Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Suplemen Berlebih Bisa Ganggu Saraf, Ini Kata Pakar Kesehatan UMY

ilustrasi suplemen kunyit (freepik.com/freepik)
ilustrasi suplemen (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Tidak semua vitamin diproses dengan cara yang sama, ada yang larut lemak dan ada yang larut air
  • Suplemen sintetis dalam dosis tinggi bisa ganggu sistem saraf dan efek jangka panjang
  • Suplemen seharusnya hanya digunakan dalam kondisi khusus, tidak sebagai pengganti pola makan sehat

Dalam beberapa waktu terakhir, kasus keracunan akibat suplemen dosis tinggi kembali menjadi sorotan. Salah satunya terjadi di Australia dan melibatkan dua produk populer yang mengandung vitamin B6 dalam jumlah tinggi, sehingga memunculkan potensi efek toksik. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang tampak menyehatkan aman dikonsumsi tanpa batas.

Masyarakat sering kali percaya bahwa mengonsumsi banyak vitamin dapat membuat tubuh lebih sehat. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Ketika tubuh menerima asupan vitamin secara berlebihan terutama dari suplemen sintetis dampaknya bisa sangat berbahaya, termasuk bagi sistem saraf.

1. Tidak semua vitamin diproses dengan cara yang sama

ilustrasi vitamin (unsplash.com/Kayla Maurais)
ilustrasi vitamin (unsplash.com/Kayla Maurais)

Pakar Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Global dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dr. April Imam Prabowo, menjelaskan bahwa tubuh manusia memang memerlukan 13 vitamin esensial. Namun, tidak semua vitamin diproses dengan cara yang sama.

“Vitamin A, D, E, dan K bersifat larut lemak, sehingga kelebihannya akan disimpan dalam hati, jaringan lemak, dan otot untuk waktu yang lama. Sementara vitamin B dan C larut dalam air, sehingga kelebihannya umumnya akan dikeluarkan melalui urine, kecuali B12 yang dapat disimpan dalam hati hingga bertahun-tahun,” jelas dr. April dilansir laman resmi UMY.

2. Bisa sebabkan gangguan saraf hingga efek jangka panjang

ilustrasi otot (unsplash.com/Alan Calvert)
ilustrasi otot (unsplash.com/Alan Calvert)

Yang jadi masalah adalah ketika suplemen sintetis dikonsumsi dalam dosis jauh di atas kebutuhan harian. Misalnya vitamin B6 yang seharusnya hanya 1,3–1,7 mg per hari, namun dalam beberapa produk suplemen bisa mengandung puluhan kali lipat dari jumlah tersebut.

“Kebutuhan harian vitamin B6 untuk orang dewasa hanya sekitar 1,3 hingga 1,7 mg. Namun, ada suplemen yang mengandung puluhan kali lipat dari angka tersebut,” ujarnya.

Tubuh memiliki keterbatasan dalam membuang kelebihan vitamin sintetis, terutama untuk jenis tertentu seperti vitamin B6. Penumpukan vitamin B6 buatan dalam jumlah tinggi dapat menimbulkan gangguan sistem saraf perifer, yang menyebabkan sensasi kesemutan hingga kelemahan otot.

Jika vitamin B6 saja yang tergolong larut air bisa merusak sistem saraf, apalagi vitamin larut lemak seperti A, D, E, dan K yang lebih sulit dibuang dari tubuh. Ini menjadi bukti bahwa konsumsi suplemen tidak boleh sembarangan tanpa panduan profesional.

3. Suplemen bukan pengganti pola makan sehat

ilustrasi suplemen (unsplash.com/Daniel Dan)
ilustrasi suplemen (unsplash.com/Daniel Dan)

dr. April menegaskan, suplemen seharusnya hanya digunakan dalam kondisi khusus seperti kehamilan atau kekurangan vitamin tertentu berdasarkan diagnosis medis. Dalam kondisi normal, kebutuhan vitamin sebetulnya bisa dipenuhi dari pola makan seimbang dan bergizi.

“Sumber terbaik vitamin tetap dari makanan alami. Pola makan seimbang dan bervariasi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa beberapa produk suplemen sengaja diformulasikan dengan dosis tinggi tanpa edukasi yang memadai dari pihak produsen. Tak heran, kasus “urine mahal” istilah untuk suplemen yang akhirnya hanya terbuang lewat urine tanpa manfaat masih kerap terjadi.

Sebagai upaya pencegahan, masyarakat disarankan untuk lebih cermat memilih produk kesehatan. Anjuran Cek KLIK dari BPOM yang meliputi pengecekan Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa—wajib diperhatikan sebelum membeli suplemen. “Jika merasa ragu, segera konsultasikan dengan tenaga kesehatan. Jangan ragu juga untuk melaporkan produk mencurigakan melalui layanan HALOBPOM 1500533,” imbuh dr. April.

Lebih lanjut, ia mendorong pemerintah untuk memperketat regulasi suplemen, termasuk membatasi kadar kandungan dan memastikan label peringatan yang jelas.

“Saya rasa perlu ada survei nasional berkelanjutan untuk memantau pola konsumsi suplemen di masyarakat. Kita bisa belajar dari kasus di Australia, bahwa regulasi yang kuat pun bisa melemah jika pengawasan dan edukasi publik tidak berjalan seimbang,” pungkasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us