Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sejarah Gereja Katolik Kotabaru, saat Penjajahan Jepang Dijadikan Gudang

Suasana Misa Agung di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru, Yogyakarta, Kamis (5/9/2024). (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Suasana Misa Agung di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru, Yogyakarta, Kamis (5/9/2024). (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Intinya sih...
  • Gereja Katolik Kotabaru berdiri sejak masa penjajahan Belanda di Yogyakarta
  • Pembangunan gereja dimulai pada tahun 1920-an oleh Romo Fransiskus Strater, SJ
  • Saat Jepang menjajah Indonesia, gereja beralih fungsi sebagai gudang dan kegiatan beribadah terganggu
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pada masa penjajahan, kawasan Kotabaru merupakan area perumahan bagi kalangan menengah Belanda. Bukti peninggalan era tersebut masih dapat dilihat hingga kini, salah satunya adalah rumah bersejarah berarsitektur Indis yang berada di salah satu kawasan elite di Kota Yogyakarta.

Salah satu jejak terpenting adalah Gereja Katolik Santo Antonius Padua, yang lebih dikenal sebagai Gereja Katolik Kotabaru. Gereja yang megah dan terletak di Jalan Abu Bakar Ali nomor 1 ini sudah berusia lebih dari satu abad dan berperan sebagai saksi sejarah berbagai peristiwa penting di Yogyakarta. Inilah kisah menarik Gereja Katolik Kotabaru, yang tetap berdiri kokoh sejak masa kolonial.

Awal mula pembangunan Gereja Katolik Kotabaru

Babon ANIEM yang ada di Kotabaru ini dibangun sekitar tahun 1918 dan berfungsi sebagai pengatur dan pembagi daya listrik di kawasan Kotabaru yang hingga saat ini masih dijaga. (Dok. Istimewa)
Babon ANIEM yang ada di Kotabaru ini dibangun sekitar tahun 1918 dan berfungsi sebagai pengatur dan pembagi daya listrik di kawasan Kotabaru yang hingga saat ini masih dijaga. (Dok. Istimewa)

Pada tahun 1900-an, tak banyak orang Katolik bermukim di Kotabaru. Saat itu, Kotabaru masih berupa kampung yang dihuni pribumi. Tahun 1920, dimulai rancangan kawasan Kotabaru sebagai tempat tinggal orang Belanda di Kota Yogyakarta, warga kampung yang sebelumnya berdiam di tempat tersebut mendapatkan ganti rugi.

Sebelum itu, tepat tahun 1918, hadir seorang romo bernama Fransiskus Strater, SJ. Melansir laman milik Gereja Katolik Santo Antonius, Romo Strater melakukan berbagai pendekatan dimulai dengan menyewa sebuah rumah milik Tuan Perquin. Saat ini lokasinya berada tepat di depan Masjid Syuhada. Rumah tersebut dijadikannya sebagai tempat mengajar agama, novisiat, sekaligus tempat beribadah.

Kedua, Romo Strater mendirikan sebuah pembinaan Jesuit yang diberi nama Kolese Santo Ignatius (Kolsani). Dikutip laman Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, pada 18 Agustus 1922, Kolsani dilengkapi dengan kapel yang terbuka untuk umum.

Keberadaan Kolsani tersebut menambah berbagai agenda karya pewartaan hingga pengikut Katolik kian bertambah. Hal ini membuat jumlah anggota Jesuit dan jemaat kian bertambah. Sementara kapasitas Kolsani kurang mencukupi.

Romo Starter akhirnya memutuskan membangun gereja yang lebih besar dengan bantuan dari donatur asal Belanda dengan syarat diberi nama Santo Antonius van Padua, nama yang sama dengan gereja di Muntilan dan Purbayan, Solo, karena berasal dari pendanaan yang sama.

Gereja Katolik Kotabaru pada masa penjajahan Jepang

Iluastrasi Gereja Katolik Kotabaru (facebook.com/gerejakatolik)
Iluastrasi Gereja Katolik Kotabaru (facebook.com/gerejakatolik)

Saat Jepang menjajah Indonesia, Gereja Katolik Santo Antonius Padua Kotabaru tak luput dari serangan. Tahun 1942-1945, para romo serta biarawan-biarawati dari Belanda dibawa dan dimasukkan dalam kamp tahanan. Kolsani menjadi tempat tahanan bagi para suster dan perempuan Belanda.

Gereja beralih fungsi sebagai gudang, hingga kegiatan beribadah pun terganggu dan dialihkan di Widyamandala dan kawasan Kumetiran (yang terletak di barat Malioboro) dengan membeli sebuah rumah kuno berbentuk joglo. Tak sedikit tenaga gerejani ditahan hingga dibentuklah kring-kring (kelompok) di setiap kampung yang sejatinya sudah ada sejak 1938, dan berkembang pesat sesudah Jepang datang.

Gereja Katolik Kotabaru setelah Indonesia merdeka

Ilustrasi Gereja Katolik Kotabaru
Ilustrasi Gereja Katolik Kotabaru (parokikotabaru.org)

Saat momen kemerdekaan Indonesia, Jepang mundur dan seluruh bangunan yang pernah diduduki dikembalikan. Kegiatan dalam gereja berangsur pulih, sedangkan rumah joglo di Kumetiran dijadikan Gereja untuk Paroki Kumetiran.

Di saat Agresi Militer Belanda II, tepatnya 19 Desember 1948 – 29 Juni 1949, Belanda kembali menduduki Kota Yogyakarta, kegiatan beribadah di gereja tetap berjalan seperti biasa.

Di tahun 1950, di saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, gereja dapat beroperasi dengan tenang. Menurut Romo G. de Quay, SJ, tahun 1953-1958 adalah masa konsolidasi. Banyak usaha pendidikan yang berkembang bekerja sama dengan badan lain seperti SD Kanisius Kotabaru, Demangan, Sorowajan, SD dan SMP Baciro, SMA dan SPG Stella Duce, SMA Kolese de Britto, IKIP Sanata Dharma tahun 1955.

Selain Gereja Katolik Kotabaru, beberapa tempat bersejarah di kawasan Kotabaru juga masih megah berdiri, antara lain Museum Sandi, Museum TNI AD yang dulu sebagai markas penting saat Jepang menduduki Jogja, serta SMA Padmanaba, SMPN 5 dan SMA Bopkri Satu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
Dyar Ayu
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Dyar Ayu
EditorDyar Ayu
Follow Us

Latest Life Jogja

See More

Yogyakarta Marriott Hotel Gandeng Rumah Kecantikan Terkemuka Prancis

30 Okt 2025, 09:34 WIBLife