Daya Beli Masyarakat Melemah, Ramadan 2025 Tak Baik-Baik Saja

- Masyarakat mengalami penurunan daya beli pada Ramadan 2025.
- PHK yang terjadi di berbagai perusahaan membuat banyak pekerja sulit mencari nafkah, seperti Surya Abadi yang masih belum mendapat pekerjaan baru.
- Penjual makanan dan takjil juga merasakan penurunan omzet hingga separuh dari tahun sebelumnya, mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat.
Yogyakarta, IDN Times - Kampoeng Ramadan Jogokariyan (KRJ) di kawasan Masjid Jogokariyan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selalu menjadi destinasi favorit warga untuk ngabuburit selama Ramadan. Ribuan orang datang setiap hari untuk menikmati suasana Pasar Sore KRJ, yang dipenuhi stan jajanan UMKM dan pembagian takjil gratis. Menjelang adzan maghrib, halaman Masjid Jogokariyan dipadati oleh masyarakat. Tak heran, ini karena pengurus masjid menyediakan 3.500 porsi takjil gratis setiap hari selama Ramadan 1446 H, yang dibagikan kepada siapa saja yang datang.
Di Bali, yang warga muslimnya tak menjadi mayoritas, juga terdapat pasar takjil yang buka setiap Ramadan. Salah satunya berada di Banjar Tunggal Sari, Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Pasar dadakan yang digelar di Balai Banjar Tunggal Sari, sebelah Masjid Agung Al-Mujahidin Tabanan, itu diisi puluhan pedagang lokal dan menjadi jujugan para pencari takjil di wilayah tersebut.
Pasar takjil merupakan salah satu tradisi yang biasa hadir di bulan Ramadan. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, Ramadan selalu menjadi bulan yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Bulan suci umat Islam di Indonesia tak hanya identik dengan ibadah puasa, tetapi juga berbagai kemeriahan yang menyertainya. Mulai dari pasar takjil, buka puasa bersama, promo belanja, hingga tradisi mudik dan berbagi hampers Lebaran.
Namun, euforia pada Ramadan 2025 ini tampaknya tak seperti tahun-tahun sebelumnya, mengingat Indonesia tengah diterpa penurunan daya beli masyarakat sebagai imbas dari lesunya dunia usaha akibat efisiensi anggaran, bencana hidrometeorologi di berbagai daerah, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ramadan kelabu bagi korban PHK

Surya Abadi (35), warga Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, adalah salah satu dari ribuan pekerja yang menjadi korban PHK pada awal tahun ini. Hingga kini, ia masih berjuang mencari pekerjaan baru sembari melakoni kerja serabutan untuk menafkahi istri dan anaknya yang masih kecil.
Surya sudah bekerja selama setahun pada Desember 2024 di sebuah restoran Chinese food di Kota Malang. Awalnya, semua berjalan lancar tanpa kendala, termasuk pembayaran gaji yang selalu tepat waktu. Namun, sejak Oktober 2024, ia mulai merasakan kejanggalan. Gajinya terlambat cair selama seminggu, lalu di bulan berikutnya bahkan molor hingga 15 hari.
Keresahan semakin terasa di tempat kerja, terutama soal kemungkinan pemecatan. Kekhawatiran Surya terbukti ketika pada 30 Januari 2025, ia dipanggil manajer dan diberitahu bahwa kontraknya diputus karena efisiensi perusahaan. Pihak restoran menjanjikan gaji bulan Januari akan dibayarkan penuh, tetapi hingga kini ia belum menerima pesangon sama sekali.
"Tentu saya sangat terkejut karena pemberitahuannya mendadak sekali, yang paling kaget saya tidak dapat pesangon, katanya karena perusahaan lagi krisis keuangan. Saya sempat protes, tapi jawaban dari manajer divisi saya tidak memuaskan, saya diminta ikhlas," ujarnya pada Kamis (13/3/2025).
Surya mengungkapkan bahwa PHK tidak hanya terjadi padanya, tetapi juga menimpa seluruh karyawan di cabang restoran di Kota Probolinggo. Sebanyak 10 orang kehilangan pekerjaan secara sepihak karena perusahaan memutuskan menutup cabang yang dianggap kurang menguntungkan. Kondisi mereka bahkan lebih buruk, karena hingga kini gaji terakhir mereka belum dibayarkan, apalagi pesangon. Surya sendiri masih menunggu perkembangan kasus tersebut sebelum memutuskan untuk melaporkan perusahaannya ke Dinas Tenaga Kerja di Kota Malang.
Surya mengatakan jika PHK ini sangat berdampak terhadap kehidupannya. Selama 2 bulan ini, ia dan keluarganya hanya mengandalkan dari tabungannya yang mulai menipis. "Ramadan sekarang saya sekeluarga sudah tidak bisa pilih-pilih makanan lagi seperti tahun lalu, harus makan seadanya dan berhemat. Pokoknya suram sekali lah Ramadan tahun ini karena saya tidak kunjung dapat kerjaan baru," paparnya.
Surya juga makin dipusingkan dengan Idul Fitri yang segera tiba. Ia pun berusaha mencari pekerjaan sampingan meskipun hasilnya tidak seberapa. "Tentu saya malu sekali kalau ketemu keluarga masih menganggur, tapi lebih takut anak saya malu karena tidak dapat baju baru saat lebaran. Sekarang saya kerja serabutan seadanya, bantu kafe teman sampai ojek online saya kerjakan, yang penting ada dulu uang buat hidup dan beli baju buat anak," pungkasnya.
Cerita Surya menjadi satu cerminan bagaimana sulitnya kehidupan para korban PHK saat bulan Ramadan tiba. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, pada periode Januari-Desember 2024 terdapat 77.965 tenaga kerja yang mengalami PHK. Hal ini masih terus berlanjut pada awal 2025, di mana terdapat 3.325 tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan pada Januari 2025. Yang terbaru, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi tutup per 1 Maret 2025 setelah dinyatakan pailit. Akibatnya lebih dari 10 ribu karyawannya terdampak.
Menurunnya daya beli masyarakat terasa di berbagai tempat

Ramadan Fair di Medan, Sumatra Utara, telah menjadi tradisi selama 19 tahun, menghadirkan festival kuliner dan perlengkapan Lebaran di sekitar Masjid Raya Al-Mashun. Bahkan, beberapa tahun terakhir, acara ini digelar di dua lokasi untuk menampung antusiasme pengunjung. Namun, Ramadan Fair ke-19 tahun ini terasa berbeda.
Sejumlah pedagang mengaku omzet mereka menurun dibanding tahun sebelumnya. Pengunjung yang biasanya memadati area festival kini jauh berkurang. Kondisi ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat di tengah berbagai tantangan ekonomi.
Eva, pemilik tenant Dapoer BYSBY, mengungkapkan bahwa jumlah pembeli tahun ini menurun drastis hingga 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. "Kalau jumlah pembeli dibandingkan tahun 2024 itu persentasenya berkurang hampir 50 persen, artinya ini cukup sepi," ucap Eva, Jumat (14/3/2025).
Hal serupa dialami Suciati, pemilik tenant Steamboat yang sudah empat tahun mengikuti Ramadan Fair. Tahun ini, omzetnya anjlok hingga separuh dari tahun sebelumnya. Tahun lalu bisa dapat Rp2 juta per malam, sekarang hanya Rp1 juta," ujarnya.
Di Way Halim, Bandar Lampung, Lampung, Ernawati, produsen cincau hitam, mengaku penjualannya pada Ramadan 2025 mengalami penurunan drastis. “Tahun lalu (2024) sebenarnya sudah sepi. Tapi tahun ini lebih sepi dibandingkan tahun lalu,” ujarnya, Senin (10/3/2025). Jika sebelumnya ia bisa memproduksi hingga 100 loyang cincau hitam per hari, kini jumlahnya bahkan belum mencapai 50 loyang.
Tak hanya cincau hitam, penjualan produk lain seperti cendol dan jeli juga ikut lesu. “Kalau cendol, dulu bisa habis tiga karung, masing-masing 75 kilogram. Sekarang jauh berkurang, paling cuma satu karung,” katanya. Biasanya, permintaan meningkat selama Ramadan, tetapi tahun ini hanya ramai di hari pertama.
Di Palembang, Sumatera Selatan, pemilik kafe dan kedai makan, Bob Adyos, mengaku mengalami penurunan omzet hingga 30 persen sejak awal 2025. Ia menyebut menurunnya jumlah pelanggan menjadi faktor utama. “Sebagai pemilik bisnis saya merasakan adanya penurunan omzet yang signifikan. Kami terus melakukan berbagai strategi pemasaran dan perbaikan layanan namun hasilnya belum memuaskan,” ujarnya, Jumat (14/3/2025). Sebelumnya, usahanya bisa meraih omzet hingga Rp1,5 juta per hari, tetapi kini turun di bawah Rp1 juta.
Untuk bertahan, Adyos mengurangi ongkos produksi dan operasional sambil memantau kondisi ke depan. “Saya merasakan dampak dari menurunnya minat masyarakat dalam membelanjakan uangnya akhir-akhir ini. Jumlah pembeli terus menurun dan meskipun kami sudah berusaha menawarkan promo dan diskon tetap saja sulit untuk menarik perhatian konsumen,” jelasnya.
Lena, pemilik usaha makanan beku di Palembang, merasakan dampak turunnya daya beli masyarakat yang semakin nyata, bahkan di bulan Ramadan. Biasanya, pelanggan membeli makanan beku dalam jumlah besar untuk stok, tetapi kini mereka lebih memilih belanja bertahap sesuai kebutuhan. "Dalam seminggu, ada dua hari yang benar-benar sepi, yang membuat kami harus melakukan upaya lain untuk bertahan," ungkapnya.
Penurunan omzet sudah terasa sejak awal bulan, dengan fluktuasi tajam dibanding tahun sebelumnya. "Dulu, kami bisa mencapai omzet sekitar Rp2 juta per hari, namun kini hanya sekitar Rp500 ribu per hari. Ya, penurunan ini sangat terasa," jelasnya.
Di Magetan, Jawa Timur, pedagang bahan takjil di Pasar Sayur Magetan mengeluhkan sepinya pembeli sejak H+3 Ramadan. Ponirah, pedagang cincau, mengatakan dagangannya laris di awal Ramadan, hingga ia harus mengambil empat ember cincau dari produsen. Namun kini, ia hanya berani membawa dua ember karena permintaan menurun drastis.
“Ramainya cuma sampai H+2 Ramadan saja. Sekarang sehari paling laku 20-30 bungkus, itu pun campuran antara cincau hijau, cendol, dan agar-agar,” ujarnya, Selasa (11/3/2025). Pendapatan yang terus menurun membuatnya khawatir, terutama menjelang Lebaran. “Kalau sehari cuma laku 30 bungkus, ya untungnya ngepres sama kebutuhan sehari-hari,” keluhnya.
Hal serupa dialami Ginem, pedagang jajanan pasar. Jika di awal Ramadan ia bisa menjual 100 kue kukus dan 50 kue bikang, kini pendapatannya merosot drastis, hanya Rp50 ribu per hari. “Tahun lalu pas Ramadan penjualan masih stabil. Sekarang, beberapa hari terakhir, banyak dagangan yang harus saya kembalikan karena nggak laku,” tuturnya dengan nada cemas.
Perhotelan dan Ritel turut kena imbas

Tak hanya penjual makanan dan takjil, melemahnya daya beli juga turut dirasakan industri pariwisata dan perhotelan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mencatat reservasi hotel untuk libur Lebaran 2025 masih lesu. Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, menyebutkan tingkat okupansi untuk periode 28 Maret–6 April 2025 baru mencapai 30-40 persen. “Tahun lalu okupansi 90,2 persen. Target tahun ini 90 persen saja sudah bagus,” ujarnya, Kamis (13/3/2025).
Menurut Deddy, penurunan ini disebabkan oleh melemahnya daya beli akibat efisiensi anggaran. “Efisiensi anggaran ini tidak hanya berdampak ke PHRI, tapi semua sektor. Ekonomi gak jalan, mandek,” katanya. Faktor lain yang memengaruhi adalah bencana di beberapa daerah, seperti di Bekasi, yang membuat wisatawan batal berkunjung ke Yogyakarta. “Padahal mereka sering datang ke Jogja. Semoga setelah ini selesai, mereka bisa mudik,” tambahnya.
Lesunya okupansi membuat hotel dan restoran terpaksa berhemat, termasuk dengan mengurangi jam kerja karyawan. “Sekitar 12 hotel di DIY sudah melakukan ini demi bertahan,” jelas Deddy. Ia juga tak menutup kemungkinan adanya PHK jika kondisi tak membaik. “Kalau tamu terus berkurang, bagaimana kami bisa bertahan? Kami tetap harus membayar karyawan,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Barat, Yudi Hartanto, membenarkan penurunan daya beli masyarakat sejak pertengahan 2024. Menurutnya, pola belanja kini lebih selektif, dengan konsumen mengutamakan kebutuhan pokok dibanding barang lainnya. “Terlihat dari semakin dominannya penjualan produk bahan pangan dalam kontribusi total penjualan ritel," ujar Yudi kepada IDN Times, Jumat (7/3/2025).
Awal bulan Ramadan tahun ini, lonjakan transaksi hanya naik sekitar lima persen, sesuai pola belanja bulanan. Aprindo Jabar memprediksi puncak belanja terjadi H-10 hingga H-8 sebelum Lebaran, setelah THR cair. Namun, konsumen kini lebih rasional dan tak lagi berfokus pada merek tertentu, terutama untuk produk musiman seperti kue kaleng.
Penjualan ritel juga terdampak pengurangan anggaran belanja pemerintah. Belanja paket Lebaran dari instansi dan perusahaan swasta menurun, begitu pula pesanan dari sektor hotel, restoran, dan katering. Selain itu, semakin banyak konsumen beralih ke e-commerce, menjadi tantangan bagi ritel konvensional.
Analisis ekonom soal lesunya permintaan saat Ramadan
Prof. Marselina Djayasinga, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung, menilai daya beli masyarakat turun signifikan dibanding tahun lalu. Ia menyebut kondisi ekonomi yang sulit dan maraknya berita buruk di media sosial membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam berbelanja. Biasanya, menjelang Lebaran, konsumsi barang tersier seperti baju baru, perabot rumah tangga, dan kendaraan meningkat, tetapi tren itu kini tidak terlihat.
"Daya beli turun, naik kelas menengah ke atas maupun menengah ke bawah mulai mengurangi pengeluaran. Biasanya sebelum Lebaran banyak yang beli kursi, ganti gorden, atau bahkan kendaraan baru. Sekarang, tidak lagi," katanya, Sabtu (15/3/2025).
Survei Konsumen Bank Indonesia mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2025 sebesar 126,4, turun dari Januari yang sebesar 127,2. Marselina menilai hal ini menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan.
"Kalau konsumen sudah tidak berekspektasi lagi untuk belanja bulan depan, apalagi untuk investasi atau membuka usaha baru, ini tanda-tanda ekonomi sedang melemah," ujarnya. Selain itu, maraknya berita PHK dan kesulitan keuangan perusahaan semakin memperburuk kepercayaan masyarakat. "Banyak yang takut kehilangan pekerjaan atau usaha mereka bangkrut, akhirnya mereka memilih bertahan dan mengurangi konsumsi," pungkasnya.
Ekonom Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. Abdul Bashir, mengungkapkan ada empat faktor utama yang membentuk pola konsumsi masyarakat saat ini. Pertama, inflasi yang memengaruhi kebiasaan belanja di semua kelompok pendapatan. Kedua, perkembangan perdagangan digital dan dompet elektronik yang memudahkan akses ke berbagai produk.
Ketiga, peran media sosial dan influencer yang menciptakan tren konsumsi serta mendorong permintaan barang tertentu. “Faktor terakhir adalah ketidakpastian ekonomi akibat peristiwa global dan kebijakan domestik. Ini membuat konsumen lebih konservatif dalam pengeluaran,” tuturnya. Selain itu, tren keberlanjutan dan konsumsi etis juga semakin memengaruhi keputusan belanja, terutama di kalangan anak muda.
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Yudistira Hendra Permana, memperkirakan lesunya daya beli masyarakat akan berlanjut hingga akhir tahun. Ia menyoroti tren deflasi yang terus terjadi, termasuk pada Februari 2025, sebagai tanda penurunan daya beli secara bertahap. “Tahun ini bakal beda dari sebelumnya. Kalau melihat tren data makro, deflasi terus terjadi, artinya daya beli turun secara gradual,” ujarnya, Kamis (13/3/2025).
Yudistira menambahkan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah berdampak pada pola konsumsi masyarakat. Banyak orang memilih menahan pengeluaran di tengah ketidakpastian ekonomi. “Alih-alih belanja, masyarakat lebih memilih menyimpan uangnya. Beberapa hari ini harga emas naik drastis, artinya banyak yang beralih ke investasi emas atau bentuk penyimpanan lain,” katanya.
Marselina menambahkan, perlunya kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti bantuan sosial bagi kelompok ekonomi lemah dan upaya mencegah PHK. "Perekonomian Indonesia 65 persen ditopang konsumsi rumah tangga. Kalau daya beli turun, ekonomi juga melemah. Pemerintah harus segera bertindak," tutupnya.
Menurut data Mandiri Spending Index (MSI) yang dirilis Mandiri Institute, tingkat tabungan kelompok bawah terus melemah. Februari 2025 menjadi titik terendah saat ini. Di sisi lain, tingkat tabungan kelompok menengah juga menjadi yang terendah sejak Maret
2024.
Berbeda dari tahun sebelumnya, tren belanja pra-Ramadan tahun ini juga tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Hanya kelompok mobility (bahan bakar, transportasi, dan tiket pesawat) serta consumer goods (supermarket) yang mengalami kenaikan.
Belanja hiburan, olahraga, dan perawatan kecantikan kembali ke level normal sebelum Natal & Tahun Baru. Hal ini menunjukkan masyarakat hanya melakukan belanja secara selektif, yaitu yang berhubungan dengan antisipasi mudik/libur Lebaran dan kebutuhan pokok selama Ramadan.
Berbagai upaya mengembalikan daya beli

Untuk mendorong daya beli masyarakat, sejumlah langkah ditempuh oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah. Pemkot Bandung, misalnya, menggelar berbagai kegiatan untuk mendorong masyarakat tetap berbelanja, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Salah satu upayanya adalah mengadakan bazar sembako murah di berbagai wilayah agar masyarakat kecil tetap dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Selain itu, Pemkot juga mendorong pelaku usaha kreatif untuk terus mengadakan acara guna menggerakkan perekonomian lokal. Wali Kota Bandung, M. Farhan, menilai bahwa sektor fesyen bisa menjadi motor industri kreatif kota ini, selain kuliner. "Harapan saya kegiatan seperti pop up market itu bisa semakin menambah sektor ekonomi di kelas menengah lebih dari sekedar konsumsi makanan. Karena lewat pakaian ini kita bisa membangun industri lain seperti tekstil sampai industri desain," ujarnya.
Farhan juga mengajak komunitas di Bandung untuk lebih aktif mengadakan kegiatan yang melibatkan kebutuhan masyarakat, sehingga dapat mendorong daya beli dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, rutin menggelar pasar murah untuk menjaga stabilitas inflasi daerah. Sepanjang Februari hingga Maret 2025, telah dijadwalkan 36 pasar murah, dengan kemungkinan tambahan selama Ramadan dan Idul Fitri 1446 Hijriah.
Kepala Bidang Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PPDNPKTN) DinKUKMDagin Kota Bogor, Rudi Suryanto, mengatakan bahwa pasar murah ini melibatkan empat ritel yang menawarkan harga bahan pokok di bawah harga pasar. "Nanti ada empat ritel, tetapi ini leading sektornya bukan di kami (DinKUKMDagin Kota Bogor), langsung Pemkot Bogor yang bekerja sama, ada beberapa dinas yang ikut terlibat," ujarnya, Rabu (15/1/2025).
Pasar murah ini akan digelar di enam kecamatan dengan koordinasi dari DinKUKMDagin, DKPP, dan Perumda Pasar Pakuan Jaya di bawah TPID Kota Bogor. "Daya beli masyarakat saat ini masih lemah. Pasar murah untuk menjaga stabilitasi inflasi daerah," imbuh Rudi.
Kantor Pos di Kota Tangerang juga akan menggelar Operasi Pasar Murah selama Ramadan. Executive General Manager PT Pos Indonesia, Palti M Siahaan, mengatakan program ini akan berlangsung di lima titik, yaitu Kantor Cabang Utama (KCU) Tangerang, serta Kantor Cabang Pembantu (KCP) Karawaci, Ciledug, Jatiuwung, dan Jurumudi Baru. “Operasi Pasar Murah akan berlangsung di seluruh Kantor Pos Indonesia. PT Pos Indonesia (Persero) KCU Tangerang langsung berkoordinasi dengan elemen terkait, untuk proses suplai komoditi yang harus disediakan,” kata Palti, Jumat (28/2/2025).
Palti menyebut, fasilitas di seluruh Kantor Pos Kota Tangerang telah siap digunakan. Sementara untuk ketersediaan komoditas, pihaknya masih menunggu pengiriman dari Bulog, ID Food, dan PTPN. “Komoditi terhadap beras SPHP, gula, bawang putih, daging ayam, daging kerbau dan MinyaKita masih dalam proses pengiriman. Maka saat ini, Operasi Pasar Murah di Kantor Pos Kota Tangerang belum dibuka secara resmi,” kata dia.
Operasi Pasar Murah ini akan berlangsung hingga 29 Maret 2025 dengan harga beras SPHP Rp12 ribu/kg, gula Rp15 ribu/kg, bawang putih Rp32 ribu/kg, daging ayam Rp34 ribu/ekor, daging kerbau Rp75 ribu/kg, dan MinyakKita Rp14.700/liter.
Makan gak makan asal kumpul

Selain operasi pasar, berbagai program mudik gratis juga digelar oleh instansi pemerintah hingga BUMN jelang Lebaran tahun ini. Ada kuota ribuan tiket mudik gratis yang bisa dimanfaatkan perantau untuk kembali ke kampung halaman, terlebih mengingat transportasi menjadi salah satu pengeluaran yang cukup besar selama Ramadan.
Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, mengimbau masyarakat yang ingin mudik tetapi terkendala biaya untuk memanfaatkan program mudik gratis yang disediakan oleh perusahaan swasta, BUMN, dan pemerintah daerah. "Silakan yang mau mudik gratis ini, ada yang menyiapkan pakai bus dan kereta. Cek, ada lokasi tujuannya tidak. Manfaatkan momen ini, sekalian lebih safety dan aman di kondisi cuaca ekstrem seperti sekarang," ujar Ratu Dewa.
Bagi Pitria, perantau asal Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pulang ke kampung halaman saat Lebaran adalah keharusan, apa pun kondisi keuangannya. Meski tabungannya kosong, ia tetap berusaha mudik demi bertemu orang tua. "Waktu ketemu orang tua lebih penting, ada gak ada uang tetap diusahakan pulang (mudik)," kata dia.
Pitria biasanya menggunakan travel langganan dari Palembang ke Muara Enim dengan ongkos Rp150 ribu untuk perjalanan sekitar 4-5 jam. Ia berharap tarif tidak naik tahun ini, mengingat harga kebutuhan sudah semakin mahal.
Hal serupa dirasakan Aji YK Putra, warga Palembang yang akan mudik ke rumah neneknya di Bengkulu. Ia dan keluarganya memilih berangkat pada hari kedua Lebaran menggunakan kendaraan pribadi. Meski tahun ini pengeluarannya bertambah akibat kenaikan pajak, Aji tetap berusaha pulang kampung setelah dua tahun tidak mudik. "Nambah-nambah dari THR ini, dari saya dari istri juga. Insyallah cukup untuk ketemu keluarga besar," jelas dia.
Meskipun terjadi pelemahan daya beli, Ramadan 2025 tetap berlangsung dengan segala dinamikanya. Euforia Ramadan masih ada, tetapi lebih terbatas dan disesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing daerah. Tradisi berbuka puasa bersama, berburu takjil, hingga mudik tetap dilakukan, meski dengan cara yang lebih hemat dan selektif.
Situasi ini mencerminkan bagaimana masyarakat beradaptasi di tengah tekanan ekonomi. Ramadan tahun ini bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang ketahanan dan strategi bertahan di masa sulit.
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaborasi IDN Times Hyperlocal. Reporter: Rizal Adhi Pratama, Indah Permata Sari, Muhaimin Abdullah, Riyanto, Rangga Erfizal, Feny Maulia Agustin, Herlambang Jati, Hamdani, Muhammad Iqbal, Debbie Sutrisno.