Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rojali dan Rohana Jadi Tren, Jadi Pilihan Rasional di Saat Ekonomi Sulit?

Ilustrasi Mal atau pusat perbelanjaan. IDNTimes/Larasati Rey
Ilustrasi Mal atau pusat perbelanjaan. IDNTimes/Larasati Rey
Intinya sih...
  • Mal bukan lagi simbol kelas atau status sosial, karena validasi sekarang di sosial media.
  • Kondisi ekonomi yang sulit, UMR rendah, dan kesenjangan sosial tinggi mempengaruhi daya beli masyarakat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times – Istilah populer di masyarakat tentang Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Tanya (Rohana) bukanlah sebagai ajang eksistensi melainkan fenomena rasional tentang pilihan membeli barang.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Aini menilai Rojali dan Rohana adalah pilihan masyarakat rasional tentang marketplace yang dianggap lebih murah.

“Sebenarnya ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini juga punya pilihan lebih banyak, selain dari membeli barang di mal. Ada marketplace, fenomena marketplace banyak menawarkan pilihan lebih murah dengan barang sama,” ujar Nurul Aini, Kamis (21/8/2025).

1. Pembeli memilih yang lebih menguntungkannya

Ilustrasi mal, pusat perbelanjaan (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Ilustrasi mal, pusat perbelanjaan (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Dosen Sosiologi UGM itu mengatakan fenomena persaingan pasar dengan mode digital ini membuat pasar offline semakin ditinggalkan. “Mal itu sudah gak kayak dulu tahun 2000an, jadi fenomena sosial yang unik,” ungkap Nurul Aini.

Nurul Aini mengatakan orang akan lebih memilih mana yang menguntungkan pembeli. “Kalau marketplace lebih murah dengan diskonnya, akan jadi pilihan. Mereka hanya membandingkan harga di mal,” kata dia.

2. Mal tidak lagi menjadi tempat untuk mencari validasi

Ilustrasi mal. IDN Times/Masdalena Napitupulu
Ilustrasi mal. IDN Times/Masdalena Napitupulu

Nurul Aini menyebut bahwa mal sudah tidak lagi menjadi tempat satu-satunya atau alternatif orang datang untuk mencari hiburan dan mencari validasi, pasalnya banyak alternatif lain untuk membeli barang. “Menurut saya fenomena alternatif (mal) bagi masyarakat Indonesia di masa lalu, jadi simbol kelas, status sosial. Sudah berubah fenomenanya,” katanya.

Menurutnya saat ini banyak ruang lain yang dimanfaatkan masyarakat juga untuk mencari validasi, seperti halnya di sosial media. “Validasi sekarang di sosial media, gak di mal kemudian gaya semaksimal mungkin. Ada alternatif lain juga sekarang, dulu naik gunung hanya anak mapala, sekarang ibu-ibu arisan tracking juga. Olahraga dulu cuma atlet, sekarang banyak yang melakukan,” ungkapnya.

3. Kondisi ekonomi berdampak ke masyarakat

ilustrasi mall pusat perbelanjaan (unsplash.com/Alexander Faé)
ilustrasi mall pusat perbelanjaan (unsplash.com/Alexander Faé)

Ia menambahkan saat ini mal tak lagi sebagai tempat alternatif menghibur diri seperti yang terjadi di tahun 2000an. “Jadi menurut saya mal sudah gak jadi alternatif orang menghibur diri, kira-kira begitu. Misal dulu melihat keluarga urban middle up 2000an jalan-jalan ke mal,” ungkapnya.

Dirinya juga menyinggung bahwa Upah Minimum Regional (UMR) yang rendah, kondisi ekonomi yang berat mempengaruhi daya beli masyarakat. Termasuk kesenjangan sosial di DIY disebutnya tinggi, mempengaruhi fenomena ini.

“Tempat super mahal laku, menyasar kelas menengah sepi, karena mereka rentan berubah. Rentan turun kelas saat ekonomi sulit. Kaya banget enggak, tapi gak kategori miskin, kalau ada bansos gak dapet. Sulitnya Gen Z yang baru lulus juga mencari pekerjaan, sehingga ekonomi masih ditanggung orang tua,” ucap Nurul Aini.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us