TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Suparman Marzuki Menilai Persidangan Kasus Novel Disiapkan untuk Gagal

Pengadilan yang dilakukan hanya untuk menutupi desakan 

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Sleman, IDN Times - Mantan Ketua Komisi Yudusial Suparman Marzuki beranggapan proses pengadilan terhadap kasus Novel Baswedan adalah pengadilan yang disiapkan untuk gagal. 

Dalam diskusi virtual tentang Novel Baswedan Mencari Keadilan:  Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa diadakan oleh PUKAT UGM pada Rabu (17/6), Suparman menilai terdapat kesan kuat pengadilan dilakukan bukan dalam rangka mengadili pelaku. Bahkan mantan Ketua Komisi Yudisial tahun 2013 - 2015 ini menilai proses persidangan akan berujung sama seperti kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok, Timor Timur, maupun Adipura.

"Saya membayangkan pengadilan ini akan berujung persis seperti pengadilan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok, pelanggaran HAM di Timor Timur dan Adipura. Seperti yang dikatakan David Cohen, disebut pengadilan yang disiapkan untuk gagal," ungkap Suparman Marzuki. 

Baca Juga: Novel Baswedan: Banyak Keanehan di Persidangan Kasus Penyerangan Saya

1. Pengadilan untuk menutupi desakan

Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial 2013-2015.

Suparman menyebut  pengadilan yang dilakukan untuk Novel merupakan pengadilan yang digunakan untuk menutup desakan. Padahal sudah seharusnya persidangan dijalankan secara fair dan hakim bertindak fair untuk mencari kebenaran materiil.

"Semua alat bukti harus dihadirkan dalam sidang dan di uji dalam persidangan. Tidak boleh berdasarkan prasangka tidak boleh berdasarkan teori," terangnya.

2. Hakim tidak boleh mengajukan pertanyaan menjerat

Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020) (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Dalam suatu persidangan menurutnya hakim tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan yang menjerat maupun menyimpulkan, seperti halnya pertanyaan bagaimana kesan saudara disiram dengan air aki kepada Novel sebagai korban. Jika hakim sudah mengajukan pertanyaan yang menjerat seperti itu, harusnya Komisi Yudisial bisa memanggil yang bersangkutan.

"Pertanyaan yang mengarahkan dan pertanyaan yang menyimpulkan, itu sudah unfair trials namanya. Harusnya Komisi Yudisial sudah bisa memanggil. Setidaknya mengingatkan bahwa tidak boleh ada pertanyaan menjerat semacam itu," katanya.

3. Penyerangan terhadap Novel bukan penyerangan pribadi

Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis bersiap menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020) (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Menurut Suparman kejadian yang dilakukan terhadap Novel bukanlah penyerangan terhadap dirinya secara pribadi, melainkan sebagai penyidik KPK. Untuk itu proses penyelidikan dan penyidikan harus menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan.

"Bukan penyerangan terhadap dirinya sebagai pribadi namum terkait posisi dan tugas sebagai penyidik KPK. Karena itu benar kalau ada peristiwa kejahatan terhadap yang bersangkutan, maka penyelidikan, penyidikan menjadi satu kesatuan dalam proses penyidikan terhadap suatu perkara. Tidak bisa dipisahkan," katanya. 

Baca Juga: 179 Rumah Ibadah di Sleman Peroleh Rekomendasi untuk Gelar Ibadah 

Berita Terkini Lainnya