Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tanda Pekerjaan yang Kelihatan Keren Tapi Gak Sustainable, Pahami

illustrasi perusahaan startup (pexels.com/Kindel Media)
illustrasi perusahaan startup (pexels.com/Kindel Media)
Intinya sih...
  • Pekerjaan yang mengikuti tren musiman rentan terganggu jangka panjangnya
  • Pekerjaan freelance tanpa struktur pengembangan karier bisa membuat kariernya stagnan
  • Jam kerja yang eksploitatif dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era media sosial seperti sekarang, banyak pekerjaan terlihat memesona dari luar. Pekerjaan yang berkaitan dengan dunia kreatif, teknologi, hingga gaya hidup sering kali terlihat glamor, penuh kebebasan, dan mampu membuka akses ke berbagai peluang menarik. Namun, di balik citra keren yang ditampilkan, gak semua pekerjaan tersebut benar-benar punya masa depan jangka panjang yang stabil. Ada faktor-faktor tersembunyi yang sering kali diabaikan demi mengejar citra yang terlihat keren secara kasat mata.

Sustainability atau keberlanjutan dalam pekerjaan bukan cuma soal gaji besar atau kantor yang fancy. Tapi lebih pada kestabilan jangka panjang, peluang pengembangan diri, serta keseimbangan hidup yang sehat. Sayangnya, banyak orang justru terjebak dalam pekerjaan yang dari luar tampak mengesankan, padahal menyimpan risiko besar bagi kesehatan mental, keuangan, maupun masa depan karier secara umum. Berikut lima tanda pekerjaan yang meskipun terlihat keren, sebenarnya gak sustainable.

1. Terlalu bergantung pada tren yang cepat berubah

ilustrasi travel content creator (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi travel content creator (freepik.com/tirachardz)

Pekerjaan yang mengikuti tren musiman, seperti content creator viral atau spesialis platform tertentu, memang terlihat sangat menarik. Tapi ketika basis pekerjaan hanya bertumpu pada tren sesaat, maka peluang jangka panjangnya jadi rapuh. Dunia digital bergerak sangat cepat, platform bisa hilang pamornya, algoritma bisa berubah, dan audiens bisa beralih minat tanpa peringatan. Ketika fondasi karier hanya dibangun di atas tren, maka cepat atau lambat kestabilannya akan terguncang.

Orang yang bekerja dalam ekosistem ini sering kali dituntut untuk terus relevan dan berinovasi dalam tempo cepat, tanpa jeda. Hal ini dapat memicu kelelahan mental yang kronis, karena tuntutan eksistensi tidak pernah berhenti. Ketika tren meredup, banyak yang akhirnya kehilangan penghasilan utama atau harus membangun ulang reputasi dari nol. Itulah kenapa pekerjaan yang terlalu bergantung pada tren bukanlah pilihan yang sustainable.

2. Minim struktur pengembangan karier

illustrasi kerja remote (unsplash.com/Lasse Jensen)
illustrasi kerja remote (unsplash.com/Lasse Jensen)

Pekerjaan yang terlihat bebas dan fleksibel sering kali memikat hati, tapi di balik itu bisa saja gak punya jalur karier yang jelas. Misalnya, pekerjaan freelance atau proyek jangka pendek yang gak menawarkan jenjang karier, pelatihan, atau dukungan pengembangan diri. Ketika seseorang terus berada dalam posisi yang sama selama bertahun-tahun tanpa ada peningkatan kemampuan maupun tanggung jawab, maka besar kemungkinan kariernya akan stagnan.

Tanpa adanya struktur pengembangan yang konkret, seseorang juga rentan tersingkir dari pasar kerja yang semakin kompetitif. Di saat orang lain terus berkembang, mereka yang bertahan di zona nyaman bisa tertinggal jauh. Pekerjaan yang sustainable idealnya memberi kesempatan untuk naik kelas, bukan sekadar menyelesaikan tugas demi tugas tanpa arah yang jelas. Kalau satu-satunya peningkatan yang ditawarkan cuma jumlah klien atau exposure, maka itu adalah sinyal bahaya.

3. Jam kerja gak jelas dan cenderung eksploitatif

ilustrasi startup environment (freepik.com/freepik)
ilustrasi startup environment (freepik.com/freepik)

Bekerja di industri yang terkenal hustle culture seperti startup, agency, atau kreatif sering kali membuat seseorang merasa keren. Apalagi kalau kantornya estetik, punya ruang santai, atau event seru tiap bulan. Tapi, jika jam kerja gak jelas, sering lembur tanpa kompensasi, dan selalu dikejar deadline tanpa waktu istirahat yang layak, maka pekerjaan itu sejatinya gak sehat untuk jangka panjang.

Lama-lama, gaya hidup seperti ini menggerus energi, produktivitas, dan akhirnya berdampak ke kesehatan fisik maupun mental. Kalau gak hati-hati, bisa saja pekerjaan seperti ini membuat seseorang kelelahan sampai akhirnya kehilangan semangat kerja sepenuhnya. Sustainable job bukan tentang seberapa keren kantornya, tapi seberapa baik ia menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Kalau batas profesional dan personal terus kabur, maka pekerjaan itu patut dipertanyakan keberlanjutannya.

4. Gak ada perlindungan atau benefit jangka panjang

illustrasi digital nomad (unsplash.com/OPPO Find X5 Pro)
illustrasi digital nomad (unsplash.com/OPPO Find X5 Pro)

Pekerjaan yang terlihat bebas dan berjiwa muda, seperti jadi digital nomad, sering dianggap ideal. Tapi sayangnya, banyak dari pekerjaan seperti ini gak menyediakan jaminan kesehatan, asuransi, dana pensiun, apalagi cuti resmi. Ketika semua harus ditanggung sendiri tanpa dukungan institusional, maka risiko hidup jadi makin besar, terutama saat memasuki masa-masa sulit atau darurat.

Hal ini juga menyulitkan seseorang untuk merencanakan masa depan secara finansial. Tanpa jaminan jangka panjang, seseorang bisa rentan jatuh ke dalam kondisi rawan secara ekonomi. Apalagi jika pemasukan gak tetap setiap bulan. Pekerjaan yang sustainable harus bisa memberi rasa aman, bukan hanya hari ini, tapi juga untuk tahun-tahun mendatang. Kalau keamanan finansial dan sosialnya gak terjamin, maka sebesar apa pun kebebasan yang ditawarkan, tetap bukan pilihan bijak untuk jangka panjang.

5. Lebih fokus pada personal branding daripada kompetensi nyata

illustrasi personal branding (pexels.com/Kampus Production)
illustrasi personal branding (pexels.com/Kampus Production)

Zaman sekarang, banyak pekerjaan yang menjadikan personal branding sebagai daya jual utama. Misalnya influencer, motivator, atau pembicara publik yang popularitasnya lebih besar daripada keahliannya. Meskipun terlihat keren di media sosial dan mendapat banyak perhatian, pekerjaan semacam ini sangat rapuh jika gak dibarengi dengan kompetensi yang konkret. Ketika popularitas meredup, gak banyak yang bisa dijual lagi selain citra.

Tanpa keahlian teknis atau pengetahuan mendalam, pekerjaan yang hanya mengandalkan personal branding akan mudah tergeser oleh wajah baru yang lebih segar. Apalagi algoritma media sosial terus berubah, dan audiens cenderung cepat bosan. Sustainable job butuh fondasi kuat berupa kompetensi yang diakui dan bisa diterapkan dalam berbagai konteks, bukan hanya sekadar eksistensi di layar. Kalau yang dijual cuma citra, maka risiko kehilangan arah karier akan selalu membayangi.

Memilih pekerjaan seharusnya gak cuma berdasarkan tampilan luar yang keren atau lingkungan kerja yang estetik. Pekerjaan yang benar-benar sustainable perlu mempertimbangkan aspek jangka panjang seperti kestabilan, kesehatan, pengembangan diri, dan perlindungan sosial. Jangan sampai hanya demi terlihat menarik, justru terjebak dalam pekerjaan yang melelahkan dan gak punya arah. Citra keren boleh saja, tapi masa depan tetap harus jadi prioritas utama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us