lampung (HML), Angga Martaf mengatakan, pembagian royalti hingga kini belum dirasakan adil. “Saya terakhir dapat royalti sekitar Rp800 ribu selama setahun di 2023. Jadi masih ratusan ribu,” jelasnya, 29 Agustus 2025. Menurut Angga, peran LMKN di Lampung hingga kini belum terasa, bahkan banyak musisi yang belum memahami lembaga tersebut. Ia berharap ada mekanisme baru yang lebih jelas dan transparan agar tidak lagi menimbulkan kebingungan. “Harus ada mekanisme yang jelas dan transparan, supaya tidak ada lagi menimbulkan kebingungan,” tuturnya.

Musisi Sumatra Barat, Ilham Pranizuki, menyatakan dukungan terhadap aturan royalti musik, namun menekankan pentingnya kejelasan regulasi. “Sejauh ini kan berapa tarif dan berapa yang diberikan kepada seorang musisi itu belum jelas,” ujarnya, 29 Agustus 2025. Menurutnya, aturan ini memang baik bagi musisi, tetapi jangan sampai menggeser tujuan utama bermusik, yakni agar karya bisa didengar dan dinikmati banyak orang. “Walaupun nilai ekonomi bagi kami para musisi memang penting, tapi ada hal yang lebih penting, yaitu orang mendengarkan dan menikmati lagu yang dibuat,” katanya.

Kritik pedas soal LMKN dilontarkan musisi Balikpapan sekaligus pentolan Rockafiller, Dandi Anggoro Aji. Ia menilai sistem royalti di Indonesia masih jauh dari harapan, bahkan peran LMKN nyaris tak terasa. “Sampai saat ini nol. Nonsense, tidak ada pengaruh sama sekali,” tegasnya. Rockafiller sendiri, meski lagunya kerap diputar di ruang publik maupun platform digital, belum pernah menerima royalti. Menurut Dandi, pemutaran lagu justru lebih banyak membantu publikasi band dibanding memberikan keuntungan finansial. “Publikasi itulah yang sangat membantu Rockafiller sampai hari ini, sehingga kami bisa dikenal lumayan luas di beberapa kota di Indonesia. Alhamdulillah,” tambahnya.

Meski begitu, Dandi menegaskan harus ada perbedaan antara penggunaan karya untuk tujuan komersial dan non-komersial. Ia mencontohkan pengalaman positif saat komunitas motor di Tenggarong meminta izin menggunakan lagu Rockafiller untuk video pre-show riding. “Kami senang sekali, karena itu artinya komunitas ikut membantu publikasi,” katanya. Namun, Dandi menolak keras jika karya dipakai tanpa izin lalu diubah esensinya. Ia menyinggung kasus lagu Sunset di Tanah Anarki milik Superman Is Dead yang pernah diaransemen ulang tanpa izin. “Setiap lagu punya nilai esensial atau bahkan magis. Kalau esensi itu diubah, maka maknanya jadi hilang,” tegasnya.

Dandi menilai LMK belum memiliki database yang jelas soal penggunaan lagu di ruang publik. Ia mempertanyakan apakah lembaga tersebut benar-benar tahu detail lagu yang diputar di tiap kafe hingga platform digital. “Satu coffee shop buka 8 jam. Kalau satu lagu rata-rata 5 menit, berarti ada ratusan lagu diputar. Bagaimana pembagian royaltinya? Bagaimana transparansinya? Sumber datanya saja tidak ada,” kritiknya. Menurut Dandi, pembagian royalti seharusnya dibedakan antara digital dan live stage. Untuk kategori live, data bisa dikumpulkan lewat setlist agar hak pencipta lagu dan pihak lain yang terlibat bisa terlindungi.

Ia juga menyoroti minimnya database musisi lokal dan mengusulkan adanya LMK daerah agar data musisi dan karya bisa lebih komprehensif. “Selama lima tahun terakhir ada berapa band lahir, berapa karya dirilis, berapa album, single, video musik, artwork, dan lain-lain. Kami punya, tapi pemerintah tidak punya database akar rumput,” tegasnya.

Lagu Diputar, Royalti Mengalir
Lagu Diputar, Royalti Mengalir (IDN Times/Aditya Pratama)

Cerita musisi yang tempuh jalan lain soal royalti: Mengikhlaskan hingga urus sendiri

gus teja
Gus Teja. (Instagram.com/gusteja_official)

Tumbuh di lingkungan seni di Desa Peliatan, Ubud, Bali, Agus Teja Sentosa atau akrab disapa Gus Teja sejak kecil akrab dengan suling. Ia mengaku sudah bisa bermain suling sebelum bergabung dengan grup gamelan di desanya. “Jadi sebelum bergabung dengan grup gamelan itu pun saya sudah bisa sedikit-sedikit ya bermain suling,” katanya, 18 Agustus 2025.

Sejak remaja, Gus Teja mulai bereksperimen membuat alat musik dari bambu. Bahkan saat SMA, hasil karyanya sudah diminati mahasiswa ISI Bali. Tahun 2008, ia mendirikan Gus Teja World Music dengan memakai alat musik buatannya sendiri. Album perdananya Rhythm of Paradise melahirkan lagu “Morning Happiness” yang populer hingga ke mancanegara. “Album Rhythm of Paradise di dalamnya itu ada lagu Morning Happiness yang cukup populer ya di Bali karena banyak hotel dan spa yang memutarnya itu,” ucapnya.

Meski sudah mengurus hak cipta, Gus Teja mengaku kerap menemukan pelanggaran. “Saya sudah pernah mengalami bagaimana karya kita (Gus Teja World Music) itu dipakai oleh orang lain tanpa izin,” ujarnya. Ia bahkan pernah berselisih dengan sebuah merek fesyen ternama dunia sekitar enam tahun lalu. Namun, kasus itu telah selesai meski pelanggaran serupa masih terjadi. “Walaupun sertifikat hak cipta sudah saya pegang ada juga pelanggaran-pelanggaran masih terjadi,” tambahnya.

Terkait regulasi royalti, Gus Teja memilih tidak bergabung dengan LMKN karena sistem yang dinilai tak berjalan baik. Ia bercerita, karyanya kerap diputar di banyak tempat, mulai dari bandara hingga rumah sakit. Namun, ia memilih ikhlas. “Jalan menuju good karma saya bilang. Karena saya tidak bisa berharap banyak dari pemerintah sebenarnya,” jelas musisi kelahiran 1982 ini.

Lain lagi dengan cerita musisi asal Jambi, Miftahus Surrur atau dikenal dengan nama Densky9. Ia menceritakan bagaimana dirinya mengurus royalti musik secara mandiri. Sumber royalti karyanya berasal dari aggregator, publishing, hingga hak intelektual. “Aggregator menyangkut semua rilisan saya dalam bentuk digital, publishing menyangkut hal-hal yang di luar distribusi musik dan penggunaan lainnya, hak intelektual penggunaan Densky9 pada produk yang sudah disepakati,” ujarnya, 30 Agustus 2025.

Densky9 mengatakan sejak awal menekuni musik secara serius, ia berkomitmen mengurus sendiri semua urusan royalti tanpa terlalu banyak campur tangan pihak lain. “Walaupun tetap dalam payung label musik yang besar, tapi mereka cukup profesional dalam hal report tertulis yang menyangkut karya saya. Untuk hak intelektual biasanya sudah terjadi hitam di atas putih dengan pihak terkait yang menginginkan kerja sama dengan saya,” jelasnya.

Ia mengaku sistem royalti di Indonesia membingungkan karena terbagi banyak sub, seperti mechanical dan performance, bahkan di performance masih ada Write Share dan Publisher Share. “Rasanya terlihat ribet dan gak tahu sumbernya dari mana saja. Dengan kasus saya sendiri, royalti saya ambil dari aggregator sebagai distributor rilisan digital, publisher sebagai kolektor di luar musik sebagai produk distribusi, dan intellectual property (merchandise),” kata Densky9.

Menurutnya, royalti akan lebih berarti ketika sekat-sekat perantara dihilangkan. “Dengan saya mengurus sendiri semuanya, saya sudah menghilangkan mungkin 2–4 sekat sebelum royalti itu turun. Istilahnya saya ingin sifat royalti ini B2B dengan saya,” ungkapnya. Ia berharap sistem royalti di Indonesia lebih transparan. “Sistem collect-nya jangan terkesan seperti pungutan. Sudah ada sistem yang lahir di luar sana dan bisa diadopsikan secara baik di Indonesia. Pertanyaannya mau atau tidak saja sekarang,” tutupnya.

Urun ide untuk perbaikan sistem royalti musik di Indonesia

Mengurai Sengkarut Royalti Musik, Mengaransemen Solusi yang Adil
ilustrasi royalti (freepik.com/freepik)

Menyikapi berbagai kebingungan pelaku usaha maupun musisi, sejumlah pihak di daerah turut urun ide demi menemukan solusi dan jalan tengah bagi sengkarut royalti ini. PHRI Balikpapan, misalnya, meminta aturan pembayaran royalti Rp120 ribu per kursi per tahun yang berlaku saat ini harus direklasifikasi ulang. Pasalnya, jenis usaha kuliner di Balikpapan sangat beragam. “Restoran di mal tentu berbeda dengan warung kopi. Sama-sama memperdengarkan musik, tapi dikenakan biaya yang sama. Itu tidak adil,” kata Sekretaris PHRI Balikpapan, Derry Indrawardhana, 30 Agustus 2025. 

Menurut Derry, PHRI Balikpapan sudah mencatat sejumlah masukan dan menyampaikannya langsung kepada komisioner LMKN dalam forum sosialisasi di Disporapar Balikpapan, beberapa waktu lalu. “Usulan yang kami sampaikan adalah perlunya reklasifikasi dengan parameter yang jelas untuk industri UMKM. Walaupun dalam undang-undang disebutkan UMKM mendapat keringanan, tapi parameternya tetap harus jelas,” ujarnya. Ia menambahkan, penerapan aturan royalti musik sebaiknya memperhatikan kondisi UMKM agar tidak menghambat perkembangan usaha. “Implementasi undang-undang ini harus lebih bijak. Bisa dibagi per kelas, misalnya berdasarkan omzet,” tutur Derry.

Pengamat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Ida Nadirah, menilai polemik royalti musik terus berulang karena akar masalahnya belum terselesaikan. Menurutnya, ada beberapa faktor utama penyebab persoalan ini. "Apa masalahnya yaitu, ketidakjelasan atau perbedaan dalam penafsiran regulasi terkait penarikan dan pembagian royalti kepada pencipta. Kemudian, kurangnya audit independen terhadap LKMN terkait pengelolaan dana royalti yang dikumpul dan didistribusikan. Dan kurang kesadaran hukum masyarakat khususnya pelaku usaha bahwa setiap penggunaan lagu musik untuk komersial harus izin ke pencipta dengan membayar royalti," jelasnya.

Ida juga menyoroti perbedaan antara aturan pusat dan daerah. Pemerintah pusat, kata dia, mengatur regulasi, standardisasi tarif, dan distribusi royalti secara nasional. "Sedangkan banyak daerah yang belum memiliki aturan turunan dari tata cara pembayaran royalti lagu atau musik yang sesuai dengan keadaan daerah atau kondisi lokal," tuturnya.

Sebagai solusi, Ida mendorong adanya revisi PP Nomor 56/2021, terutama pada mekanisme penetapan tarif dan distribusi agar lebih transparan dan akuntabel. Ia juga menekankan pentingnya klasifikasi pengguna musik komersial, sosialisasi kepada masyarakat, serta forum diskusi lintas pemangku kepentingan. "Apabila terjadi sengketa, selesaikan secara mediasi tidak perlu dibawa ke ranah litigasi," pungkasnya.

Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai polemik royalti musik hanya bisa dituntaskan lewat reformasi kebijakan yang lebih modern, progresif, dan berbasis digital. Menurutnya, sejumlah langkah konkret bisa segera diterapkan, mulai dari digitalisasi penuh sistem royalti, penerapan tarif proporsional, integrasi pusat-daerah dalam pengawasan, edukasi hukum berkelanjutan, hingga pembentukan lembaga pengawas independen di luar LMKN.

“Royalti musik jangan hanya dipandang sebagai beban administratif, tapi bagian dari keadilan ekonomi kreatif. Reformasi digital, transparansi, dan keadilan tarif adalah kunci menciptakan keseimbangan antara kepentingan pencipta dengan pengguna,” tegasnya, 29 Agustus 2025.

Benny juga mendorong pemerintah mengubah pendekatan pembayaran royalti dari model represif menjadi lebih kolaboratif, adaptif, dan berbasis teknologi. “Kalau itu dilakukan, royalti musik benar-benar bisa menjadi instrumen perlindungan hak cipta sekaligus penggerak ekonomi kreatif nasional,” tuturnya.

Dari sudut pandang musisi, Dandi menilai perlu ada lembaga yang lebih dekat dengan musisi lokal. “Harusnya ada lembaga/organisasi/komunitas yang melindungi hak cipta dengan cara mendaftarkan. Bisa Ekraf, Dispora, atau LMK tingkat daerah atau kolektif lokal yang memang berfungsi untuk mengarsipkan dan melibatkan artis. Label biasanya mengurus ini (hak cipta), tapi banyak musisi indie/independen mengurus sendiri,” ujarnya.

Ia menegaskan, yang paling dibutuhkan musisi lokal adalah ruang dan kesempatan tampil. “Ruang untuk tampil di panggung besar, kesempatan agar karya bisa dikenalkan ke audiens luas. Kalau band-band lokal Balikpapan bisa tumbuh besar, tampil di luar kota, bahkan di luar negeri, itu akan jadi kebanggaan bagi Balikpapan sendiri,” imbuh Dandi.

Sementara, Gus Teja, memilih memberikan jalan tengah di tengah polemik royalti musik. Ia menekankan agar pemilik hotel, restoran, maupun spa yang sering memutar karyanya juga memberi ruang dengan mengundangnya tampil langsung. “Jadi kita bisa bertumbuh bersama. Jangan hanya memutar musik saya, tetapi ketika ada event (acara) yang diundang malah orang lain. Atau mungkin artis-artis internasional ya,” ucapnya dengan sabar.

Menurutnya, undangan tampil langsung bisa menjadi solusi etis bagi musisi yang tidak mendaftar LMKN tetapi lagunya sering diputar di tempat usaha. Selain mempererat hubungan profesional, langkah ini juga memberi manfaat nyata bagi kedua belah pihak. “Karena di sini bisa terjalin kerja sama, atau kita bisa bertumbuh bersama. Jadi secara etika, saya kira itu lebih baik,” tutup Gus Teja.

Pada 21 Agustus 2025, DPR RI menggelar rapat dengar pendapat membahas manajemen royalti serta permasalahannya, dalam perlindungan karya cipta dan hak cipta bersama Kemenkumham, LMKN, LMK, musisi, dan komposer di Senayan. 

“Kesimpulan rapat pada hari ini saya menawarkan, yang pertama, itu untuk selama dua bulan kita berkonsentrasi menjadikan Undang-Undang Hak Cipta,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam rapat konsultasi bersama Kemenkumham, LMKN, LMK, musisi, dan komposer di Senayan.

Dasco juga mengusulkan agar musisi ikut terlibat dalam tim perumus RUU Hak Cipta serta mendorong agar lembaga pengelola royalti berada di bawah satu atap agar tidak terjadi tumpang tindih. Ia menegaskan, selama pembahasan berlangsung, pembayaran royalti sebaiknya hanya dilakukan melalui LMKN. “Saya menawarkan juga bahwa dalam tempur dua bulan itu LMKN agar menarik semua delegasi penarikan agar terkonsentrasi di LMKN supaya yang lain-lain berkonsentrasi untuk membahas undang-undang,” katanya.

Selain itu, Dasco meminta LMKN melakukan audit agar lebih transparan. “Kalau perlu itu yang namanya audit dilakukan supaya ke depan transparansi itu bisa terjadi sehingga penyanyi, pencipta lagu itu bisa mendapat hak dan manfaatnya dengan benar,” ujarnya. Ia berharap langkah ini bisa menenangkan situasi. “Supaya dalam dua bulan ini juga kegaduhan di dunia royalti bisa agak adem gitu. Jangan sampai rakyat udah gak bisa denger musik lagi,” tambahnya. 

Royalti bukan sekadar angka di atas kertas, tapi wujud penghargaan atas kerja keras musisi dan pencipta lagu. Namun, pungutan yang tidak transparan dan memberatkan, justru membuat musik Indonesia terasa sumbang. Lewat evaluasi, transparansi, dan kolaborasi, harapannya sistem ini bisa menjadi lebih sehat dan adil untuk semua pihak.


Tim peliput: Ayu Afria Ulita Ermalia, Rangga Erfizal, Maya Aulia Aprilianti, Rizal Adhi Pratama, Anggun Puspitoningrum, Tama Wiguna, Halbert Caniago, Tri Purnawati, Erik Alfian, Ni Komang Yuko Utami, Herlambang Jati, Indah Permata Sari, Amir Faisol

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Mengurai Sengkarut Royalti Musik, Mengaransemen Solusi yang Adil

03 Sep 2025, 12:16 WIBNews