TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kemelut Revisi UU KPK, Mahfud MD Pilih Jalan Tengah 

Revisi UU KPK berdasarkan asas keterbukaan

IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Kota Yogyakarta IDN TIMES  -- Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mahfud MD enggan secara tegas menyatakan pendapatnya atas revisi UU Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digaungkan DPR dan disetujui Presiden Joko Widodo.

“Saya gak berhak menyatakan setuju atau tidak setuju karena itu (revisi UU KPK) tidak perlu meminta persetujuan saya. Gak ada gunanya,” kata Mahfud saat ditanya wartawan terkait sikapnya usai temu alumni Fakultas Hukum UII Angkatan 1978 di Café D’Tambir di Kotagede, Yogyakarta, Minggu (15/9).

Namun Mahfud tak membantah jika dirinya termasuk pihak yang mengklaim materi yang akan direvisi tersebut tidak bermasalah.

“Materinya gak jelek. Sebagai rakyat saya hanya meminta DPR mengembalikannya (revisi) pada prosedur yang tersedia,” kata Mahfud.

Lantaran itu pula, Mahfud memilih mengambil jalan tengah untuk menunda pembahasan revisi UU KPK pada periode pemerintahan dan DPR ke depan, yaitu 2019-2023.

“(Rencana revisi) bisa ditarik, mengapa tidak? Presiden bisa meminta menunda karena ada hal yang lebih penting,” kata Mahfud.

Baca Juga: Saut Situmorang Kekeuh tak mau Ungkap Alasan Mundur dari KPK 

1. UU KPK termasuk produk hukum biasa, bukan luar biasa

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Salah satu alasan Mahfud meminta DPR melakukan revisi UU secara prosedural karena UU KPK termasuk produk hukum biasa. Dalam melakukan revisi harus melalui serangkaian tahapan pembentukan UU yang mengutamakan asas keterbukaan. Seperti pembahasan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), ada naskah akademik, ada sosialisasi, juga publik hearing atau meminta dengar pendapat publik. Tahapan-tahapan tersebut belum dilalui DPR.

“Saya saja gak tahu draf revisinya seperti apa. Di website gak ada. KPK juga tidak tahu,” kata Mahfud.

Berbeda kondisinya, lanjut Mahfud, apabila produk hukum yang akan direvisi merupakan UU yang bersifat luar biasa. UU luar biasa bisa disahkan tanpa harus masuk prolegnas maupun proses public hearing. Syaratnya meliputi empat hal. Pertama, ada peraturan pengganti perundang-undangan (Perppu) dari Presiden. Kedua, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebabkan kekosongan hukum, sehingga DPR bisa membuat UU tanpa masuk prolegnas. Ketiga, kalau ada perjanjian internasional bidang tertentu, seperti pertahanan dan hukum sehingga DPR bisa bersidang untuk menetapkan UU. Keempat, terjadi keadaan luar biasa yang tidak bisa diduga sehingga perlu ada UU yang mengatur.   

2. Uji formal Mahkamah Konstitusi bisa menganggap prosedur cacat formal

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, apabila DPR tetap memaksa UU KPK direvisi saat ini, tidak menutup kemungkinan akan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai produk hukum yang cacat formal. Konsekuensinya, seluruh batang tubuhnya bisa dibatalkan karena semuanya dianggap salah. Berbeda dengan uji material yang hanya mencakup poin-poin isinya dengan konsekuensi isinya bisa dibatalkan.

“Kalau uji formal yang menilai MK. Itu pun tergantung MK-nya, kena angin gak,” kata mantan Ketua MK itu.

Baca Juga: Firli Jadi Ketua KPK, Rektor UNY: Tidak Ada Manusia yang Sempurna

Berita Terkini Lainnya