Biaya Investasi Besar Hambat Ambisi Pengembangan PLTSa di Indonesia

- Biaya investasi besar menjadi hambatan utama pengembangan PLTSa
- Kolaborasi antara Pemda, PLN, dan perguruan tinggi diperlukan untuk mengatasi biaya dan teknologi
- Keterlibatan masyarakat dalam pemilahan sampah menjadi kunci sukses pengembangan PLTSa di masa depan
Yogyakarta, IDN Times – Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) bisa menjadi energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan batubara. Meski begitu, investasi untuk pengembangan PLTSa dinilai cukup besar.
“Kalau indikatornya adalah ramah lingkungan, itu (PLTSa) termasuk ramah lingkungan, karena termasuk energi baru terbarukan,” ungkap Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, Jumat (25/7/2025).
1. Biaya yang masih mahal

Fahmy mengungkapkan saat ini dengan teknologi yang masih sangat sederhana, kapasitas pembangkit listrik yang dihasilkan masih relatif kecil. Sehingga saat ini PLTSa masih sebagai pengganti tenaga batubara secara bertahap. “Mengurangi (batubara) dengan tenaga sampah yang tidak terlalu besar jumlahnya,” ungkap Fahmy.
Kendala lain yang dihadapi untuk pengembangan PLTSa adalah biaya yang relatif mahal. Selain untuk biaya pengolahan sampah menjadi energi, sebelumnya juga harus melalui proses pemisahan sampah. Pasalnya tidak semua sampah bisa digunakan.
“Maka perlu adanya pabrik pengolahan, baru bisa digunakan bahan baku untuk energi baru terbarukan itu. Kenapa belum semua daerah, karena biaya mahal,” ujar Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM itu.
2. Perlu kolaborasi untuk pengembangan

Fahmy mengatakan jika belajar dari kota yang sudah menerapkan PLTSa seperti Jakarta dan Surabaya, Pemda menanggung biaya pemisahan sampah melalui dana APBD. “Sebagian biaya ditanggung Pemda, dalam proses pengolahan ditanggung PLN, sehingga menghasilkan listrik,” ucap Fahmy.
Kolaborasi tersebut tidak hanya menghasilkan tenaga listrik yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga mengatasi masalah sampah, mendukung kebersihan kota. “Sehingga bisa mengatasi dua masalah,” kata dia.
Fahmy menilai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga bisa mencontoh dua daerah tersebut. Sehingga bisa menangani masalah sampah yang dihadapi saat ini, selain juga bisa menghasilkan energi baru terbarukan.
3. Keterlibatan masyarakat jadi bagian penting

Fahmy menyebut pengembangan ke depan juga perlu kolaborasi lebih luas lagi. Seperti melibatkan perguruan tinggi untuk mengembangkan teknologi yang bisa membuat energi dengan kapasitas lebih besar, dan biaya tidak terlalu mahal.
“Perlu komitmen bersama, termasuk melibatkan masyarakat. Masyarakat didik untuk memilah sampah, sampah plastik dan lain sebagainya. Itu lebih menyederhanakan dalam memisahkan sampah tadi. Kalau berhasil bisa menghasilkan listrik dan mengatasi masalah sampah,” kata Fahmy.