TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

UII Minta Pasal Penyerangan Kehormatan Presiden Dikeluarkan dari RKUHP

Berpotensi memidanakan tindakan kritik

(ANTARA FOTO)

Yogyakarta, IDN Times – Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) meminta rumusan pasal tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang sedang digodok pemerintah dikeluarkan dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). 

“Agar menjamin konstitusionalitas KUHP di masa depan,” kata Direktur PSHK UII, Allan FG Wardhana dalam siaran pers yang diterima IDN Times pada Jumat, 19 Juni 2021.

Pasal-pasal tersebut berpotensi membuka celah penafsiran yang luas atas frasa penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat.

“Karena pasal-pasalnya tidak bersifat tegas, tidak pasti, dan tidak limitatif,” kata Allan.

Baca Juga: 12 Pasal Draf RKUHP yang Jadi Sorotan Publik

1. Membuka celah pemidanaan terhadap kritik kepada Presiden dan Wapres

Warga melintas di samping mural bertema kritik sosial di Jalan Cikaret, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pada 3 Oktober 2019. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Pasal-pasal itu berpotensi mengaburkan antara tindakan yang dikategorikan kritikan dengan yang dikategorikan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden Indonesia. 

"Akibatnya membuka celah pemidanaan terhadap tindakan kritik. Sesungguhnya itu kritikan, tapi justru dimaknai tindakan penyerangan kehormatan,” kata Allan.

Sementara Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Partisipasi yang dimaksud dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan.

Menurut Allan, Indonesia merupakan negara demokrasi yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Salah satu unsur negara demokrasi, adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan dan kebijakan pemerintah.

“Jadi pasal dalam RKUP itu secara langsung bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri,” kata Allan.

2. MK sudah putuskan aturan penyerangan kehormatan adalah inkonstitusional

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Sebelumnya, pasal serupa sudah muncul dalam pasal atau delik 134, 136 bis, 137 KUHP yang mengatur terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wapres. Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan pasal-pasal itu inkonstitusional.

Alasan MK, Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap ketika ketiga pasal tersebut digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Akibatnya, pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, Presiden atau Wapres tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif yang berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Kecuali secara prosedural untuk mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada keduanya. MK juga telah melakukan studi banding pasal yang sama di beberapa negara lain.

“Dan penuntutan atas penghinaan terhadap penguasa atau badan publik di beberapa negara berdasar pengaduan,” imbuh Allan.

Berita Terkini Lainnya