Kultur Patriarki Salah Satu Faktor Pendorong Kekerasan Seksual

- Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia dipengaruhi budaya patriarki dan gangguan psikologis.
- Perilaku pelaku kekerasan seksual dipicu oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek yang bisa dikontrol, serta hilangnya empati dan pengalaman masa kecil buruk.
- Dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat besar, termasuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, hingga kecemasan yang terus-menerus. Upaya pencegahan dan penanganan menjadi hal yang sangat penting.
Yogyakarta, IDN Times - Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang marak belakangan ini di Indonesia menjadi ironi tersendiri. Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo, menilai bahwa fenomena ini merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi banyak faktor, mulai dari budaya patriarki hingga gangguan psikologis.
“Kasus pelecehan dan kekerasan seksual belakangan ini merupakan fenomena yang kompleks dan memprihatinkan,” ungkap Nita, Rabu (16/4/2025).
1.Kultur patriarki mendorong kasus kekerasan seksual

Nita menyoroti bahwa di balik gelar akademik dan posisi yang terhormat, masih ada individu terpelajar yang justru menyalahgunakan kekuasaan serta pengaruhnya untuk melakukan tindakan tidak pantas. “Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual adalah kultur patriarkis yang masih kuat dalam masyarakat,” ujar Nita.
Menurutnya, pandangan bahwa perempuan adalah objek yang bisa dikontrol dan dimanfaatkan masih melekat di sebagian lapisan masyarakat, termasuk kalangan berpendidikan. Situasi ini memengaruhi perilaku dan pola pikir pelaku, yang merasa memiliki hak untuk mengontrol orang lain. Di sisi lain, kekuasaan dan akses terhadap berbagai sumber daya membuat sebagian orang merasa kebal hukum dan lepas dari akuntabilitas.
“Mereka mungkin merasa dapat melakukan apa saja tanpa konsekuensi, karena memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar,” tegasnya.
2.Nirempati hingga gangguan psikologi

Nita juga menambahkan bahwa faktor lain yang turut memicu terjadinya kekerasan seksual adalah hilangnya empati. Ilmu yang semestinya digunakan untuk memberi manfaat justru dipelintir menjadi alat untuk memenuhi nafsu. Beberapa diantara yang terjadi bisa jadi karena memang ada indikasi faktor psikologis yang dimiliki, seperti adanya masalah psikologi hingga gangguan psikologi.
Menurut Nita, pengalaman masa kecil yang buruk, pernah menjadi korban pelecehan, hingga terbiasa mengonsumsi tontonan pornografi, bisa membentuk pola perilaku menyimpang. Disorientasi seksual, kebiasaan memperlakukan orang lain semena-mena, dan libido yang tak sejalan dengan super ego, menjadi faktor yang memperkuat kecenderungan perilaku tersebut.
“Ego berkuasa untuk dipenuhi, itulah yang membuat mereka kalap dan ingin dan ingin terus melakukan hal tersebut tanpa rasa malu. Namun, perlu diingat bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi karena faktor-faktor tersebut. Trauma dan gangguan psikologis juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Beberapa orang terpelajar mungkin memiliki riwayat trauma atau gangguan psikologis yang mempengaruhi perilaku mereka,” jelasnya.
3.Dampak kekerasan seksual

Nita menegaskan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat besar dan bisa berlangsung dalam jangka panjang. Korban kerap mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, hingga kecemasan yang terus-menerus. Bahkan, kekerasan seksual juga dapat mengganggu kemampuan korban dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan menjadi hal yang sangat penting. Menurutnya, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai kekerasan seksual serta dampaknya dapat menjadi langkah awal yang efektif untuk mencegah kasus serupa.
“Dukungan pada korban, seperti konseling dan bantuan hukum, juga sangat penting untuk membantu mereka pulih. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual dapat menjadi efek jera dan mencegah kasus-kasus serupa di masa depan,” tutup Nita.