Gendhing Raja Manggala, Lantunan Gamelan saat Sultan HB X Temui Demonstran

- Gendhing Keraton Jogja adalah iringan musik khas dari tabuhan suara gamelan yang memiliki lantunan sendiri untuk setiap upacara di Keraton Yogyakarta.
- Jenis-jenis Gendhing Kurmat Dalem, seperti Prabu Mataram dan Sri Kondur, digubah oleh KRT Wiroguno pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
- Gendhing Raja Manggala diputar saat Sultan HB X menemui pendemo di Polda DIY, mengartikan bahwa Sultan menganggap para pendemo sebagai tamunya yang terhormat.
Pada malam aksi unjuk rasa di Mapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (29/8/2025), ada momen menarik ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X hadir dan menemui massa dengan diiringi lantunan gendhing. Kehadiran Sultan bersama musik tradisional Jawa ini pun membuat banyak orang penasaran, apa sebenarnya gendhing yang diputar dan makna di baliknya.
Ternyata, bukan sembarang lagu yang dimainkan. Gendhing tersebut adalah Gendhing Raja Manggala yang merupakan salah satu dari Gendhing Kurmat Dalem. Gendhing ini khusus diperdengarkan pada momen-momen tertentu. Jadi, biar gak penasaran, simak penjelasannya berikut ini!
1. Apa itu gendhing Keraton Jogja?

Dikutip laman resmi Keraton Yogyakarta, gendhing merupakan iringan musik khas yang dihasilkan dari tabuhan suara gamelan. Setiap upacara di Keraton Yogyakarta, memiliki lantunannya sendiri. Misalnya Gendhing Pahargyan atau yang artinya perayaan, di mana gendhing jenis ini diperdengarkan untuk mengiringi upacara perayaan, seperti pernikahan, khitanan, tetesan, menyambut tamu dan lain sebagainya.
Ada juga yang disebut Gendhing Kurmat Dalem yang menurut laman sama dilantunkan khusus untuk menghormati Sri Sultan saat beliau miyos dalem atau berjalan keluar dari kediaman untuk menghadiri upacara adat atau menyambut tamu di keraton, dan Jengkar Dalem, beranjak dari dhampar atau singgasana untuk kembali ke kediaman atau kondur kedhaton.
2. Jenis-jenis Gendhing Kurmat Dalem

Ada beberapa jenis Gendhing Kurmat Dalem atau gendhing penghormatan, yang dua di antaranya, Prabu Mataram dan Sri Kondur, telah digubah oleh KRT Wiroguno, seorang ahli karawitan di era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).
Gendhing-gendhing tersebut adalah:
Gendhing Prabu Mataram yaitu gendhing penghormatan yang mengiringi miyos Sri Sultan. ‘Prabu’ sendiri artinya adalah raja dan ‘Mataram’ adalah Kerajaan Mataram yang merupakan dinasti cikal bakal Keraton Yogyakarta. Umumnya Gendhing ini dibunyikan saat Sri Sultan miyos tanpa didampingi siapa pun.
Gendhing Tedhak Saking adalah gendhing yang dimainkan untuk mengiringi Sri Sultan saat jengkar. Nah, arti dari ‘Tedhak Saking’ adalah ‘beranjak dari’ sehingga ketika Sri Sultan telah beranjak dari singgasana, maka Abdi Dalem Wiyaga (penabuh gamelan) segera melantunkan Gendhing Tedhak Saking sampai selesai.
Gendhing Sri Kondur juga dilantunkan untuk mengiringi Sri Sultan jengkar. ‘Sri’ yang berarti raja dan ‘kondur’ berarti pulang. Abdi Dalem Wiyaga akan dengan segera memainkan gamelan, melantunkan Gendhing Sri Kondur sampai selesai jika Sri Sultan telah beranjak dari singgasana.
3. Apa itu Gendhing Raja Manggala?

Selain ketiga gendhing di atas, ada Gendhing Raja Manggala yang diputarkan kala Sri Sultan HB X menemui pendemo di Polda DIY lalu. Gendhing yang dimainkan saat Sultan sedang miyos tersebut memiliki arti pemimpin atau raja utama. Gendhing Raja Manggala mengalun ketika Sri Sultan miyos untuk menerima tamu kerajaan.
Momennya adalah saat Sri Sultan hadir untuk menerima tamu kerajaan, kemudian seorang Abdi Dalem akan berseru “Rausss!” dan Gendhing Raja Manggala segera mengalun. Gendhing tersebut dimulai dengan buka bonang, dilantunkan dengan irama I pada bagian umpak gendhing, dan berubah rep menjadi irama II ketika Sri Sultan telah lenggah dhampar.
Setelah itu bagian ngelik dilantunkan dengan syair koor sampai suwuk atau yang artinya berhenti. Gendhing ini dibunyikan secara soran dan lirihan. Selain itu, Gendhing Tedhak Saking akan berperan sebagai penutup dan menjadi satu rangkaian dengan Gendhing Raja Manggala sebagai pembuka.
Dari dimainkannya Gendhing Raja Manggala saat Sri Sultan HB X menemui massa, banyak yang mengartikan bahwa Sultan menganggap para pendemo sebagai tamunya yang terhormat. Selain itu, gendhing tersebut pun menjadi cara dari sang Raja Yogyakarta menenangkan suasana panas malam itu. Namun yang pasti, ini adalah bukti bahwa Keraton Jogja masih menjaga tradisi budaya yang telah mengakar sejak dulu. Setuju?