Blangkon Gaya Jogja: Bentuk, Motif beserta Fungsi dan Maknanya

Jogja dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa yang kaya tradisi dan nilai-nilai luhur. Beragam produk budaya lahir dan berkembang, termasuk pakaian adat yang punya makna mendalam.
Salah satunya adalah blangkon, yaitu penutup kepala sekaligus pelengkap busana adat laki-laki masyarakat Jawa. Keunikan bentuk dan motifnya membuat blangkon menarik untuk dipelajari. Di balik keindahannya, ternyata ada fungsi dan maknanya. Berikut uraiannya.
1.Penutup kepala tradisional laki-laki Jawa yang sarat makna

Sebagai pelengkap busana adat kaum laki-laki Jawa, blangkon lebih dari aksesori karena menjadi simbol identitas pemakainya yang mencerminkan status sosial seseorang. Konon, pengguna blangkon jadi pembeda antara warga biasa dengan kaum bangsawan.
Kehadiran blangkon masih terpengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang berkembang di Jawa. Menurut sejarahnya, para pedagang Gujarat kerap mengenakan sorban, ini menjadi inspirasi cara berpakaian masyarakat Jawa yang mulai menggunakan kain sebagai penutup kepala.
Nah, karena menggunakan kain untuk menutup kepala dirasa rumit, untuk mempersingkat waktu terciptalah blangkon seperti yang dipakai saat ini.
2.Ciri khas bentuk blangkon Jogja

Blangkon Jogja memiliki kekhasan dalam bentuknya yang jadi pembeda dari daerah lain. Dalam buku Pakaian Adat Tradisional Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditulis Wibowo, dkk dijelaskan, ciri yang mencolok terlihat dari mondholan atau tonjolan di bagian belakang. Bentuknya seperti telur itik, yang sering diibaratkan menyerupai tembolok ayam yang penuh makanan.
Bagian atas blangkon gaya Jogja memiliki wiron, lipatan kain yang susunannya terlihat rapi. Arah lipatannya menyamping dengan bagian kiri dan kanan dilipat ke atas.
Blangkon Jogja juga memiliki bagian yang disebut sinthingan. Letaknya di sebelah kiri kanan mondholan dan bentuknya menyerupai daun. Dulunya, bentuk sinthingan menunjukkan status sosial pemakainya, ada beda antara rakyat dengan kaum ningrat. Namun, seiring waktu perbedaannya gak terlalu mencolok, bahkan terlihat sama saja.
3.Motif blangkon Jogja: Perbedaan dari setiap golongan pemakainya

Blangkon memiliki nilai filosofis yang mencerminkan status sosial pemakainya. Berdasarkan dalam jurnal berjudul Makna Blangkon Yogyakarta sebagai Simbol Status pada Film Dokumenter Iket Sirah, karya Hantoro dkk, berikut motif-motif beserta golongan pemakainya.
1. Golongan bangsawan yang terdiri dari sultan, keluarga sultan, serta kerabat kerajaan lainnya mengenakan motif wirasat, trumtum, dan modang.
- Motif wirasat melambangkan harapan agar pemakainya mampu mencapai kedudukan tertinggi, hidupnya mandiri, dan diberkahi.
- Motif Trumtum seperti bunga kecil yang tersebar punya makna tentang kehidupan yang tak lepas dari suka duka, kaya miskin, dan seseorang harus siap menghadapi segala keadaannya.
- Motif Modang dengan ornamen menyerupai lidah api menjadi simbol kekuatan dan kebijaksanaan. Motif ini mengingatkan bahwa seseorang harus bisa menaklukkan nafsu dalam dirinya.
2. Golongan priyayi adalah mereka yang berada di posisi tengah mencakup abdi dalem keraton, pegawai kepatihan, hingga pegawai pemerintahan. Masyarakat yang masuk golongan ini menggunakan blangkon dengan motif celengkewengan, gaya nyobis dan njebeh.
- Motif celengkewengan memiliki ragam hias komonde dan umpak, ini melambangkan keberanian, kejujuran, dan sifat apa adanya.
- Blangkon gaya nyobis dengan bentuk sinthingan-nya lebih lebar mengitari mondholan, biasanya digunakan dalam upacara resmi, atau oleh penari dalam pertunjukan tari gagahan seperti perang-perangan dan wayang orang.
- Gaya njebeh dengan bentuk melebar terbuka ke kiri dan kanan, biasanya dikenakan oleh abdi dalem kadipaten sebagai pakaian resmi.
3. Golongan rakyat yang terdiri dari buruh, petani dan pedagang, bentuknya lebih sederhana yaitu gaya menduran, kamicucen, dan nyinting.
- Gaya menduran modelnya tidak permanen, dan cara pemakaiannya juga mudah yaitu dengan melilitkannya pada kepala. Biasanya yang memakai gaya ini adalah para petani dan masyarakat pedesaan karena nyaman sekaligus praktis, sehingga mendukung kegiatan harian pemakainya.
- Gaya kamicucen memiliki sinthingan kecil dan ukurannya simetris. Pemasangan sinthingan ada di bagian mondholan. Kebanyakan dipakai oleh para sesepuh, tapi bisa juga dikenakan anak muda, namun ukuran sinthingan-nya lebih besar.
- Gaya nyinting, sinthingan-nya diikat kuat dan dilekok pada sebelah kiri dan kanan. Blangkon gaya ini punya keunikan tersendiri yaitu, kalau pemakainya dari golongan orang biasa, maka sinthingan bagian kiri ditarik ke bawah, sehingga posisinya gak seimbang, orang Jawa biasa menyebutnya sengkleh siji.
Blangkon gaya Jogja menjadi warisan budaya yang sarat makna. Bentuk dan motifnya menunjukkan tingkat kedudukan seseorang di masyarakat. Seiring perkembangan zaman, blangkon tetap lestari dan banyak diminati sebagai aksesori kepala.
Penggunaannya di luar keraton juga lebih fleksibel, namun pakem atau tertentu tetap dijaga terutama dalam lingkungan istana Jogja. Inilah yang bikin makin bangga, karena blangkon masih punya tempat di hati masyarakat dalam kehidupan modern seperti saat ini yang masih menjaga kearifan lokal.