Pengawasan Berlapis RSA UGM Cegah Kekerasan Seksual Dokter Residen

- Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) menerapkan sistem pengawasan berlapis untuk melindungi pasien dan tenaga medis dari kekerasan seksual.
- DPJP menjadi kunci dalam memastikan proses pembelajaran aman secara fisik, etis, dan profesional. Sistem jaga juga dipisahkan antara residen laki-laki dan perempuan.
- Sistem supervisi bertahap diterapkan dengan tahapan merah, kuning, hingga hijau. RSA UGM juga memasukkan materi tentang kekerasan seksual dalam pembekalan awal residen.
Sleman, IDN Times - Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) memastikan telah memberlakukan sistem pengawasan berlapis guna mengawasi aktivitas dan kinerja para dokter residen di lingkungannya.
Sistem ini memastikan aspek perlindungan pasien hingga tenaga medis di tengah geger kasus kekerasan seksual melibatkan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Bandung.
1. Peran DPJP, pengaturan sif hingga pemasangan CCTV

Direktur RSA UGM, Darwito, menuturkan guna memastikan proses pembelajaran tak hanya aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional, maka keberadaan dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) sebagai pengawas utama menjadi kunci.
Selain itu, RSA mengatur sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan guna meminimalkan potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.
"Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP," kata Darwito dalam keterangannya, Jumat (18/4/2025).
Langkah preventif lain dalam upaya mewujudkan ruang pendidikan dan layanan kesehatan yang aman bagi semua pihak, baik pasien maupun tenaga medis adalah dengan memasang kamera pengawas (CCTV).
CCTV dipasang di berbagai titik strategis dalam lingkungan rumah sakit sebagai instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi di lingkungan rumah sakit.
2. Supervisi 'tiga warna' buat para residen

Sementara RSA UGM juga menerapkan sistem supervisi bertahap untuk para residen dalam pelaksanaan pendidikan klinis. Mulai dari tahap merah, kuning, hingga hijau.
Darwanto menerangkan, masing-masing tahap mempunyai batasan kewenangan tindakan medis yang hanya boleh dilakukan dalam pengawasan ketat DPJP.
"Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh, tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP," katanya.
3. Sisipkan topik kekerasan seksual dan bullying

Pelatihan khusus yang berdiri sendiri mengenai kekerasan seksual bagi residen memang belum ada. Namun, kata Darwito, materi terkait telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.
Dia mengklaim, pembekalan awal residen telah mencakup topik macam kekerasan seksual, perundungan atau bullying, dan penyalahgunaan wewenang.
"Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas," ujar Darwito.
Dia menegaskan, institusi wajib bertindak apabila kekerasan seksual terjadi di dalam rumah sakit sebagai bagian dari proses pendidikan.
"Kalau itu pidana murni, ya itu urusan negara. Tapi, kalau terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, kami bisa beri sanksi akademik, termasuk mengeluarkan. Institusi wajib bertindak jika tempat kejadiannya di sini. Tapi, kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit," paparnya.
4. Dokter spesialis yang menjunjung tinggi etik, norma dan hukum.

Darwito memandang, penguatan sistem pengawasan ini adalah bagian dari komitmen RSA UGM dalam menjaga muruah pendidikan kedokteran. Bukan cuma dimaksudkan untuk mencetak dokter spesialis yang kompeten secara klinis, tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik, norma, dan hukum.
Refleksi atas kasus kekerasan seksual oleh peserta PPDS di Bandung menjadi momen penting bagi RSA UGM untuk memperkuat sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan dokter yang kompeten, tetapi juga bermartabat. Darwito bilang, institusinya berkomitmen untuk terus menegakkan tiga koridor penting, yakni etika, norma, dan hukum.
RSA UGM terus membangun ruang belajar yang aman dan bermakna melalui sistem pengawasan berlapis dan kehadiran para pendidik selaku panutan.
Kepercayaan publik terhadap dunia medis, menurut Darwito, hanya bisa dijaga jika institusi pendidikan juga konsisten menjaga nilai-nilai etik dan kemanusiaan.
"Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal," pungkasnya.