TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Omnibus Law, Kelahiran RUU Sapu Jagat Demi Pertumbuhan Ekonomi (1)

Warga negara dijadikan konsumen

Aksi Jampiklim di Titik Nol Malioboro Yogyakarta, 28 Februari 2020. Dokumentasi Jampiklim

Yogyakarta, IDN Times – Namanya omnibus law. Sebagian orang di Indonesia memplesetkannya menjadi Gedebus Law. Sebuah ungkapan nyinyir atas isi rancangan produk undang-undang yang dianggap sebagian orang adalah gedebus alias omong kosong. Sebagian lagi memberi julukan RUU Cilaka. Kepanjangan dari RUU Cipta Lapangan Kerja.

Alih-alih mendukung kesejahteraan buruh, isi RUU itu dinilai justru banyak merugikan kaum buruh di berbagai sektor. Belakangan namanya diganti dengan RUU Cipta Kerja usai sebutan RUU Cilaka yang marak di laman-laman media memberi kesan negatif. Ada pula yang menyebutnya sebagai UU Sapu Jagat karena banyak hal yang diatur.

Baca Juga: Omnibus Law Harus Diimplementasikan dengan Penuh Kehati-hatian 

1. Omnibus law mengatur bejibun aturan

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Istilah Omnibus, menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Oce Madril, berasal dari bahasa Latin. Istilah yang muncul pada 1820 itu menggambarkan semacam kendaraan boks yang ditarik kuda. Biasanya satu boks memuat 2-3 penumpang. Kali ini bisa diisi banyak orang karena boksnya dibuat panjang. Demikianlah gambaran ringkas Omnibus Law. Satu produk hukum yang memuat sebejibun regulasi, banyak aturan.

Ada belasan topik yang masuk di dalamnya. Persoalan lingkungan hidup, pers, pertanian, perkebunan, pertambangan, administrasi, perizinan, ketenagakerjaan, dan banyak lagi. Harus didekati dengan banyak perspektif karena banyak yang diatur.

“Boleh jadi penyusunnya lupa apa saja yang diatur,” kata Oce dalam diskusi bertema “Omnibus Law dan Korupsi Legislasi” di Kantor Pukat UGM, 26 Februari 2020 lalu.

Lantaran disusun masing-masing sektor, tak menutup kemungkinan regulasi antar sektor itu saling bertabrakan. “Mestinya saling terintegrasi,” kata Oce.

Ide omnibus law sudah lama untuk diterapkan di Indonesia. Oce adalah salah satu akademisi yang pernah diajak ikut serta mendiskusikan beberapa ide awal. Setelah itu, tak diajak lagi.

“Mungkin beda paradigma sehingga dinilai tak banyak manfaat mengundang saya,” kata Oce.

2. Bermula dari pidato pelantikan Jokowi

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Omnibus Law disebut kali pertama Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan usai pelantikan sebagai presiden untuk periode ke-2 pada 20 Oktober 2019 lalu. Ada dua undang-undang yang akan diterbitkan. UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang akan menjadi omnibus law. Artinya, satu undang-undang berisi banyak undang-undang sekaligus merevisi beberapa undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan menghambat pengembangan UMKM.

“Segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan. Harus dipangkas,” demikian Jokowi menyatakan waktu itu.

Ada 82 UU dan 1.194 pasal yang diidentifikasi akan direvisi dalam Rancangan UU Cipta Kerja. Isinya meliputi 79 undang-undang, 15 bab, dan 174 pasal. Dan draf RUU Cipta Kerja itu sudah disampaikan ke meja DPR pada 12 Februari 2020 lalu.

Sejak awal Jokowi berpidato dalam pelantikan presiden dan wakil presiden itu meninggalkan tanda tanya. Tak biasanya pidato pelantikan berisi pengumuman akan pembuatan produk undang-undang. Biasanya menarasikan gagasan, visi misi dan agenda lima tahun ke depan.

Namun periode dua kali menjabat itu, Jokowi menyampaikan hal-hal teknis pembentukan undang-undang yang mestinya cukup dilakukan para menteri yang dibentuk nanti.

“Itu pun presiden sudah yakin menyebut namanya. RUU Cipta Lapangan kerja dan RUU UMKM,” kata Oce.

Baca Juga: Tak Hanya Buruh, Omnibus Law Memberi Dampak bagi Semua (2)

Berita Terkini Lainnya