Ormas Palak THR, Sosiolog UGM: Tak Lepas dari Faktor Sosial-Ekonomi

- Praktik pemalakan THR oleh ormas tak dapat dibenarkan secara sosial maupun hukum
- Fenomena ini terkait dengan kesulitan ekonomi, efisiensi anggaran pemerintah, dan kesenjangan sosial
- Ketidakadilan distribusi kekayaan menciptakan frustrasi kolektif dan premanisme ormas yang harus ditindak tegas
Yogyakarta, IDN Times - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi Widyanta, menilai bahwa praktik pemalakan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi sosial maupun hukum. Menurutnya, fenomena ini tak lepas dari faktor sosial dan ekonomi.
Meski banyak ormas bergerak di bidang sosial, sebagian kelompok justru memanfaatkan nama ormas sebagai dalih untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.
"Ini bagian dari praktik pemerasan, baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka," ujar Widyanta, Kamis (27/3/2025).
Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan memiliki mekanisme dan aturan sendiri dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, sehingga tuntutan dari ormas tidak memiliki dasar yang sah.
1.Fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial dan ekonomi

Widyanta menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan faktor sosial dan ekonomi. Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat dengan pekerjaan tidak tetap atau bersifat kasual. Kesulitan ekonomi mendorong mereka mencari pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, menurutnya, turut memperburuk kondisi tersebut.
"Ketika anggaran daerah dipotong, sumber pemasukan banyak yang menghilang. Ini berdampak besar bagi masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya masih mendapat limpahan dana dari proyek-proyek pembangunan," jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Widyanta menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai faktor pendorong maraknya aksi pemalakan oleh ormas. Menurutnya, kelompok elit oligarki dengan mudah memamerkan gaya hidup mewah di media sosial dan ruang publik tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Sementara itu, banyak masyarakat masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, menghadapi kondisi yang semakin sulit akibat ketimpangan ekonomi.
2.Rasa frustrasi kolektif di kalangan masyarakat

Menurut Widyanta, fenomena ini bukan sekadar memicu kecemburuan sosial, tetapi juga menciptakan frustrasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses ekonomi menimbulkan ketidakpuasan yang pada akhirnya mendorong sebagian kelompok melakukan tindakan menyimpang, termasuk pemalakan oleh ormas.
"Kondisi ini semakin parah ketika ketidakadilan sosial ini terus berulang, sementara di sisi lain, budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kontrol," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tindakan premanisme oleh ormas tidak bisa dibiarkan karena dampaknya kian meluas terhadap kestabilan sosial dan dunia usaha. Penegakan hukum, menurutnya, harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu serta bebas dari kepentingan politik atau kedekatan dengan aparat. Meski ormas-ormas ini melakukan pemerasan, ia menilai mereka hanyalah bagian kecil dari permasalahan yang lebih besar.
“Yang lebih berbahaya dan memiliki dampak sistemik jauh lebih luas adalah para pejabat yang secara terang-terangan mencabik-cabik konstitusi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menciptakan kebijakan yang tidak adil, serta membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar," ujarnya dengan tegas.
3.Negara harus hadir menyelesaikan masalah yang ada

Widyanta menekankan bahwa negara harus hadir untuk melindungi pengusaha dari tekanan semacam ini. Jika praktik pemalakan dibiarkan tanpa penegakan hukum yang serius, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga masyarakat luas. Biaya ekonomi akan meningkat, iklim investasi terganggu, dan stabilitas sosial berisiko terancam.
Situasi ini, menurutnya, dapat semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memicu ketidakstabilan ekonomi berkepanjangan, serta menumbuhkan sikap apatis terhadap hukum.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan menertibkan ormas yang beroperasi di luar batas hukum serta memberikan jaminan perlindungan kepada para pengusaha agar mereka dapat menjalankan bisnisnya tanpa rasa takut atau tekanan dari kelompok mana pun," pungkasnya.