Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

4 Luka Masa Kecil yang Memengaruhi Hubunganmu dengan Keluarga

ilustrasi seorang anak sedang menangis (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Luka masa kecil membawa dampak emosional hingga dewasa, memengaruhi hubungan dengan keluarga dan orang-orang di sekitarmu.
  • Tidak semua orang tua paham bahasa cinta, menyebabkan anak merasa tidak dihargai dan sulit untuk mengutarakan perasaan serta memulai pembicaraan yang dalam.
  • Pengalaman luka masa kecil seperti sering disalahkan, dicintai dengan syarat, dan lingkungan emosional tidak stabil dapat membuat seseorang tumbuh menjadi dewasa yang cemas dan menjaga jarak dengan keluarga.

Luka masa kecil seringkali terbawa hingga dewasa. Kadang, tidak semua orang tumbuh dalam rumah yang hangat dan rasa aman. Sehingga ketika dewasa luka-luka itu muncul dalam bentuk hubungan yang renggang, sulit terbuka satu sama lain, hingga perasaan bersalah. 

Perlahan kita mulai tumbuh dengan fisik yang utuh tapi emosionalnya rapuh. Banyak menyembunyikan luka, bertahan dengan perasaan penuh emosi, dan akhirnya memilih pura-pura kuat. Berikut adalah 4 luka masa kecil yang bisa memengaruhi hubunganmu dengan keluarga, mungkin kamu pernah mengalami?

1. Luka karena tidak pernah didengarkan

ilustrasi seorang anak menangis (pexels.com/Ibraim Leonardo)

Tidak semua orang tua paham bahasa cinta. Ada yang memberinya lewat bentuk uang tapi waktunya sedikit. Ada pula yang bisa memberikan banyak waktu, tapi tidak bisa memberi apa yang anak minta. Namun, tidak sedikit orang tua yang terlalu sibuk dan menganggap suara sang anak seperti tidak penting dengan kalimat "Anak kecil tahu apa? Jangan ikut campur." 

Kalimat seperti ini justru membuat sang anak berhenti bicara. Merasa tidak dihargai, bahkan seiring bertumbuh dewasa ia tumbuh menjadi anak yang cenderung pasif. Sulit untuk mengutarakan isi hati atau hanya sekadar memulai topik pembicaraan yang dalam. Sekalinya ingin merasa dekat ia tak paham cara memulai, karena dulu tumbuh dalam lingkungan yang penuh luka.

2. Luka karena sering disalahkan dan jarang dipahami

ilustrasi orang tua marah kepada anak (pexels.com/Kaboompics.com)

Mungkin kamu pernah jarang dipahami atau bahkan sering disalahkan atas kesalahan kecil yang tidak sengaja dilakukan. Alih-alih dibantu dan dinasehati malah langsung marahi. Hal inilah yang akan membuatmu takut akan konflik. 

Saat tumbuh dewasa kamu menjadi anak sering menyalahkan diri sendiri karena sulit menetapkan batasan. Kamu ingin selalu merasa baik dan menyenangkan agar selalu dilindungi, agar orang-orang tetap berada disampingmu dan menyayangimu selalu. Padahal, kamu pantas dihargai tanpa harus selalu menyenangkan semua orang.

3. Luka karena cinta yang harus ditebus prestasi

ilustrasi anak menang lomba (pexels.com/RDNE Stock Project)

Ada beberapa orang tua yang mencintai anaknya dengan syarat. Mungkin ketika anak-anak kamu sering didoktrin "kamu harus juara 1 terus pokoknya", "nanti kalau gede harus jadi guru ya". Sering di puji dan dibanggakan karena prestasi, tapi ketika gagal mencapai ekspektasi mereka, nasihat dengan suara tinggi hingga sikap dingin akhirnya harus kamu terima.

Hal seperti ini akhirnya membuat kamu tumbuh dengan pemikiran "kamu akan dicintai ketika berhasil". Oleh karena itu jangan salahkan diri sendiri kalau kamu merasa haus validasi, sulit merasa cukup, bahkan takut ditinggalkan hanya karena kamu tidak menjadi versi terbaikmu. Bisa jadi, ini semua karena luka kecilmu yang belum sempat sembuh dan kamu belum bisa berdamai dengannya.

4. Luka karena dibesarkan dari orang tua yang emosinya meledak-ledak

ilustrasi orang tua memarahi anak (pexels.com/August de Richelieu)

Dilahirkan dari keluarga yang memiliki emosional tidak stabil kadang membuatmu merasa hancur. Kadang tenang, tapi kadang seperti di medan perang. Orang tua yang sering bertengkar, diam yang mencekam, bahkan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. 

Seringkali hal seperti inilah yang membuatmu selalu mengorbankan perasaan kamu sendiri. Belajar menjaga suasana hati mereka, yang membuat kamu akhirnya tumbuh menjadi dewasa yang gampang cemas, takut berbuat kesalahan, bahan ketakutan yang tidak jelas. Sekarang kamu pun lebih memilih untuk menjaga jarak dengan keluarga, karena takut suatu saat tempat yang kamu kira rumah akan menjadi ruang menyakitkan tanpa peringatan.

Tidak ada yang pernah meminta luka, namun kita bisa belajar untuk menyembuhkan luka-luka tersebut. Menjadi dewasa yang lebih sadar dan memilih pulih. Mengusahakan untuk punya rumah yang aman meskipun dulu kamu tumbuh dalam ketakutan. Semangat, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us