Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja Kantoran
Melukis itu harus disiplin dan gembira
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Keinginan Klowor Waldiyono menjadi pelukis sudah dipendam sejak kelas 2 SMP. Ia mencoba mencari jawaban atas keinginannya: bagaimana untuk menjadi seorang pelukis. Lulus SMP, diputuskan melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Seusia itu pun ia sudah bertekad, jika tak diterima di SMSR, ia memilih menganggur.
Tekad itu terjawab. Perupa yang berdandan nyentrik dengan rambut digelung dan anting di kuping itu pun ngangsu kawruh (menimba ilmu) seni lukis di sana. Meski ia memilih bersikap ‘nakal’ dalam berproses menjadi pelukis.
“Guru mlebu, tak tinggal metu (guru masuk kelas, Klowor pergi meninggalkan kelas),” kata Klowor dalam acara artist talk berkait pameran tunggalnya, Hidup Berkesenian di Jogja Galery di Alun-alun Utara Yogyakarta, Senin (22/12) siang lalu. Ia kemudian memperdalam ilmunya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Baca Juga: Klowor, Sang Pelukis Kucing Hitam Putih hingga Warna-Warni
1. Lukisan munajat doa untuk orang tua
Klowor terlahir dari rahim seorang penjual sayur yang menikah dengan seorang pemain akrobat. Dari ibunya, Klowor jadi tahu harga sayur mayur. Bahkan dengan semangkuk sayur yang tersaji di atas meja makan, Klowor bisa berhitung berapa duit mesti dikeluarkan. Dari bapaknya, Klowor jadi tahu bagaimana cara menghibur orang.
Keduanya telah tutup usia. Menjelang satu tahun kematian ibunya, bapaknya menyusul pergi. Klowor pun melukis kematian ibunya pada tujuh hari menjelang satu tahun kepergiannya. Kemudian ia melukis kepergian bapaknya. Kedua lukisan itu bersanding di dinding lobi ruang pamer. Bapaknya dilukis berlatar warna hitam kelam dan lukisan ibunya berlatar kanvas putih. Keduanya sama-sama berbaring di peti mati.
Dan kondisi lukisan itu sempat sobek dimakan rayap. Kemudian direstorasi sebelum dipamerkan agar bisa dipajang kembali.
“Ini adalah munajat doa-doa kepada dua sosok yang telah melahirkan dan mengenalkan dunia kepada saya,” tulis Klowor dalam narasi fotonya.
Keberadaan kedua orang tuanya dirasakan kurator pameran, Bayu Wardhana seolah hadir dalam setiap langkah Klowor. Bahkan Bayu pernah menangkap basah Klowor ketika masuk lobi.
“Dia mencuri pandang pada kedua lukisan itu 1-2 detik,” kata Bayu.
Baca Juga: Kisah di Balik Badai Literasi, Seni Instalasi Karya Onno di UGM