Sri Sultan Ungkap Makna Kain Nusantara dan Tantangan Industrinya

- Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai kain Nusantara menyimpan filosofi dan nilai peradaban, kini berevolusi menjadi teknologi tekstil modern seperti smart fabrics dan bio-textiles.
- Ia menyoroti empat tantangan industri tekstil: keberlanjutan, kesenjangan teknologi, kerentanan rantai pasok, serta tuntutan transparansi dan etika.
- Konferensi ITMF/IAF di Yogyakarta membahas isu dekarbonisasi, inovasi, dan pelestarian nilai budaya dalam industri tekstil global.
Yogyakarta, IDN Times - Dalam setiap helaian kain Nusantara, tersimpan kisah panjang peradaban bangsa. Batik, tenun, dan berbagai wastra tradisional bukan sekadar motif di atas kain, melainkan bahasa kebudayaan yang memuat filosofi, matematika, hingga pandangan kosmologis masyarakat yang menenunnya.
“Jika kita menengok sejarah, tekstil adalah salah satu penanda peradaban,” tutur Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, saat acara Royal Welcome Dinner ITMF/IAF, di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Kamis (23/10/2025).
1. Fungsi kain terus berevolusi

Sri Sultan mengatakan dalam perjalanannya, fungsi dasar "sandang" sebagai kebutuhan pokok manusia tidak pernah surut, justru semakin berevolusi. Seiring pertumbuhan populasi, dan peningkatan kelas menengah dunia, kebutuhan ini meluas bukan hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas, keberlanjutan, dan bahkan functionality.
“Hari ini, kanvas itu telah lebih jauh bertransformasi. Kain, tidak lagi hanya sekadar menutupi dan melindungi tubuh, tetapi telah menjadi medium bagi smart fabrics yang memantau kesehatan, bio-textiles yang ramah lingkungan, dan material canggih hasil rekayasa nano. Inilah esensi peradaban tekstil: industri yang merespons kebutuhan dasar umat manusia, dengan tidak pernah berhenti menenun makna baru, ke dalam setiap helai benang,” ucap Sri Sultan.
2. Tantangan tidak terhindarkan

Sri Sultan juga mengatakan di balik berbagai kemajuan, berbagai tantangan juga semakin nyata. “Kita berdiri di persimpangan jalan yang menentukan. Beberapa tantangan besar, telah menghadang di depan,” ujar Raja Keraton Yogyakarta itu.
Disebut Sultan, tantangan pertama, tekanan keberlanjutan yang multidimensi. Perubahan iklim tidak lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang menuntut transformasi radikal, dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular yang regeneratif. Tantangan ini tidak hanya tentang mengurangi limbah, tetapi juga menekan konsumsi air yang masif, polusi mikroplastik, dan emisi karbon dari rantai produksi global.
Kedua, disrupsi digital dan kesenjangan teknologi. Revolusi Industri 4.0 membawa otomasi, AI, dan blockchain yang mengubah lanskap produksi. Namun, jurang antara perusahaan besar dan UMKM yang kesulitan mengakses teknologi, justru semakin melebar. Ini berpotensi menciptakan kesenjangan, yang mengancam keberlangsungan pelaku industri tradisional.
Ketiga, kompleksitas rantai pasok global. Di satu sisi, rantai pasok global memungkinkan efisiensi. Di sisi lain, menciptakan kerentanan terhadap guncangan, mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga fluktuasi harga bahan baku global. Ketergantungan pada satu wilayah, atau negara tertentu terbukti berisiko, mendesak kebutuhan untuk membangun jaringan, yang lebih resilien dan terdiversifikasi.
“Keempat, transparansi dan tuntutan etika. Generasi muda, tidak hanya peduli pada produk akhir, tetapi pada seluruh value chain, mulai dari sumber bahan baku, kondisi kerja yang manusiawi, hingga jejak karbon. Tekanan untuk menerapkan full supply chain transparency dan mematuhi prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi semakin kuat dan tak dapat ditawar lagi,” ungkap Sri Sultan.
3. Berbagai topik terkini didiskusikan

International conference ini diselenggarakan selama dua hari di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (24/10/2025) – Sabtu (25/10/2025). International conference akan membawakan topik tentang Navigating Uncertainty and Adopting Technology Pathways to Sustainable Strength in the Textile and Apparel Industry. Panel seminar akan menghadirkan sekitar 20 narasumber ahli dari berbagai negara, yang akan menyampaikan berbagai topik terkait dekarbonisasi, sustainability dan inovasi, teknologi, fiber dan cotton.
Topik-topik itu dipilih, karena akan menjadi pelajaran penting bagi dunia industri tekstil dan fashion untuk mampu bertahan dari kemajuan teknologi robotik yang cenderung meninggalkan tenaga kerja manusia, padahal, industri tekstil dan fashion dikenal sebagai industri padat karya. "Salah satu yang menarik dari acara konferensi internasional ini adalah bagaimana menyatukan nilai-nilai budaya lokal di sektor tekstil dan fashion agar sejajar dengan perkembangan teknologi dan kompetisi internasional," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja.
















