Efisiensi Anggaran, Penjualan Properti di DIY Jeblok

- Penjualan properti DIY turun 50% pada Maret 2025 akibat perlambatan ekonomi dan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto.
- Banyak perusahaan properti mulai berhemat untuk bertahan, dengan hotel-hotel di DIY juga terkena dampak sehingga sudah ada pegawai yang dirumahkan.
- Pembangunan perumahan bersubsidi di DIY menghadapi kendala harga tanah tinggi, sementara pembangunan rusunawa juga menghadapi tantangan tersendiri.
Bantul, IDN Times - Dewan Pimpinan Daerah Real Estate Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPD REI DIY) menyebut kebijakan efisiensi yang diterapkan Presiden RI, Prabowo Subianto, mulai berdampak pada sektor properti di DIY. Penjualan properti di wilayah ini tercatat menurun hingga 50 persen pada Maret 2025.
1. Bulan Maret penjualan properti turun hingga 50 persen

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Ilham Muhammad Nur, mengungkapkan bahwa penjualan properti masih normal pada Januari, namun mulai mengalami penurunan di Februari, hingga mencapai 50 persen pada Maret.
"Jadi perlambatan ekonomi sudah sangat kita rasakan mulai bulan Februari dan Maret ini penjualan properti turun hingga 50 persen," katanya usai penyerahan bantuan sosial berupa sembako di Pendopo Parasamya Pemkab Bantul, Kamis (19/3/2025). "Harapan kita setelah Lebaran akan ada rebound daya beli masyarakat," tambahnya.
2. Perusahaan properti mulai kencangkan ikat pinggang

Melambatnya ekonomi akibat kebijakan efisiensi anggaran dan menurunnya daya beli masyarakat juga berdampak pada perusahaan properti. Banyak pengembang kini mulai berhemat agar tetap bertahan.
"Kan hotel-hotel di DIY sudah teriak-teriak terkait efisiensi anggaran bahkan sudah ada pegawai yang dirumahkan karena sepi tamu dan kegiatan sehingga pendapatan juga turun. Lha kita REI DIY juga sudah merasakannya," tuturnya.
3. Harga tanah di Yogyakarta jadi kendala pembangunan rusunawa dan rumah bersubsidi

Ilham juga mengungkapkan bahwa perusahaan properti yang ingin membangun rumah bersubsidi kini menghadapi kendala harga tanah yang semakin tinggi. Pembangunan perumahan bersubsidi di Kota Yogyakarta sudah tidak memungkinkan karena keterbatasan lahan. Sementara itu, di kawasan penyangga seperti Piyungan, Sewon, Kasihan, Sedayu, hingga Prambanan, harga tanah sudah tidak terjangkau lagi.
"Kalau bisa membangun perumahan bersubsidi atau rusunawa bisanya di Kulon Progo dan Gunungkidul. Itu pun di daerah yang pelosok yang harga tanah masih terjangkau," ujarnya.
Lebih lanjut, Ilham menjelaskan bahwa pembangunan rusunawa di daerah penyangga Kota Yogyakarta juga menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah potensi culture shock bagi penghuni, yang harus beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat sekitar, termasuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Selain itu, dengan pagu anggaran Rp160 juta untuk rusunawa ukuran 21 meter persegi atau rumah subsidi tipe 36, keuntungan bagi perusahaan properti sangat kecil.
"Saat ini juga pemerintah belum mengucurkan anggaran untuk pembangunan rusunawa atau perumahan bersubsidi ke bank yang ditunjuk sehingga belum ada kegiatan pembangunan rusunawa atau rumah bersubsidi," tuturnya.