UII Minta Pasal Penyerangan Kehormatan Presiden Dikeluarkan dari RKUHP
Berpotensi memidanakan tindakan kritik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) meminta rumusan pasal tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang sedang digodok pemerintah dikeluarkan dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Agar menjamin konstitusionalitas KUHP di masa depan,” kata Direktur PSHK UII, Allan FG Wardhana dalam siaran pers yang diterima IDN Times pada Jumat, 19 Juni 2021.
Pasal-pasal tersebut berpotensi membuka celah penafsiran yang luas atas frasa penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat.
“Karena pasal-pasalnya tidak bersifat tegas, tidak pasti, dan tidak limitatif,” kata Allan.
Baca Juga: 12 Pasal Draf RKUHP yang Jadi Sorotan Publik
1. Membuka celah pemidanaan terhadap kritik kepada Presiden dan Wapres
Pasal-pasal itu berpotensi mengaburkan antara tindakan yang dikategorikan kritikan dengan yang dikategorikan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden Indonesia.
"Akibatnya membuka celah pemidanaan terhadap tindakan kritik. Sesungguhnya itu kritikan, tapi justru dimaknai tindakan penyerangan kehormatan,” kata Allan.
Sementara Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Partisipasi yang dimaksud dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan.
Menurut Allan, Indonesia merupakan negara demokrasi yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Salah satu unsur negara demokrasi, adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan dan kebijakan pemerintah.
“Jadi pasal dalam RKUP itu secara langsung bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri,” kata Allan.