Mahasiswa UGM Teliti Komunitas Marah-Marah di Medsos, Ini Hasilnya

- Anggota meningkat tiga kali lipat
- Gunakan Teori Ekologi Media dan metode mixed-method
- Dua sisi kontras dalam komunitas daring
Sleman, IDN Times – Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian terhadap Komunitas Marah-Marah di platform X (sebelumnya Twitter).
Komunitas ini menjadi wadah bagi warganet menyalurkan rasa kecewa, marah, hingga keresahan sehari-hari di ruang digital. Dengan tajuk Antara Safe Space dan Toxic Space: Studi Ekologi Media terhadap Komunitas Marah-Marah di Media Sosial X, riset ini bertujuan memahami peran komunitas sebagai ruang aman sekaligus ruang beracun bagi penggunanya.
1. Anggota meningkat tiga kali lipat
Tim peneliti yang terdiri dari Muh Faiq Fauzan, Fanisa Ratna Dewi, Debora Magdalena Marchya Sihombing, Muhammad Syukur Shidiq, dan Adelia Pradipta Nasyaputri ini mendapatkan pendampingan dari dosen Fisipol UGM, Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas.
Muh Faiq Fauzan menjelaskan, X sebagai salah satu media sosial terbesar di Indonesia memiliki fitur komunitas yang memungkinkan interaksi berbasis minat dan emosi. Komunitas Marah-Marah, yang awalnya hadir sebagai wadah pelepasan stres, kini berkembang menjadi ruang interaksi yang dinamis. “Kami tertarik meneliti Komunitas Marah-Marah karena lonjakan anggotanya sangat signifikan. Dalam waktu satu tahun, jumlah pengguna meningkat tiga kali lipat hingga mencapai satu juta. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang merasa perlu untuk mencari ruang pelampiasan emosi di media sosial,” jelas Muh Faiq Fauzan, ketua tim peneliti, Jumat (19/9/2025) dilansir laman resmi UGM.
2. Gunakan Teori Ekologi Media dan metode mixed-method

Menurut Faiq, untuk menelaah fenomena tersebut, tim menggunakan Teori Ekologi Media dari Marshall McLuhan. Teori ini menekankan bahwa media tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk pola pikir dan interaksi penggunanya. Dalam konteks media sosial X, fitur seperti retweet, komentar terbuka, serta sistem algoritma disebut memengaruhi dinamika komunikasi dalam komunitas.
Sejalan dengan teori itu, metode riset yang digunakan adalah mixed-method atau gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tim melakukan observasi partisipatoris untuk memetakan pola komunikasi, lalu melanjutkan dengan survei terhadap anggota komunitas serta wawancara mendalam.
"Tujuannya menggali lebih jauh pengalaman pengguna terkait kenyamanan, keamanan, dan risiko di ruang digital," katanya.
3. Dua sisi kontras dalam komunitas daring
Faiq mengungkapkan berdasarkan temuan awal komunitas ini memiliki sisi ganda. “Dari berbagai temuan awal, tim melihat bahwa Komunitas Marah-Marah memiliki dua sisi yang kontras. Di satu sisi, komunitas ini memberikan ruang bagi pengguna untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut akan penghakiman, dan menciptakan rasa keterhubungan emosional antarpengguna. Di sisi lain, komunitas ini juga menjadi tempat subur bagi penyebaran komentar bernada negatif dan diskriminatif, pelanggaran privasi, bahkan memicu cyberbullying,” ucapnya.
Ia menambahkan dalam satu unggahan bisa saja ditemukan dukungan emosional, tetapi di saat bersamaan juga ada komentar ofensif. Kompleksitas inilah yang mendorong tim PKM-RSH Fisipol UGM mendalami riset terhadap komunitas tersebut.
Lewat riset ini, tim berharap bisa berkontribusi dalam memperkuat literasi digital masyarakat. Selain laporan ilmiah dan artikel akademik, mereka juga menyiapkan kampanye edukasi mengenai etika komunikasi dan batas ekspresi di media sosial.
“Hasil riset ini juga diharapkan dapat mendukung penyusunan kebijakan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia melalui policy brief yang menekankan etika bermedia serta pembentukan karakter warganet yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab,” ujar Faiq.