Sahkan RUU TNI, DPR Amnesia Sejarah Buruk Dwifungsi ABRI
- DPR mengesahkan RUU TNI tanpa memperhatikan kritik publik, menandai kemunduran demokrasi dan less public participation.
- DPR mentransaksikan otoritasnya kepada elit TNI, mengancam masa depan demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi.
- RUU TNI disahkan dalam situasi indeks demokrasi Indonesia yang menurun, mengancam kebebasan sipil dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Yogyakarta, IDN Times - Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (PSAD UII), Prof. Masduki, menilai DPR yang mengesahkan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah amnesia terhadap sejarah buruk dwifungsi ABRI di era Orde Baru (Orba). Disahkannya RUU TNI menandai ancaman serius masa depan demokrasi.
“Hari ini kita patut prihatin dan sedih RUU TNI yang mengandung banyak problem prosedural dan substantif, akhirnya tanpa memperhatikan kritik publik disahkan DPR. Kemunduran demokrasi dari segi less public participation,” ujar Prof. Masduki, saat pernyataan sikap koalisi akademisi kampus, Kamis (20/3/2025).
Prof. Masduki mengutip pernyataan Indonesianis dari Australia, Amerika, dan Eropa yang menyebut DPR bukan representative people, yang mewakili nurani jiwa konstituennya, tapi mewakili segerombolan manusia. “Gerombolan dari orang-orang yang mencari kekuasaan, mencari koalisi kepentingan jangka pendek, partai politik, maupun kelompok yang terhubung di dalamnya,” ujar Guru Besar Ilmu Komunikasi UII itu.
1.DPR mentransaksikan otoritasnya
Prof. Masduki mengungkapkan yang perlu dimaknai, DPR bukan hanya amnesia sejarah buruk TNI, tapi juga mentransaksikan otoritasnya kepada sekelompok elit TNI yang punya kepentingan pragmatis. Hal ini menjadi bahaya bagi reputasi TNI dan demokrasi secara umum. “DPR menunjukkan kepongahan dengan melanggar nilai demokrasi yang membuat mereka terpilih justru menganulir, bahkan menguburnya,” ungkap Prof. Masduki.
Aktivis Forum Cik Di Tiro itu meyakini disahkannya RUU TNI jelas menandai ancaman serius masa depan Indonesia sebagai negara demokrasi. Supermasi sipil seharusnya dipertahankan dan TNI harusnya semakin profesional sebagai instrumen pertahanan.
“Selamat datang supermasi TNI atas sipil. Selamat datang junta militer by design, by culture yang sebentar lagi mungkin saja by structure sebagaimana kita lihat di Myanmar, Thailand dan sejumlah negara lain. Atas nama menjaga demokrasi amanat reformasi menjamin hak meritrokasi, birokrasi. Atas nama moral publik kita wajib melawan pengesahan ini dengan isntrumen yang ada, atas nama akal sehat dan atas nama warga negara yang berdualat,” tutup Prof. Masduki.
2.Demokrasi Indonesia yang semakin turun
Prof. Masduki juga menyebut RUU TNI ini disahkan dalam situasi banyak indeks yang menyebutkan demokrasi Indonesia mengalami kemunduruan. Salah satunya rilis dari Economist Intelligence Unit yang menyebutkan indeks demokrasi Indonesia menurun menjadi 56, dimana tahun sebelumnya menunjukkan angka 59.
“Kita meyakini dengan adanya RUU TNI yang disahkan, maka angka ini akan semakin melorot, karena ada dua indikator penting yang menunjukkan demokrasi Indonesia turun, fungsi kenegaraan, fungsi pemerintahan. Kita tahu Gibran menjadi Cawapres itu pembonsaian konstitusi lembaga negara,” ungkap Prof. Masduki.
Prof. Masduki menyebut kondisi tersebut menjadi pintuk masuk, karena proses berikutnya ada kelompok polisi, militer dari kelompok yang ingin akses kekuasaan mendukung ini semua. “Dan saatnya kebutuhan mereka mendapatkan bagian jatah dari transaksi politik elektroal. Maka mendapatkan momentum hari ini ketika UU TNI disahkan. Kita tahu sebelumnya Polri memperoleh keuntungan dari transaksi kekuasaan,” ucapnya.
3.Keterlibatan TNI di sektor sipil seharusnya dihambat
Prof. Masduki mengatakan kondisi lainnya yang terjadi melorotnya kebebasan sipil, implikasi tata kelola pemerintahan yang buruk. Terlebih jika nanti TNI masuk sektor strategis sipil, akan semakin merepresi hak sipil. Indikator penting dalam demokrasi basisnya tidak hanya struktur bagus, tapi culture demokrasi itu sendiri. Salah satu problem yang terancam kebebasan akademik. “Kita turut jadi bagian yang wajib komplain atau protes,” ujarnya.
Prof. Masduki menegaskan fungsi keterlibatan TNI di sektor sipil seharusnya menjadi pembelajaran untuk dihambat bukan membuka ruang masuk dalam sektor strategis. Ia menyoroti sejumlah masalah yang muncul di tubuh TNI, mulai dari korupsi, impunitas, pelanggaran kebebasan berekspresi, pelanggaran HAM.
“Kita tahu Papua belum selesai, sejumlah kasus impunitas pelaku kekerasan militer dan di Jogja ada pembunuhan wartawan Udin tahun 1996 yang juga melibatkan aparat TNI,” ujarnya.
Prof. Masduki menyebut masih banyak tugas pertahanan negara yang harusnya dihandle TNI. DPR seharusnya juga memahami hal itu. “Jika merevisi seharusnya menguatkan peran TNI yang citranya sudah positif ketika fokus melaksanakan tugas pertahanan negara,” kata dia.