Remaja Laki-laki Bukan Tak Bercerita, tapi Pilih-Pilih Teman Bicara

- Omongan kritik sering datang dari keluarga, membuat remaja merasa dihakimi dan terluka.
- Kurangnya pengertian dari orang dewasa menimbulkan sakit hati pada remaja yang merasa dianggap tak cakap menyelesaikan masalah.
- Remaja memilih untuk memilah masalah apa yang bisa dibagi kepada siapa, dengan beberapa di antaranya lebih percaya kepada teman atau pacar ketimbang keluarga.
Yogyakarta, IDN Times - Fenomena "laki-laki tidak bercerita" belakangan ini mencuat di media sosial. Maraknya tren tersebut berakar dari sigma budaya maskulinitas di mana laki-laki dianggap "lemah" jika curhat atau menunjukkan emosi.
Iritnya lelaki dalam bicara ternyata tak cuma diamini oleh mereka yang sudah dewasa. Banyak remaja merasa lebih baik tak umbar kisah, memilih satu-dua orang terdekat dan terpercaya untuk menampung keluh kesahnya. Di usia yang masih belia, mereka menyadari bahwa tak semua hal harus dibagi sesulit apa pun yang dirasakan.
1. Omelan kerap datang dari orang terdekat

Keluarga menjadi orang terdekat yang paling sering ngomel menurut Kaka (18) dan Ahmed (19). Saat diwawancarai via WhatsApp pada Jumat (20/6/2025), keduanya bercerita kalau masing-masing dari mereka kerap dikira tak bertanggung jawab atas tugas rumah.
"Ka, kamu ya yang makan tapi piringnya gak ditaruh belakang!” kata Kaka meniru omelan saudaranya. Meski begitu, Kaka mengaku tak ambil pusing atas apa yang dituduhkan tersebut. "Soalnya sudah sering diomelin karena hal-hal kecil seperti itu," tambahnya.
Tak jauh berbeda dengan Ahmed yang diberi tugas menyapu halaman rumah oleh keluarga. Kala itu ia kena semprot ibunya gegara dikira mangkir.
"Walaupun saya sebal saya tidak berani membantah, takut dicap sebagai anak durhaka. Saya juga tidak suka berdebat," kata cowok bernama lengkap Ahmad Hibban Aunur Rahman ini. Alih-alih mendebat, remaja asal Kulon Progo memilih buat kembali menyapu untuk meredam marah ibunya.
2. Kurangnya pengertian menimbulkan sakit hati

Orang dewasa sering merasa superior terhadap remaja seperti Kaka dan Ahmed. Usia yang sudah menginjak belasan tahun ini dianggap tak cukup paham kehidupan serta tak cakap menyelesaikan masalah.
Ahmed bercerita kalau ia sering sakit hati jika yang ia dianggap tak peduli dan tak peka pada permasalahan yang dihadapinya. "Mereka menganggap seperti saya tidak peka atau seperti tidak mau menyelesaikan masalah tersebut, padahal saya diam karena sedang berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut," tuturnya.
Sementara, Kaka yang baru lulus dari sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di Wates mengungkapkan jika tak sering ada kalimat yang membuatnya terluka. Namun justru intonasi tinggilah yang kadang membuat dia sakit hati dan jengkel.
3. Remaja memilih buat memilah masalah apa dan kepada siapa mereka bercerita

Ahmed dan Kaka bukan tidak bercerita, tapi mereka memilah siapa dan masalah apa yang bisa dibagi pada orang lain.
Ahmed mengatakan, ia tak membagi semua hal yang terjadi di hidupnya. "Jika bercerita kepada keluarga, terutama ibu, saya akan menceritakan bahwasanya permasalahan tersebut adalah hal yang sangat ringan bagi saya, dan tidak akan membuat saya kenapa-napa. Intinya saya tidak ingin keluarga, terutama ibu merasa khawatir terhadap saya," ujarnya.
Jarangnya bercerita membentuk diri Ahmed yang sulit untuk mengatakan hal yang tidak disukainya. "Saya takut menyinggung perasaan orang lain. Jika saya menyukai sesuatu saya akan menyampaikannya karena saya percaya hal tersebut akan membuat orang lain senang," ucap dia.
Sedangkan Kaka, mengaku lebih percaya kepada teman atau pacar ketimbang keluarga sebagai tong sampah kisah hidupnya. "Karena (mereka) bisa saling mengerti dan paham dengan masalahku. Mereka juga bisa memberikan solusi yang kucari," kata Kaka.
Namun di satu sisi, ia juga mengaku sebagai pribadi yang terbuka. Kaka tak sungkan mengatakan apa yang tidak disukai dan yang disukainya, terlebih jika itu adalah orang terdekat.
4. Menelan masalah sendiri jadi makanan sehari-hari

Fenomena 'Laki-laki Tidak Bercerita' menurut Ahmed adalah hal yang lumrah. Ia yang juga baru lulus sekolah menengah atas ini berujar kalau ia adalah salah satu dari banyaknya remaja pria yang memilih diam dengan masalahnya. Bukan menutup diri, tapi menurutnya, ia hanya ingin memikirkan dan menyelesaikannya secara matang sehingga tak mengorbankan orang lain.
Pun dengan Kaka, ia bisa dan suka menceritakan kegiatan atau hal-hal menarik yang terjadi sehari-hari di hidupnya. Namun lagi-lagi, ia memilih menelan masalah pribadinya sendiri.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 75 persen dari total angka bunuh diri di dunia setiap tahunnya adalah laki-laki. Berdasarkan data WHO Global Suicide Estimates 2019, rasio bunuh diri pada pria di Indonesia mencapai 4,0 per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan yang berada di angka 1,2 per 100.000.
Sementara, data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022, survei nasional pertama yang meneliti prevalensi gangguan mental pada remaja berusia 10 hingga 17 tahun di Indonesia, mencatat bahwa satu dari tiga remaja mengalami masalah kesehatan mental. Selain itu, satu dari dua puluh remaja tercatat mengalami gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Oleh karena itu, konten semacam 'Lelaki Tidak Bercerita' mestinya tak menjadi tren di mana laki-laki, baik dewasa, remaja, maupun anak, merasa harus mengikutinya. Sebab, budaya maskulinitas toksik yang berakar dapat meningkatkan perasaan keterasingan hingga berdampak pada kesehatan mental. Padahal, baik lelaki ataupun perempuan, berhak mendapat sokongan secara emosional yang bisa dibangun lewat berbagi perasaan.