PSHK UII: UU Cipta Kerja Bisa 'Dijegal' secara Konstitusional
Punya cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Catatan buruk proses legislasi di Tanah Air kembali berulang. Setelah pengesahan revisi UU KPK menjadi UU Nomor 30 Tahun 2020, kini DPR, Presiden, dan DPD kembali berulah dengan mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mencatat, keduanya punya catatan buruk yang sama. Yaitu sama-sama cacat formil.
“Karena sejak awal hingga pembahasan tidak melibatkan partisipasi publik,” kata Direktur PSHK UII, Allan FG Wardhana dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Selasa (6/10/2020).
Selain itu, materi muatan UU Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga: ARB Gelar Aksi Spontan Tolak Omnibus Law RUU Ciptaker di Gejayan
1. Sejumlah kewenangan pemerintah daerah dipangkas
UU Cipta Kerja berpotensi mereduksi hak otonomi pemerintah daerah di tingkat provinsi serta kabupaten dan kota yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.
“Ada pemangkasan beberapa kewenangan pemerintah daerah,” kata Allan.
Seperti hilangnya kewenangan memproses dan menerbitkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dan izin lingkungan, juga konsultasi penentuan wilayah potensial minyak dan gas bumi. Kemudian kewenangan ketenagalistrikan dan pemberian persetujuan kawasan ekonomi khusus dipangkas.
Baca Juga: RUU Ciptaker Disahkan, Mahasiswa Serukan Mosi Tidak Percaya!