Dosen UGM Soroti Kesehatan Mental Pekerja Informal Kurang Perhatian

- Pemerintah dianggap kurang memperhatikan kesehatan mental pekerja informal
- 59 persen angkatan kerja bekerja di sektor informal, dengan 72 juta orang hidup dari pekerjaan informal
- Tekanan mental bagi pekerja informal makin bertambah akibat kondisi ekonomi yang belum kondusif dan ketidakpastian pendapatan
Sleman, IDN Times - Pemerintah dinilai kurang memperhatikan kondisi kesehatan mental para pekerja informal. Padahal mereka memainkan peran penting dalam perekonomian negara. Pekerja informal umumnya tidak memiliki kontrak kerja tetap, tidak mendapatkan perlindungan sosial atau kesehatan dan seringkali pendapatannya tidak tetap.
Dekan Fakultas Psikologi UGM Rahmat Hidayat, mengatakan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental pekerja informal ini merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ia menyebutkan secara statistik, jumlah pekerja di sektor informal ini sangat besar, yaitu sekitar 59 persen dari angkatan kerja bekerja di sektor informal. Artinya, ada sekitar 72 juta orang yang hidup dari pekerjaan informal, dan ini mencakup sekitar 43 hingga 45 juta rumah tangga.
“Hal ini berarti ada sekitar 152 juta hingga 160 juta jiwa, terdiri dari orangtua, ayah, ibu, dan anak-anak, yang kehidupannya bergantung pada ekonomi sektor informal. Kondisi yang tidak menguntungkan di sektor informal, atau kebijakan pemerintah yang tidak mendukung sektor ini, akan berdampak langsung dan dirasakan oleh sejumlah besar orang,” kata Rahmat, dikutip laman resmi UGM, Senin (24/3/2035).
1. Beban psikologis tak tampak di permukaan

Menurut Rahmat, di tengah kondisi ekonomi yang belum kondusif seperti sekarang, tekanan mental bagi pekerja informal makin bertambah. Ia menyontohkan pekerja informal seperti ojek online, tukang kayu, pedagang kaki lima, hingga asisten rumah tangga, terkadang beban psikologis yang tidak tampak di permukaan, tetapi sangat signifikan bagi para pekerja di sektor informal.
“Bagi mereka, lelah terkait pekerjaan itu bukan sekadar lelah fisik, tetapi juga lelah mental. Dalam hal ini, tekanan psikologis yang dialami pekerja informal muncul dari ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan sosial yang mereka terima,” katanya.
2. Pekerja informal harus penuhi kebutuhan sehari-hari

Rahmat menambahkan ada empat kategori beban yang kerap dihadapi oleh para pekerja informal, yakni beban pekerjaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan fisik. Ketidakpastian pekerjaan menjadi sumber utama beban bagi pekerja informal. Lalu dari sisi ekonomi, pekerja informal juga harus menghadapi tekanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, biaya sekolah, hingga utang yang harus terus dibayar.
“Beban sosial juga turut menambah tekanan pada pekerja informal. Masyarakat Indonesia yang kolektif cenderung memberikan penilaian sosial yang tinggi. Lingkungan fisik yang tidak mendukung juga menjadi beban tambahan bagi para pekerja informal,” ujarnya.
3. Banyak kebijakan publik abaikan pertimbangan psikologis

Menurut Rahmat, kesehatan mental menjadi salah satu aspek kemampuan diri seseorang untuk dapat bekerja dengan baik dalam menjalankan fungsi sehari-hari serta membangun relasi sosial yang menyejahterakan.
Rahmat menyoroti banyak kebijakan publik yang mengabaikan pertimbangan psikologis manusia termasuk dalam hal ini pekerja informal.
Menurutnya, kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada data statistik tanpa memperhitungkan dampak psikologis yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut.
“Jika ingin mengubah kondisi masyarakat secara luas, diperlukan kebijakan inklusif yang sensitif terhadap cara berpikir kelompok masyarakat tersebut,” ungkapnya.