UGM Mau Dialog Terbuka soal Ijazah Jokowi Asal Pakai Nalar Sehat

- Wakil Rektor UGM menanggapi komentar Amien Rais dan Prof Sofian Effendi terkait keaslian ijazah Jokowi.
- Arie Sujito menyatakan pernyataan yang terlalu spekulatif dan menegaskan UGM tidak memihak dalam polemik ini.
- UGM sangat terbuka untuk berdiskusi dengan para alumni senior, namun mengingatkan agar diskusi dilakukan secara sehat dan tidak terjebak pada opini liar di media sosial.
Sleman, IDN Times – Polemik keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, kembali memanas usai komentar pedas Amien Rais dan Prof Sofian Effendi yang mempertanyakan status akademik Jokowi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Bahkan, Amien Rais menyebut UGM sebagai “keset politik” Jokowi.
Menanggapi hal ini, Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sujito, buka suara dan menegaskan posisi kampus dalam pusaran isu yang semakin liar di ruang publik.
1. UGM: Kami tidak membela siapapun, kami sajikan data

Kepada awak media, Arie Sujito menilai pernyataan Amien Rais dan Sofian Effendi terlalu spekulatif dan tidak didukung data yang cukup. “Statement Pak Sofian itu berangkat dari asumsi terhadap informasi yang menurut saya sangat spekulatif," tegas Arie.
Arie menegaskan, UGM tidak memihak siapa pun dalam polemik ini. “Sebetulnya UGM sangat membuka komunikasi kepada siapapun. Kita, sekali lagi, tidak membela siapa pun. Kita hanya menyajikan data. Atas dasar itu, orang bisa menginterpretasi atau menilai berdasarkan penjelasan itu,” ujarnya di GIK UGM, Sleman, Rabu (23/4/2025) sore.
2. Siap dialog terbuka dengan alumni, tapi harus pakai nalar sehat

Menanggapi tudingan keras dari para alumni senior UGM, Arie menyatakan kampus sangat terbuka untuk berdiskusi, terutama dengan para alumni, mantan rektor, maupun mantan pejabat kampus. “Apa yang disampaikan oleh Pak Sofian dan Pak Amin biar dia punya spekulasi tersendiri dan menurut saya kita sangat terbuka untuk berdiskusi apalagi dengan alumni, entah itu mantan rektor atau mantan MWA (Majelis Wali Amanat --red), mantan Ketua MPR, kita sangat terbuka,” jelasnya.
Namun, Arie mengingatkan agar diskusi dilakukan secara sehat dan tidak terjebak pada opini liar yang beredar di media sosial. “Saya, sekali lagi, tidak berprasangka apa pun tapi mari kita gunakan nalar yang sehat. Karena ruang publik kita begitu umum dan ketemuan itu membuat demokrasi kita menjadi terdistorsi dan itu tidak membuatnya sehat,” tambahnya.
3. UGM punya tanggung jawab kepada publik

Arie juga menyoroti maraknya opini di media sosial yang seringkali dianggap sebagai fakta, padahal tidak memiliki dasar data yang kuat. “Pembicaraan itu telah muncul di medsos yang itu begitu beragam diinterpretasikan seolah-olah dianggap sebagai sebuah data. Padahal itu opini yang belum tentu memiliki dasar karena tidak memiliki kecukupan data,” tegasnya.
Ia menegaskan, UGM punya tanggung jawab untuk menjaga literasi publik dan tidak reaktif terhadap isu yang berkembang tanpa perhitungan matang. “Tanggung jawab pada publik bahwa tugas universitas membuat literasi harus kami pegang. Sehingga kita tidak ingin sekedar bereaksi atas sesuatu secara langsung tetapi harus kita kalkulasi berdasarkan dampak yang mungkin terjadi,” jelas Arie.
Arie menegaskan semua pihak harus tetap menjaga koridor etik dan kebebasan akademik. “Kami siap [dialog], khususnya bagi Pak Sofian atau Pak Amin dengan terbuka. Apalagi beliau memang mantan pejabat. Dan ini siapapun punya hak. Pegawai pun juga bisa berdiskusi. Tapi sekali lagi, kita punya koridor. Koridor ini akan bisa mampu membantu mengatasi perselisihan maupun memberi makna atas kebebasan,” terangnya.
Arie mengingatkan, kebebasan berpendapat jangan sampai justru menjadi alat untuk merusak demokrasi. “Kami tidak ingin kebebasan yang ada itu dicabik-cabik dan seolah-olah memanfaatkan kebebasan tapi justru yang terjadi adalah anti-demokrasi. Nah itu bahaya. Karena itu kehormatan kepada dimensi etik terhadap hak seseorang,” tegasnya.
4. Bukan sekadar peristiwa akademik, tapi juga politik

Di akhir wawancara, Arie mengakui bahwa isu ini sudah melebar dari ranah akademik ke ranah politik. “UGM terus terang sudah berupaya bahwa ini bukan sekedar peristiwa akademik, tapi ini peristiwa politik. Saya diinterpretasi orang bisa bermacam-macam,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, pihak kampus tetap menghormati para alumni dan senior yang mengkritik, namun berharap diskusi bisa berjalan sehat dan solutif. “Kami juga menghormati siapapun, yang punya etika termasuk Pak Soffian dan Pak Amin. Terima kasih,” tutup Arie.
Menurut Andi Sandi Antonius, Sekretaris Universitas, polisi telah berkomunikasi dengan kampus sejak pekan lalu.
"Sebenarnya sudah ada, tapi informasinya saya baru saja sampai di situ ya. Sudah ada kontak dengan teman-teman dari Polri, sudah ada. Masih terkait yang tadi (ijazah Jokowi)," kata Andi Sandi ditemui di UGM, Sleman, Rabu (23/4/2025).
Andi Sandi menolak untuk mengungkapkan detail komunikasi yang dilakukan kedua belah pihak tersebut. Dia hanya menegaskan bahwa UGM setuju untuk dimintai keterangan oleh penegak hukum, termasuk jika kasus ini akhirnya dibawa ke pengadilan.
Dia menyimpulkan, "UGM akan siap memberikan dan bersaksi jika ada permintaan resmi dari aparat penegak hukum. Jadi, termasuk pengadilan, jika pengadilan memerintahkan kami untuk bersaksi, kami akan siap bersaksi dengan data dan fakta yang kami miliki."