TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aktivis Prodem Sesalkan Telegram Kapolri tentang Penanganan COVID-19

Pemerintah dinilai masih butuh saran dan kritik publik

(Guru SD berkomunikasi dengan siswa saat proses belajar mengajar (PBM) melalui aplikasi media daring di rumahnya di Kelurahan Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4/2020)) ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Yogyakarta, IDN Times – Pada tanggal 4 April 2020, Kapolri Jendral Idham Azis menerbitkan aturan terkait tindakan kepolisian selama penanganan pandemi Covid-19. Salah satu instruksi Kapolri adalah menindak hoaks terkait kebijakan pemerintah menangani COVID-19. 

Instruksi itu tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020. 

Kapolri menginstruksikan agar jajarannya melaksanakan patroli siber untuk monitoring situasi berita opini, dengan sasaran hoaks terkait COVID-19, serta hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani wabah virus corona. 

Penerbitan telegram tersebit dinilai Aktivis prodemokrasi sebagai bentuk sikap pemerintah dan pejabat negara yang anti kritik. Bahkan dianggap otoriter dalam merespon keluhan dan keresahan publik di tengah carut-marut penanganan COVID-19.

“Publik justru butuh ketersediaan dan transparansi informasi di tengah pandemic COVID-19 ini,” kata peneliti Imparsial, Husein Ahmad dalam siaran pers bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (7/4).

Aktivis prodemokrasi menyatakan dua persoalan menjadi fokus pemantauan telegram adalah perkara penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara terkait kebijakan penanganan wabah COVID-19 serta penyebaran berita bohong terkait informasi COVID-19.

Baca Juga: Masker Dulu Dilarang sekarang Diharuskan, Mengapa Aturan Diubah? 

1. Tanpa kritikan publik, pemerintah akan kesulitan menangani COVID-19

Tenaga medis sebagai garda terdepan menghadapi pasien positif COVID-19. (IDN Times/Candra Irawan)

Di tengah situasi pandemi COVID-19, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, masyarakat merasa dirugikan dengan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang mengabaikan dampak negatif penyebaran virus corona. Sedangkan penerbitan telegram Kapolri bernomer ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 justru membuat masyarakat yang berniat menyampaikan pendapat menjadi takut.

“Masyarakat yang akan menyampaikan malah takut karena adanya ancaman hukuman,” kata Usman dalam siaran persnya tertanggal 6 April 2020.

Padahal tanpa saran dan kritikan dari publik, Usman menilai pemerintah semakin kesulitan untuk mengetahui apa saja yang perlu diperbaiki dan ditangani untuk mencegah penyebaran virus Corona ini.

2. Kritikan publik untuk memperbaiki, bukan mengkriminalisasi

pexels.com/Tim Gouw

Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu mengingatkan kritikan bukanlah hal tabu dalam penyelenggaran pemerintahan. Mengingat secara legalitas diatur dan dijamin dalam konstitusi UUD 1945 dan UU Nomer 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Kritikan mestinya dipakai untuk memperbaiki kondisi pemerintahan, khususnya dalam menangani penyebaran virus Corona. “Bukan malah mengkriminalisasi para pengkritik. Itu sama saja saat era Orde Baru,” kata Tri Wahyu saat dihubungi IDN Times, Selasa (7/4).

Baca Juga: Ribetnya Aturan Mudik Tahun Ini, Masih Mau Pulang Kampung? 

Berita Terkini Lainnya