Mengurai Mismatch Dunia Pendidikan dan Kerja, Soft Skills Jadi Kunci

- Perguruan tinggi perlu melakukan peninjauan kurikulum dan program internship untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
- Peningkatan soft skills seperti kemampuan berkomunikasi, kerja sama dalam tim, dan adaptasi terhadap perubahan sangat penting bagi lulusan perguruan tinggi.
- Beasiswa Kepemimpinan TELADAN dari Tanoto Foundation membantu mahasiswa meningkatkan soft skills dan jiwa kepemimpinan, serta memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lebih tinggi.
Yogyakarta, IDN Times - Persoalan ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia kerja atau mismatch masih menjadi tantangan besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Idealnya, lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja agar mudah terserap. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan hal berbeda.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, Indonesia menghadapi tantangan bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif melimpah tetapi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pemuda justru dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan TPT nasional. Salah satu akar masalahnya adalah fenomena vertical mismatch di mana lebih dari sepertiga (36,36 persen) angkatan kerja muda bekerja pada posisi yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Selain itu, kondisi overeducated maupun undereducated nyatanya menyebabkan kerugian jangka panjang berupa “wage penalty”, yaitu upah pekerja cenderung stagnan dan akhirnya lebih rendah dibandingkan rekan mereka yang bekerja di bidang yang sesuai. Fenomena ini merupakan bentuk inefisiensi masif dalam perekonomian. Status mismatch berpengaruh besar terhadap lama waktu mencari pekerjaan atau transisi kerja. Pemuda overeducated lebih cepat kembali bekerja, sedangkan pemuda undereducated cenderung lebih lambat.
Pengamat Kebijakan Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Subarsono, mengungkapkan idealnya lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja, sehingga lulusannya dengan mudah terserap di dunia kerja. Meski begitu, mismatch masih menjadi persoalan utama saat ini, karena dunia kerja membutuhkan calon pegawai yang siap kerja, sementara lulusan perguruan tinggi sebagian besar tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Subarsono juga menilai banyak faktor yang menyebabkan banyak lulusan tidak terserap sesuai dengan bidangnya di dunia kerja. Pertama, ketidakseimbangam antara supply dan demand. Ada bidang studi yang lulusannya melebihi demand (permintaan) baik dari perusahaan maupun birokrasi pemerintah, akibatnya banyak lulusannya tidak terserap di dunia kerja dan terpaksa masuk dunia kerja yang bidang kompetensinya berbeda. Kedua, adanya mismatch (ketidakcocokan) antara kompetensi lulusan dengan kompetensi yang diminta dunia kerja.
“Kompetensi lulusan itu merupakan produk dari sebuah kurikulum, dan bisa jadi kurikulumnya kurang membumi, tidak berpijak pada kebutuhan real yang dibutuhkan dunia kerja,” ujar Subarsono, Senin (10/11/2025).
Faktor lainnya yang membuat lulusan perguruan tinggi tidak terserap, yakni tidak ada pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja, karena lambatnya investasi. Selain itu juga, rendahnya semangat entrepreneurship lulusan perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada mencari pekerjaan bukan berupaya menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya.
1. Berbagai hal perlu dibenahi

Subarsono menjelaskan langkah strategis yang sebaiknya dilakukan perguruan tinggi agar menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Antara lain, melakukan peninjauan kurikulum dengan tujuan agar kurikulum lebih memberikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Dalam konteks ini, perguruan tinggi bisa melakukan survei kepada berbagai perusahaan sebagai pengguna lulusan untuk mendapatkan informasi dari users (pengguna) tentang jenis kompetensi dan skills yang dibutuhkan kemudian dirumuskan dalam mata kuliah di dalam kurikulum program studi.
“Bisa juga melakukan tracer study kepada para alumni perguruan tinggi yang sedang bekerja baik di sektor publik maupun sektor swasta untuk memberikan masukan jenis keterampilan dan pengetahuan apa yang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan mereka. Perguruan tinggi juga bisa melakukan studi perbandingan kurikulum di berbagai universitas di belahan dunia ini untuk kemudian diramu dengan hasil tracer study dari user dan alumni,” jelas Subarsono.
Kemudian, program internship atau magang. Magang sebagai kewajiban para mahasiswa dengan beban SKS tertentu, baik di sektor publik maupun swasta dengan tujuan memperkaya pengetahuan dan melihat fenomena real yang terjadi dan belajar memberikan solusinya. Untuk memudahkan model magang, perguruan tinggi wajib melakukan kolaborasi dan membangun networking dengan berbagai Kementerian, Badan dan Lembaga pemerintah, dan berbagai sektor swasta agar terbuka akses yang luas bagi mahasiswa untuk melakukan internship.
“Kemudian Prodi (Program Studi) bukan sekadar memberikan kuliah model konvensional, tetapi juga memberikan akses bagi mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai workshop dan kegiatan di studio yang dapat diinisiasi oleh Prodi, perguruan tinggi dan pihak luar,” ungkap Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM itu.
Subarsono juga menyarankan agar bisa membangun kolaborasi antara Pemerintah, Kampus, Lembaga Filantropi dan dunia industri. Kolaborasi ini mampu mengurangi terjadinya mismatch yang selama ini ada dan akan memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat. Ia mencontohkan, dunia industri farmasi akan mampu mengambil keuntungan dari hasil riset Fakultas Farmasi tentang temuan obat baru. Sementara itu, hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi bisa ditopang dana hibah dari sektor industri obat. Demikian juga, dunia perguruan tinggi bisa menyiapkan berbagai naskah akademik sebagai dasar lahirnya sebuah undang-undang, Perda atau Peraturan Pemerintah.
2. Pentingnya peningkatan soft skills dan jiwa kepemimpinan

Subarsono juga mendorong adanya upaya peningkatan soft skills lulusan. Dikatakannya, dunia kerja bukan saja butuh pengetahuan ilmiah dari karyawannya sebagai lulusan perguruan tinggi, tetapi karyawan juga perlu memiliki skills berkomunikasi dan keterampilan lain seperti membangun jejaring, dan kerja sama dalam sebuah tim. “Orang yang sekedar pintar bisa jadi gagal masuk dunia kerja manakala tidak memiliki skills (berkomunikasi dan keterampilan lain),” kata Subarsono.
Menurut Subarsono dunia kerja modern menuntut karyawan yang tidak hanya pintar secara teori, tetapi juga mampu bekerja efektif dengan orang lain dan beradaptasi dengan perubahan. Meskipun kemampuan akademis tetap penting, soft skills adalah kunci agar pengetahuan itu bisa diterapkan secara efektif dalam lingkungan kerja nyata.
Ada beberapa alasan menurutnya. Pertama, kerja tim dan komunikasi lebih dominan. Banyak pekerjaan dilakukan dalam tim lintas divisi. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan memahami orang lain sering lebih menentukan keberhasilan daripada nilai akademis. Kedua, perubahan cepat di dunia kerja. Teknologi dan metode kerja terus berkembang. Orang yang punya soft skills seperti kemampuan beradaptasi, pemecahan masalah, dan kemauan untuk belajar lebih mudah menyesuaikan diri dibanding yang hanya mengandalkan teori.
Ketiga, soft skills mendukung produktivitas. Karyawan dengan empati, integritas, dan kemampuan mengelola konflik biasanya lebih dipercaya memimpin proyek dan tim. Keempat, pengetahuan akademis bisa diajarkan, tetapi karakter bukan hal yang mudah dibentuk. “Perusahaan bisa melatih kemampuan teknis (hard skills), tapi sulit menanamkan etika kerja, disiplin, atau kemampuan komunikasi jika seseorang tidak memilikinya sejak awal,” jelas Subarsono.
Untuk meningkatkan soft skills, kata Subarsono, mahasiswa perlu didorong aktif terlibat dalam organisasi kampus, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau komunitas hobi. Di samping itu, mahasiswa bisa terlibat dalam kegiatan sukarela, seperti menjadi panitia suatu acara di kampus atau acara sosial. Selanjutnya, magang atau kerja part time dapat melatih mahasiswa bertanggung jawab pada tugas dan belajar berkomunikasi dengan atasan, di samping belajar memecahkan masalah real.
Jiwa kepemimpinan tidak kalah pentingnya, Subarsono mengungkapkan ada banyak contoh pemimpin nasional yang sebelumnya aktif di organisasi mahasiswa atau aktivis, seperti Soekarno yang pada waktu mahasiswa mendirikan organisasi Algemeene Studie Club (1926). Mohammad Hatta, aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda; Akbar Tanjung, sebagai ketua PB HMI sewaktu mahasiswa. Sejarah dan pengalaman kepemimpinan sewaktu mahasiswa menjadi embrio DNA ketika mereka terjun ke dalam masyarakat atau arena politik nasional.
“Dengan demikian, pengalaman kepemimpinan waktu mahasiswa melatih tanggung jawab dan meningkatkan kompetensinya dalam pengambilan keputusan. Mahasiswa yang terbiasa memimpin organisasi atau kelompok belajar akan lebih siap menghadapi situasi kerja yang menuntut inisiatif dan tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Selanjutnya, juga dapat membentuk kemampuan komunikasi dan koordinasi. Pemimpin harus mampu berkomunikasi jelas, mendengarkan, dan mengarahkan tim. Di dunia kerja, kemampuan ini sangat penting untuk kerja tim, negosiasi, dan koordinasi lintas divisi. Menumbuhkan rasa percaya diri dan ketegasan. Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah,” ujar Subarsono.
Subarsono berpendapat bahwa kepemimpinan penting di level mana saja ketika seorang berada atau berkiprah dalam suatu organisasi, karena inti kepemimpinan adalah bagaimana mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu tindakan menuju tercapainya visi, misi dan tujuan organisasi. Siapapun di organisasi wajib hukumnya untuk mengingatkan anggota organisasi yang lain agar bertindak dalam rel yang benar dan tidak menyimpang. “Tentu saja besar kecilnya otoritas tiap orang di dalam organisasi tidak sama, tergantung dari tinggi rendahnya posisi jabatannya,” kata dia.
Selain belajar dari organisasi atau komunitas, Subarsono mengatakan untuk melatih jiwa kepemimpinan bisa dengan melatih tanggung jawab dan disiplin. Pemimpin yang baik harus bisa memenuhi janji dan mengelola waktu dengan baik. Bisa memulai dari hal sederhana seperti menepati deadline, hadir tepat waktu, dan menyelesaikan tugas tanpa menunggu disuruh. “Kemudian mengenali diri sendiri (Self-awareness), yakni memahami kelebihan, kekurangan, dan tujuan hidupnya,” kata dia.
Tantangan terbesar mahasiswa saat ini dalam membangun karakter kepemimpinan adalah daya tangguh. Mahasiswa sekarang masuk dalam kategori strawberry generation yang daya tangguhnya kurang. Sementara itu tantangan ke depan sangat multi aspek dan kompleks dan bukan saja persoalan lokal dan domestik tetapi juga persoalan global yang membutuhkan keseriusan berpikir dan energi fisik yang kuat.
Lalu, dunia hoax. Mahasiswa perlu punya kemampuan triangulasi atau mengecek berita yang beredar supaya tidak mudah termakan berita yang tidak benar atau hoax yang memberondong dunia maya setiap hari. Selain itu juga tantangan era post-truth. “Kita sekarang hidup dalam era post-truth, sebuah kondisi di mana emosi menjadi yang utama dan fakta dipinggirkan. Rasionalitas dikalahkan dengan keyakinan. Ada rekayasa informasi agar orang menjadi bingung dan membangkitkan permusuhan,” jelas Subarsono.
3. Kolaborasi tingkatkan soft skills dan jiwa kepemimpinan

Menanggapi adanya mismatch antara dunia pendidikan dan dunia kerja, Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation, Yosea Kurnianto, menjelaskan bahwa Tanoto Foundation sebagai lembaga filantropi mencoba mengambil peran untuk dunia pendidikan. Salah satunya dengan menghadirkan beasiswa untuk mahasiswa sejak tahun 2006. Seiring waktu berjalan pada tahun 2019, dikenalkan beasiswa Kepemimpinan TELADAN. Beasiswa yang diberikan tidak hanya sekedar memberikan bantuan finansial, lebih dari itu para penerima beasiswa bisa meningkatkan nilai dirinya. Hal itu dilakukan dengan upaya peningkatan soft skills.
Setidaknya ada 9 karakter yang diharapkan untuk mencetak pemimpin masa depan, di antaranya self-awareness (kesadaran diri untuk memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri), driven (memiliki dorongan dan semangat untuk mencapai tujuan), grit (memiliki ketekunan dan kegigihan dalam menghadapi tantangan), serta care for others (peduli dan memiliki empati terhadap orang lain). Kemudian, integrity (menjunjung tinggi integritas dan etika), empower others (berupaya memberdayakan orang lain untuk berkembang), innovative (mampu berpikir dan menciptakan ide-ide baru), continuous learning (memiliki semangat untuk terus belajar dan berkembang), entrepreneurial spirit (memiliki semangat kewirausahaan).
Beasiswa Kepemimpinan TELADAN juga dirancang inklusif, agar semua orang bisa mengaksesnya. Termasuk bagi mereka yang kurang mampu secara finansial, mendapat kesempatan untuk meningkatkan dirinya. “Kami melihat program TELADAN membantu mereka memiliki equal opportunity (kesetaraan kesempatan) dengan pengembangan soft skills dan leadership,” ucap Yosea.
Dampak program TELADAN pun telah bisa diukur. Berdasarkan survei yang dilakukan Tanoto Foundation, 27 persen alumni yang pernah mengikuti program TELADAN lebih bisa mendapat pekerjaan lebih tinggi dan kecenderungan mendapat gaji lebih tinggi sebanyak 47 persen.
“Cukup menariknya dua kali lebih banyak untuk mendapatkan pengalaman upward social mobility. Itu konteksnya karena kita memilih teman-teman yang ekonominya tidak seberuntung yang lain. Ketika mereka lulus dan mendapat pekerjaan gajinya lebih tinggi atau sama dengan orang tuanya saat itu juga. Jadi ketika tumbuh pasti kemungkinan lebih tinggi dari orang tuanya,” ujar Yosea.
Yosea menilai soft skills menjadi bagian penting untuk para lulusan perguruan tinggi. Ia mengajak pemangku kepentingan lainnya untuk membuat referensi baru, mengumpulkan dan juga memberikan rekomendasi kepada pembuat kebijakan untuk membuat soft skills terintegrasi dengan perguruan tinggi.
“Tahun ini coba kita lakukan dengan kampus mitra semacam task force, pengembangan soft skills memerlukan perhatian serius di perguruan tinggi, didesain terstruktur, intensional, akhirnya bisa memberikan kesempatan mahasiswa secara luas, mendapatkan pengalaman pengembangan soft skills. Sedang berproses dengan perguruan tinggi mitra membuat National Guideline Soft Skills Development,” ungkap Yosea.
Sebagai katalis, akan ada forum nasional yang membahas pengembangan soft skills. Menurutnya, pengembangan soft skills bukan sesuatu yang mudah. “Kita bicara soft skills, it’s very hard, not even soft (Sesuatu yang sangat sulit meski namanya soft skills). Ketika kita berusaha mengembangkan, investasi di area ini, soft skills, I think the hardest skill (Soft skills justru keterampilan yang paling sulit) yang perlu dikembangkan ke anak muda dan perguruan tinggi,” tutur Yosea.
Direktur Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menyambut baik dukungan Tanoto Foundation untuk meningkatkan soft skills dan jiwa kepemimpinan atau leadership mahasiswa. Bukan tanpa alasan, menurut Hempri, dunia kerja saat ini tidak hanya mencari lulusan perguruan tinggi yang memiliki nilai akademik bagus, tapi juga memiliki nilai lebih.
“Soft skills penting bagi mahasiswa menyiapkan bekal dunia kerja dan saya kira ada sosial kepemimpinan, leadership, social skills yang punya banyak manfaat untuk mahasiswa. Mengembangkan asa mereka, harapan mereka. Jadi lulus tidak hanya sekadar bekal IPK tinggi. Harapannya mereka punya soft skills. Dunia kerja gak sekadar IPK, tapi soft skills juga penting untuk masuk dunia kerja,” ucap Hempri.
Hempri juga menyadari terkadang masih ada gap antara dunia kerja dengan dunia pendidikan. Menurutnya penting selain menyiapkan kurikulum yang tepat, soft skills dikembangkan untuk menyesuaikan dengan pasar dunia kerja. “Penambahan soft skills jadi penting. Future leaders contohnya, tidak hanya kemampuan akademik tinggi, tapi juga kepemimpinan, literasi lain untuk masuk dunia kerja,” ungkap Hempri.
Berdasarkan data, jumlah penerima beasiswa Tanoto Foundation di UGM pada 2025 sebanyak 35 mahasiswa. Jika ditotal sejak tahun 2006 penerima beasiswa di UGM mencapai 835 mahasiswa. “Beasiswa yang sangat bagus. Tidak hanya sekedar memberi beasiswa, tapi juga investasi sosial, karena soft skills merupakan investasi sosial,” tutur Hempri.
4. Cerita para penerima beasiswa

Salah satu penerima beasiswa Kepemimpinan TELADAN Tanoto Foundation, Lintang Sekar Jagad, menceritakan saat awal mencari beasiswa bukan hanya yang memberikan dukungan finansial, namun dirinya juga mencari beasiswa yang bisa membantu mengembangkan dirinya. “Lalu, saya melihat ada beasiswa TELADAN ini yang sedang membuka pendaftaran. Setelah saya baca dan browsing lebih dalam tentang programnya, ternyata beasiswa TELADAN ini merupakan beasiswa prestasi dengan program pengembangan kepemimpinan yang sangat komprehensif,” ungkap mahasiswi lulusan Manajemen Kebijakan Publik UGM itu.
Lintang menyebut ada banyak kegiatan pembelajaran, pelatihan, dan juga pendampingan yang bisa membantu penerima beasiswa untuk tumbuh dan berkembang secara komprehensif, baik secara akademik maupun personal. Persyaratan dokumennya juga tergolong sederhana dan tidak rumit sehingga lebih inklusif bagi banyak mahasiswa. “Dari situ saya langsung tertarik karena saya merasa program ini bisa jadi ruang yang tepat untuk saya belajar. Berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, dan juga memberikan kontribusi yang luas ke masyarakat,” kata Lintang.
Setelah mendapat beasiswa Tanoto Foundation, Lintang merasakan manfaatnya. Ia mengaku mendapatkan banyak pelatihan, mentoring, dan juga tugas atau proyek yang dirancang untuk menumbuhkan skill leadership, baik dalam konteks organisasi, komunitas, maupun pribadi. “Yang paling menarik bagi saya, konsep kepemimpinan yang diajarkan dalam program ini tidak hanya soal posisi untuk memimpin orang lain, tapi juga tentang memiliki nilai, empati, dan tanggung jawab sosial, di mana seorang pemimpin mampu membawa dampak positif bagi lingkungan sekitarnya,” cerita Lintang.
Lintang mengungkapkan setidaknya ada tiga soft skills utama yang menurutnya paling terasa dan memiliki dampak pada dirinya, yaitu agility, grit, dan leadership. Selama tiga tahun mengikuti program ini, penerima beasiswa banyak dilatih untuk menjadi pribadi yang tangguh dan adaptif dalam menghadapi perubahan. Ia belajar untuk tidak mudah menyerah dengan segala tantangan dan hambatan yang dihadapi, terbuka untuk terus berkembang, dan beradaptasi dengan berbagai pengalaman baru.
“Saya belajar untuk tidak hanya mampu memimpin orang lain, tapi juga utamanya adalah memimpin dan mengenali diri sendiri. Program ini benar-benar membantu saya membangun growth mindset, di mana setiap tantangan dipandang sebagai peluang untuk terus belajar dan berkembang agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya,” ucap Lintang.
Dari perjalanannya mengikuti program TELADAN, Lintang merasa banyak pengalaman berkesan yang dirasakan. Salah satu yang menurutnya paling berkesan adalah ketika para scholars mendapatkan kesempatan untuk bertemu dalam acara gathering tahunan, di mana seluruh penerima beasiswa TELADAN dari berbagai universitas di Indonesia bertemu dan berkumpul di acara tersebut.
“Di sana kami belajar banyak hal melalui kegiatan-kegiatan inspiratif dan juga kolaborasi lintas kampus yang menjadi kesempatan berharga untuk mempererat kebersamaan sekaligus membangun relasi positif antar-scholars. Puncaknya adalah Awarding Night, yang selalu menjadi momen emosional kami, karena kami bisa melihat sejauh apa perjalanan dan kontribusi kami selama setahun terakhir. Hal yang juga berkesan bagi saya adalah rasa kebersamaan antar-scholars yang cukup kuat karena kami merasakan bagaimana tumbuh bersama selama program dan juga saling mendukung serta menguatkan satu sama lain,” cerita Lintang.
Lintang segera memasuki dunia kerja dalam waktu dekat, ia merasa sudah mendapat banyak bekal dari program TELADAN. “Sedikit sneak peek, selama tiga tahun mengikuti program TELADAN, setiap tahunnya kami dibekali oleh fokus pengembangan yang berbeda,” kata Lintang.
Di tahun pertama ada program Lead Self, di mana scholars diajak untuk mengenal diri sendiri secara lebih dalam, mulai dari memahami potensi, kekurangan, kelebihan, hingga minat dan passion. Tujuannya supaya bisa membangun self-awareness yang kuat dan tahu bagaimana cara mengembangkan diri dengan lebih efektif. Kemudian tahun kedua ada Lead Others, di tahap ini scholars belajar bagaimana mengaplikasikan kemampuan dan nilai diri yang sudah dimiliki, untuk dapat memberikan manfaat bagi orang lain melalui proyek sederhana berbasis sosial yang melatih empati dan kerja sama tim.
Lalu di tahun terakhir scholars mengikuti Professional Preparation yang fokusnya adalah persiapan menghadapi dunia kerja, mulai dari membuat CV, menghadapi wawancara kerja, bagaimana memulai karier serta memilih jalan karier yang tepat, dan lain sebagainya. “Saya merasa ketiga tahapan ini saling melengkapi satu sama lain. Tahun pertama banyak menumbuhkan soft skills, tahun kedua mengasah leadership dan kemampuan kolaborasi, sedangkan tahun ketiga membekali kami dengan hard skills yang relevan untuk dunia profesional. Jadi ketika lulus, kami bukan hanya siap bekerja, tapi juga siap berkontribusi secara nyata di lingkungan kerja maupun masyarakat,” kata Lintang.
Mahasiswa UGM lainnya yang juga menerima beasiswa program TELADAN, Rafael David Santoso mengaku melalui berbagai tahapan program yang dijalankan, merasa lebih aware kemampuan dirinya dan tahu harus mengembangkan ke mana. “Lebih termotivasi, lebih terarahlah,” ungkap Rafael.
Rafael menyebut banyak hal ia dapat dari program TELADAN, tidak hanya soal dukungan biaya kuliah, tapi lebih dari itu. Ia menyebut dapat mengasah soft skills hingga melatih jiwa kepemimpinannya. Dirinya menyadari berbagai bekal selama dibangku kuliah tersebut sangat penting untuk menghadapi dunia kerja nantinya.
“Banyak fenomena juga mahasiswa yang ikut-ikutan FOMO (Fear of Missing Out), gak tahu arah. Dengan pelatihan dari Tanoto Foundation lebih terarah, meningkatkan soft skills juga. Termasuk juga soal kepemimpinan,” kata mahasiswa Teknik Kimia UGM itu.


















