Graffistory dan Gerakan Mengabadikan Karya Grafiti Lewat Zine
- Mengabadikan karya lewat rilisan fisik khusus seniman jalanan Indonesia
- Zine punya keunikan dan ciri khas yang tidak bisa ditemukan lewat unggahan sosial media
- Menyadarkan bahwa siapa pun bisa merilis zine-nya sendiri
Kulon Progo, IDN Times - Bicara soal hobi, ada banyak sekali kegemaran yang ada di muka bumi ini. Mulai dari mengoleksi sepatu rilisan terbaru atau piringan hitam langka, hingga seperti Graffistory yang memilih jalan sunyi dengan merawat tumpukan kertas yang tak jarang terbuat dari warna hitam putih karena difotokopi dam berbau tinta yang kuat. Mereka bukan sekadar menumpuk kertas, melainkan sedang menyusun kepingan sejarah visual jalanan Indonesia yang sering kali dianggap angin lalu.
Hobi unik ini menjadi pernyataan bahwa coretan di tembok kota punya nyawa yang layak untuk diberi rumah permanen dalam bentuk rilisan fisik. Setiap halaman yang disimpan rapi oleh Graffistory, menyimpan gambar dan cerita-cerita unik dari writers dari seluruh Indonesia. Dan lewat dedikasi ini, mereka berhasil menjaga ingatan dan merekam detak jantung skena grafiti dari masa ke masa.
1. Mengabadikan karya lewat rilisan fisik khusus seniman jalanan Indonesia

Ia adalah Ridwan Maulana, lelaki kelahiran Imogiri, Kabupaten Bantul, yang kini merantau di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang memulai Graffistory.
"Graffistory sebetulnya adalah media grafiti yang berbasis di Jakarta yang berfokus pada pengarsipan karya cetak, misalnya buku atau majalah grafiti di Indonesia dengan writers yang juga lokal," ujar Ridwan saat ditemui sehabis mengisi workshop membuat mini zine bersama komunitas buku dan baca Sekali Duduk Reading di Kulon Progo pada Sabtu (29/12/2025).
Mengumpulkan zine-zine grafiti ini tidak cuma ia lakukan dalam setahun terakhir, melainkan bertahun-tahun lalu. Namun ketertarikan untuk mendokumentasikan dan membagikan koleksinya di media sosial memang baru dimulai sejak Maret 2024.
Menurut Ridwan, grafiti di tembok adalah sesuatu yang mudah hilang. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa para seniman jalanan perlu mendokumentasikan, bahkan mencetak karya-karyanya.
"Grafiti di tembok bisa hilang dalam hitungan hari bahkan jam karena pelakunya banyak (sedangkan) spot yang tersedia seperti jadi giliran saja, menunggu untuk di-refresh setiap saat. Sedangkan zine, kamu bisa mengabadikanya hingga kapan pun, tercetak sempurna pada sebuah kertas. Graffiti fades, but, the zine remember" Katanya.
2. Zine punya keunikan dan ciri khas yang tidak bisa ditemukan lewat unggahan sosial media

Meski kini ada kamera hingga sosial media, kecanggihan teknologi tak bisa menggantikan kesan yang didapat dari sebuah hasil cetak. Menurutnya, ada kesenangan tersendiri yang bisa didapat lewat merasakan tekstur kertas di setiap lembarnya. Apalagi masing-masing zine punya keunikan lewat pilihan kertas hingga finishing yang sedikit banyak, terpengaruh dari gaya writers-nya sendiri.
"Itu dia poinnya. Sosial media, khususnya Instagram hanya menyimpan konten, tapi tidak menyimpan konteks, foto bisa dihapus, internet bisa mati, akun bisa hilang, tapi zine? Dari masa ke masa tetap ada, tidak bergantung pada jaringan internet," ucap Ridwan.
Ridwan mengaku tidak punya kriteria khusus tentang zine seperti apa yang ia koleksi. Namun satu hal yang pasti, ia hanya mengoleksi zine dari writers Indonesia.
"Kami tidak ingin ada gatekeeping di grafiti karena semua orang punya kesempatan yang sama, semua orang berhak untuk merilis zine nya sendiri. Kami juga berusaha untuk tidak bergabung ke kelompok-kelompok tertentu. Graffistory hadir untuk menjadi wadah seluruh zine grafiti dari Indonesia," ungkap Ridwan.
3. Menyadarkan bahwa siapa pun bisa merilis zine-nya sendiri

Menyadari bahwa grafiti adalah sesuatu yang sensitif, Ridwan justru mengajarkan bahwa melalui zine, semua bisa diterima tanpa khawatir soal tabu.
"Sejak awal, grafiti memang lahir dari vandalisme, tapi yang membedakan adalah konten yang disajikan masing-masing beragam dan beberapa karya ada yang kurang sesuai buat tayang di media. Maka dari itu, cetak zine adalah solusinya, setiap writers bisa mencetak isu atau foto yang sensitif melalui zine tanpa harus takut," ujar Ridwan.
Ia juga mengungkapkan bahwa biasanya para penikmatnya punya semacam kode etik tak tertulis bahwa 'apa yang ada di dalam zine, biarkan tetap ada di dalam zine'. Dan menurutnya, ini menjadi keunggulan zine yang tak bisa dimiliki oleh media lain.
4. Tak sekadar dikoleksi, zine di tangan Graffistory dipamerkan lewat program MBG

Sejauh ini, Ridwan mengaku banyak terbantu lewat kiriman zine dari seniman-seniman yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri. Bahkan yang terjauh, ia pernah mendapat kiriman zine dari Belanda.
Zine yang dikoleksi Ridwan tidak hanya sekadar jadi penghuni rak dalam kamarnya, tapi ia kerap dibawanya untuk kegiatan showcase yang sudah dilakukannya setahun terakhir baik di seputar Jabodetabek dan Yogyakarta lewat gerakan bikinannya yang disebut MBG atau Membaca Buku Grafiti.
Koleksinya mungkin sudah ratusan dengan berbagai bentuk, warna, ukuran, dan isi. Meski begitu, ia merasakan ada semacam perasaan terobsesi pada beberapa judul zine yang kini belum dimilikinya.
"Lebih ke zine yang rilis sebelum tahun 2015-an, karena pasti quantity-nya pada masa itu dicetak terbatas, dan karena belum massive sosial media. Kita jadi tidak tahu siapa saja yang punya zine itu, harus sering-sering ngulik aja supaya dapat info rilisan zine lama walau belum tentu juga si pemilik zine ingin menjualnya karena mereka ingin koleksi juga". Kata Ridwan mengakhiri percakapan.
Berkat hobi uniknya ini, ia sering diundang untuk mengisi workshop pembuatan zine, mulai dari tema grafiti hingga topik menarik lainnya. Tak jarang ia membagikan edukasi tentang zine melalui media sosial @graffistory yang kini pengikutnya mencapai lebih dari 6.000 di Instagram. Melihat keseruannya, apakah kamu mulai tertarik untuk mengoleksi zine juga?


















