Tips Atasi Stres Jadi Burnout di Akhir Tahun Menurut Pakar UGM

- Pakar UGM menegaskan stres, burnout, dan depresi berbeda; menjelang akhir tahun, kebanyakan orang sebenarnya mengalami stres, bukan burnout.
- Burnout ditandai kelelahan fisik, emosional, dan mental sekaligus, sedangkan depresi sudah masuk gangguan klinis yang perlu penanganan profesional.
- Untuk mencegah burnout, disarankan membangun komunikasi dengan mentor serta menerapkan strategi CHANGE: challenge, hope, adaptation, network, dan growth.
Yogyakarta, IDN Times - Menjelang tutup tahun, isu kelelahan mental, fisik, hingga emosional sering kali mencuat, terutama di kalangan pekerja dan mahasiswa. Kondisi yang kerap disebut sebagai burnout ini biasanya dipicu tekanan target, masa evaluasi, hingga tuntutan menyelesaikan berbagai tanggung jawab dalam waktu berdekatan. Akibatnya, motivasi pun perlahan menurun dan rasa lelah makin sulit dihindari.
Namun, menurut pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sumaryono, tidak semua kelelahan psikologis bisa langsung dikategorikan sebagai burnout. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara stres, burnout, dan depresi agar seseorang dapat menyikapi kondisinya secara tepat dan tidak berlebihan.
1. Perbedaan stres, burnout, dan depresi

Maryono, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa burnout, stres, dan depresi adalah tiga kondisi yang tidak bisa disamakan. Burnout berada pada tingkat yang lebih serius karena melibatkan kelelahan fisik, emosional, sekaligus mental dalam waktu bersamaan. Ia menilai, keluhan yang kerap muncul di masyarakat sebenarnya lebih banyak mengarah pada stres. “Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout, karena burnout cenderung lebih parah,” ujarnya, Rabu (24/12/2025), dilansir laman resmi UGM.
Ia menjelaskan, beban kerja menjelang akhir tahun memang meningkat, terutama bagi para pekerja yang harus mengejar target dan tenggat waktu. Sementara itu, mahasiswa umumnya masih berada dalam tekanan akademik yang relatif wajar, sehingga kondisi yang mereka alami lebih tepat dikategorikan sebagai stres, bukan burnout.
Istilah burnout, lanjut Maryono, kerap keliru digunakan, terutama di kalangan anak muda. Menurutnya, tekanan ringan sering kali langsung dilabeli sebagai burnout, padahal secara psikologis kondisinya berbeda. Maryono menjelaskan, burnout ditandai dengan perasaan tidak berdaya yang mendalam.
“Kalau sakit kepala atau pusing, itu masih masuk kategori stres. Burnout benar-benar membuat seseorang merasa tidak mampu dan mengalami kelelahan berat untuk menjalani satu aktivitas, bahkan aktivitas lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, depresi berada pada level yang lebih serius karena sudah termasuk gangguan klinis. Kondisi ini, lanjutnya, memerlukan penanganan profesional dan tidak bisa disamakan dengan stres maupun burnout.
2. Pentingnya mentor dan komunikasi untuk cegah burnout

Terkait anggapan bahwa Milenial dan Gen Z lebih rentan mengalami burnout, Maryono menilai hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, perbedaannya bukan soal tingkat tekanan, melainkan pada kemampuan bertahan dan beradaptasi terhadap tekanan tersebut.
Minimnya pengalaman menghadapi situasi berat membuat daya lenting mereka masih dalam proses pembentukan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa generasi sebelumnya juga tidak luput dari tekanan—hanya saja bentuk dan konteks yang dihadapi berbeda.
“Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping atau mengatasinya,” jelasnya.
Di ranah kerja maupun akademik, ekspektasi terhadap karier dan produktivitas sangat dipengaruhi cara individu memaknai tuntutan yang ada. Maryono mencontohkan, stres bisa berubah menjadi proses yang adaptif ketika seseorang menemukan arti dari pekerjaannya. Karena itu, ia menekankan pentingnya peran mentor, baik dosen pembimbing akademik maupun atasan di tempat kerja, untuk mendampingi anak muda melalui pendekatan coaching. Menurutnya, komunikasi yang terbuka menjadi kunci agar tekanan tidak berkembang ke arah yang salah dan berujung pada burnout.
3. Strategi realistis mencegah burnout

Sebagai penutup, Maryono membagikan strategi yang dinilainya realistis untuk mencegah burnout, terutama menjelang akhir tahun, melalui pendekatan CHANGE. Metode ini mengajak individu memandang hidup sebagai challenge atau tantangan, tetap menumbuhkan hope dengan menjaga harapan, serta menerapkan adaptation lewat pengelolaan stres dan penentuan prioritas. Selain itu, penting pula membangun network dengan mencari sudut pandang dari mentor, hingga akhirnya mampu mencapai fase growth dan excellence.
Ia menekankan bahwa stres tidak semestinya disepelekan, namun juga tidak perlu dibesarkan secara berlebihan. Dengan pemahaman yang tepat, stres justru bisa diolah menjadi energi pendorong agar seseorang tetap produktif dan berkembang.


















